Makalah Pengertian Hukum Dan Macam-Macam Hukum

Pengertian Hukum Dan Macam-Macam Hukum
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah SWT. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepadanya. Kami juga minta perlindungan kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kmi, dan dari keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, niscaya tidak akan ada seorang pun yang mampu menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada seorang pun yang mampu memberikan petunjuk kepadanya. Sholawat dan salam untuk pamungkas para nabi dan rasul, untuk para rasul Allah seluruhnya, dan orang—orang yang berpegang teguh dengan kekuatan tali mereka.[1] Saya bersaksi tiada sesembahan yang benar selain Allah, dan tiada sekutu bagi-Nya. Dan  saya bersaksi bahwa nabi Muhammad SAW, adalah utusan Allah.
Makalah ini di susun berdasarkan dukungan dan dorongan dari guru/dosen, dan rekan-rekan yang telah mengajar dan membimbing kami. Suatu kebahagiaan tersendiri bagi kami dalam meyusun makalah ini, karena kami bisa mengap-resiasikan apa yang ada dibenak sanubarinya yang berupa ide dan pikiran dalam rangka ikut mencerdaskan generasi muslimin. Di sisi lain kami harus berpikir dan bekerja keras agar makalah yang dibuat akan lebih baik untuk menjadi generasi bangsa yang cerdas dan memiliki sikap berbudi pekerti yang luhur dan menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada guru, dan rekan-rekan yang telah mendukung kami sehingga makalah ini dapat selesai. dan tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada pembaca, yang apa bila ada kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah  ini. Dan teriring doa semoga sukses. Aamiin.
Mangkoso ,  6 April 2016
Penulis




[1] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, 1942, ilmu ushul fiqh. Semarang:Dina Utama Semarang. Halaman vii

BAB I
PEMBAHASAN
A.  Latar Belakang
Segala amal perbutan manusia, tingkah laku, dan tutur katanya, tidak lepas dari ketentuan hukum syariat, baik hukum syariat yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi, terdapat pada sumber-sumber lain yang diakui oleh syariat.[1]
Berdasarkan penelitian di peroleh ketetapan dikalangan ulama, bahwa dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum syariat mengenai perbuatan manusia kembali kepada empat sumber hukum, yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, dan Qias. Sedangkan asas dalil –dalil ini dan sumber syariat Islam yang pertama adalah Al-Qur’an, kemudian As-Sunnah yang menafsirkan kemujmalan Al-Qur’an.[2]
B.   Rumusan Masalah
1.    Apa defenisi hukum?
2.    Jelaskan pembagian dari hukum?
3.    Apa perbedaan hukum taklifiy dan hukum wadl’iy?
C.  Tujuan
1.    Menjelaskan defenisi hukum.
2.    Menjelaskan pembagaian dari hukum.
3.    Menjelaskan perbedaan hukum taklifiy dan hukum wadl’iy.
D.  Manfaat
1.    Menambah wawasan mengenai hukum.
2.    Menambah wawasan mengenai pembagian hukum.
3.    Menambah wawasan mengenai perbedaan hukum taklifiy dan hukum wadl’iy.




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Defenisi Hukum
Hukum secara bahasa berasal dari kata ”حكم-يحكم-حكم” kemudian menjadi bentuk jamak taksir dari timbangan isim masdar “حكم-حكمان-حكمون-احكامٌ” yang berarti menetapkan sesuatu hal atau perkara terhadap sesuatu hal, atau “perkara”.[3]
Sedangkan hukum secara istilah para ahli ushul fiqh ialah : khithab syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntunan, pilihan, atau ketetapan.[4] Misalnya firman Allah SWT:
ÉOÏ%r&ur....... no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur ...... ÇÍÎÈ  
Artinya: Dan dirikanlah sholat, sesungguhnya Sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. (Al-Ankabut: 45).[5]
Ini merupakan khithab dari syar’i yang bersangkutan dengan mendirikan sholat, dalam tuntutan untuk mengerjakannnya. Juga firman AllahSWT:
....... Ÿw öyó¡o ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% ..... ÇÊÊÈ
Artinya: janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain. (Al-Hujurat:11.)[6]
Ini adalah khithab syar’i yang berkaitan dengan mengolok-olok, dalam bentuk tuntunan untuk meninggalkannya. Firman Allah:
(...... ÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz žwr& $uKÉ)ムyŠrßãn «!$# Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ .......3 ÇËËÒÈ 
Artinya: ......jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalan-kan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.....(Al­-baqarah:229)[7]
Ayat tersebut adalah khithab Allah yang berhubungan dengan penganbilan ganti oleh suami dari istrinya sebagai imbalan menjatuhkan talaq kepada istri, dalam bentuk pilihan melakukannya. Selanjutnya Rasulullah SAW. Bersabda:
لايرث القايل   
Artinya: orang yang membunuh tidak memperoleh bagian warisan (dari orang yang dibunuhnya).[8]
Hadis ini merupakan khithab syar’i yang bersangkutan dengan pembunuhan dalam bentuk penetapan terhadapnya sebagai penghalang dalam hal warisan.
Nas yang keluar dari syar’i yang menunjukkan bentuk tuntunan, pilihan, atau penetapan itulah yang disebut hukum Syara dalam istilah ushul fiqh.[9]
Adapun menurut para fuqaha’ bahwa yang yang dikatakan hukum syar’i itu ialah: efek yang timbul dari perbuatan diterapi khithab Syar’i. Seperti wajib, haram, ibahah, dan lain sebagainya.[10]
Sebagai penjelasan dari hal perbedaan hukum menurut usuliyun dan fukaha adalah sebagai berikut:
Firman AllahSWT:
....اوفوا بالعقود...
Artinya:”....penuhilah janji.....”
Menurut kewajiban memenuhi janji. Nas itu sendiri adalah hukum dalam istilah para ahli ushul fiqh, dan kewajiban memenuhi janji itulah hukum menurut istilah para fuqaha’.
B.   Macam-macam Hukum
Dari defenisi dari hukum syara’ menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh dapat diambil kesimpulan bahwasanya hukum itu bukan hanya satu macam saja, karena hukum itu berkaitan dengan perbuatan mukallaf, ada kalanya dari segi tuntunan, ada kalanya dari segi pilihan, dan ada kalanya dari segi penetapan. Ulama ushul fiqh memberi nama istilah terhadap hukum yang berkaitan dengan perbutan mukallaf dari segi tuntunan dan pilihan sebagai : hukum taklifi, dan menyebut hukum berkaitan dengan perbuatan mukallaf  dari segi penetapan sebagai: hukum wadh’i. Oleh karena inilah, maka mereka menetapkan bahwasanya hukum syara’ terbagai kepada dua bagian, yaitu:
1.    Hukum Taklifi
Adapun hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberi pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya.[11]
Contoh yang menuntut pekerjaan dari mukallaf adalah firman Allah SWT:
õè{.... ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ .... ÇÊÉÌÈ  
     Artinya: ambillah zakat dari sebagian harta mereka. (At-Taubah:103).[12]
     Dari ayat di atas adalah nash yang menuntut mukallaf untuk mengerjakan perbuatan.
Contoh sesuatu yang menuntut mukallaf untuk meninggalkan perbuatan ialah firman Allah SWT:
Ÿwur..... (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( .... ÇÌËÈ  
Artinya:”......janganlah kamu dekati Zina.....” (Al-Isra’:32).[13]
     Sedangkan contoh hukum yang mengkendaki pilihan oleh mukallaf antara mengerjakan atau meninggalkannya, ialah firman Allah SWT:
..... 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 ..... ÇËÈ  
     Artinya: “.....dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka boleh berburu....” (Al-Maidah: 2).[14]
     Yang semacam inilah yang disebut hukum taklifi, karena mengandung pentaklifan mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan, atau memberikan pilihan antara mengerjakan dan meninggalkannya. Segi penamaan ini berkenaan dengan sesuatu yang dituntut kepada mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Adapun sesuatu yang diberikan pilihan kepada mukallaf antara mengerjakan atau meninggalkannya, maka segi penamaannya sebagai hukum taklifi tidak jelas, karena pilihan tidak mengandung taklif. Oleh karena itu hukum taklifi itu terbagi menjadi lima bagian.
1.    Ijab (mewajibkan) ialah apabila hukum taklifi itu mengkhendaki tuntutan mengerjakan, baik dalam segi pengharusan maupun penetapan.
2.    Nadb ialah jika tuntutan terhadapnya tidak pada segi pengharusan dan penetapan
3.    Tahrim ialah apabila hukum taklifi menuntut untuk meninggalkan perbuatan, tuntutannya bersifat mengharuskan dan menetapkan.
4.    Karahah ialah apabila hukum taklifi menuntut untuk meninggalkan perbuatan, akan tetapi tidak bersifat mengharuskan dan menetapkan.
5.    Ibahah ialah apabila hukum taklifi tersebut menuntut pemberian pilihan kepada mukallaf antara mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya.[15]
Dengan demikian, sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan ada dua macam:
1.    Wajib
2.    Mandub
Sedangkan sesuatu yang dituntut untuk meninggalkan dari mengerjakan-nya ada dua macam, yaitu:
1.    Muharram
2.    Makruh
Sementara sesuatu yang memberi pilihan antara melakukan dan mening-galkan yaitu: mubah.
Taklifi juga memerlukan syarat-syarat, yaitu:
a.     Syarat-syarat yang berkaitan dengan pekerjaan mukallaf
b.    Syarat-syarat yang berkaitan dengan mukallaf yang diperintahkan.[16]
2.    Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain, atau menjadi syarat baginya, atau menjadi penghalang baginnya.[17] Contoh sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab sesuatu yang lain ialah, firman Allah SWT:
$pkšr'¯»t..... šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# .....  
     Artinya: “wahai orang-orang yang beriman,apabila engkau hendak mengerjakan sholat, maka basulah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.....” (Al-Maidah: 6).[18]
     Firman tersebut menghendaki penetapan kehendak melaksanakan sholat sebagai sebab pewajiban berwudhu’.
     Sedangkan contoh sesuatu yang menghendaki penetapan sesuatu sebagai syarat bagi sesuatu lainnya: adalah firman Allah SWT:
....... 3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 ....... ÇÒÐÈ  
     Artinya: “.......mengerjakan haji ke baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan kebaitullah.....” (Ali-Imran:97).[19]
     Firman tersebut menghendaki bahwasanya kesanggupan untuk menenpuh jalan ke Baitullah merupakan syarat untuk mewajibkan Haji.
     Pembagian hukum wadh’i terbagai kepada lima bagaian, karena berdasarkan penelitian diperoleh ketetapan, bahwa hukum wadh’i ada kalanya mengkhendaki untuk menjadikan sesuatu menjadi sebab bagi sesuatu yang lain, atau menjadi syarat, atau menjadi penghalang, atau menjadi pemboleh adanya rukhshah sebagai ganti azimah, atau sah atau tidak sah.
1.    Sebab
Sebab ialah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan mengkaitkan  keberadaan musabab dengan keberadaannya dan ketidak adaannya musabab dengan ketiadaannya. Jadi dari keberadaan sebab, maka ditetapkan adanya musabab dan ketiadaan sebab itu ditetapkan ketiadaanya.
2.    Syarat
Syarat ialah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut.
3.    Mani’
Mani’ adalah sesautu yang keberadaanyamenetapkan ketiadaan ketiadaan hukum, atau batalnya sebab. Terkadang sebab syar’i telah ada, dan seluruh syarat-syaratnya terpenuhi, akan tatapi ada mani’, yang menghalagi timbulnya konsekuensi hukum padanya.
4.    Rukhshah dan A’zimah
Ruksahah ialah sesuatu yang disyariatkan oleh Allah dari berbagai hukum untuk maksud untuk memberi keringanan kepada mukallaf dalam berbagai situasi dan kondisi khusus yang mengkhendaki keringanan ini. Atau ruksahah ialah sesuatu yang disyariatkan karena suatu alasan yang memberatkan dalam berbagai keadaan khusus, atau ia adalah pombolehan sesuatu yang terlarang dengan suatu dalil, disertai adanya dalil larangan.
Adapun ‘azimah ialah hukum-hukum umum yang disyariatkan sejak semula oleh Allah, yang tidak tertentu pada satu keadaan saja bukan keadaan lainnya, bukan pula khusus seorang mukallaf, dan tidak mukallaf lainnya.
5.    Shah dan batal
Suatu perbuatan yang diutuntut oleh syar’i dari mukallaf, dan sesuatu yang disyariatkan pada mereka berupa sebab, dan syarat, apabila dilakukan oleh mukallaf maka ia dihukumi dengan kesahannya, dan kadang pula dihukumi dengan ketidak sahannya.
Apabila dia dia didapati sesuai dengan apa yang dituntut dan disyariatkan oleh syar’i, sebagai mana rukun-rukunnya ada, dan syarat-syaratnya syar’inya terpenuhi, maka syar’i memutuskan dengan kesahannya. Jika perbuatan mukallaf itu didapati tidak sesuai dengan apa yang dituntut dan disyariatkan oleh syar’i, sebagaimana salah satu rukunnya atau salah satu syaratnya rusak, maka syar’i menghukum ketidak sahannya.[20]



C.  Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum wadh’i
Ada beberapa perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i seperti yang telah dijelakan oleh Prof Rahmat Syafii dalam bukunya yang berjudul Ilmu ushul fiqh, yaitu:
1.    Dalam hukum taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih antara melakukan dan meninggalkan. Dalam hukum wadh’i  hal ini tidak ada, melainkan hanya mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang atau syarat.
2.    Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan,  dilaksanakan atau memilih. Sedangkan hukum wadh’I tidak bermaksud untuk langsung dikerjakan oleh mukallaf. Hukum wadh’i ditentukan syari’ agar dapat dilaksanakan hukum taklifi. Contohnya: zakat hukumnya wajib, akan tetapi kewajiban ini tidak  bisa dilaksanakan apabila hartanya tidak mencapai nisab  dan belum sampai tahun (haul).[21]
3.    Hukum taklif dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf. Sedanglan hukum wadh’i sebagaiannya ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia.[22]
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
hukum secara istilah para ahli ushul fiqh ialah : khithab syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntunan, pilihan, atau ketetapan. Sedangkan menurut para fuqaha’ bahwa yang yang dikatakan hukum syar’i itu ialah: efek yang timbul dari perbuatan diterapi khithab Syar’i. Seperti wajib, haram, ibahah, dan lain sebagainya.
Dari defenisi dari hukum syara’ menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh dapat diambil kesimpulan bahwasanya hukum itu bukan hanya satu macam saja, karena hukum itu berkaitan dengan perbuatan mukallaf, ada kalanya dari segi tuntunan, ada kalanya dari segi pilihan, dan ada kalanya dari segi penetapan. Ulama ushul fiqh memberi nama istilah terhadap hukum yang berkaitan dengan perbutan mukallaf dari segi tuntunan dan pilihan sebagai : hukum taklifi, dan menyebut hukum berkaitan dengan perbuatan mukallaf  dari segi penetapan sebagai: hukum wadh’i.
B.   Kritik dan Saran
Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, kerena kesempur-naan itu hanya milik Allah, berkenaan dengan hal ini kami dari penyusun sangat membutuhkan kritik dan saran yang dapat membangun dalam pembuatan makalah ke depannya, dan tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada guru yang telah membimbing kami sehingga makalah ini dapat kami selesaikan dengan tepat pada waktunya. Dan semoga makalah ini dapat bermamfaat bagi pembaca. Akhirul qalam Assalamu Alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatu.



Daftar Pustaka
Khallaf, Wahab, Abdul. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama.
Mukhtar, yahya. Rahman, Fanctur.1997. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung: PT. Alma’ruf.
Sudarsono, 1994. Sepuluh Aspek Agama Islam. Jakarta: PT. Rika Cipta.
Depertemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahan. Bandung: Diponegoro.



[1] Prof. Dr. Mukhtar Yahya,Prof. Drs. Facthurrahman,  Dasar-dasar pembinaan hukum Fiqh Islam (bandung:PT. Alma’ruf, 1986), hal:15
[2] Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA, Ilmu ushul fiqh (Semarang:Dina Utama, 1994), hal:1
[3] Drs. Sudarsono, S.H., Sepuluh Aspek Agama Islam (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1994), hal. 109.
[4]Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA, Ilmu ushul fiqh (Semarang:Dina Utama, 1994), hal. 142
[5] Depertemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahan. ( Bandung: Diponegoro, 2004), hal. 816
[6] Ibid. Hal. 517
[7] Ibid. Hal. 37
[8] Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA, Ilmu ushul fiqh (Semarang:Dina Utama, 1994), hal. 143
[9]Ibid, hal:143
[10] Prof. Dr. Mukhtar Yahya,Prof. Drs. Facthurrahman,  Dasar-dasar pembinaan hukum Fiqh Islam (bandung:PT. Alma’ruf, 1986), hal:123
[11] Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA, Ilmu ushul fiqh (Semarang:Dina Utama, 1994), hal:144
[12] Depertemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahan. ( Bandung: Diponegoro, 2004), hal. 204
[13]Ibid. Hal. 286.
[14] Ibid. Hal. 107
[15] Ibid. Hal: 151
[16] Drs. Sudarsono, S.H. Sepuluh Aspek Agama Islam (Jakarta: Rineka cipta,1994)
[17] Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, Drs. Ahmad Qarib, MA, Ilmu ushul fiqh (Semarang: Dina Utama, 1994), hal:147.
[18] Depertemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahan. ( Bandung: Diponegoro, 2004), hal. 109.
[19] Ibid. Hal. 63.
[20] Ibid. Hal: 184
[21] Admin, “Ushul Fiqh, Perbedaan Antara Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i”, sudut hukum, diakses dari  http://s-hukum.blogspot.co.id/2014/12/ushul-fiqh-perbedaan-antara-hukum.html, 2014
[22] Fazliana rezki, “hukum taklifi dan wadh’i”, diakses dari http://rizkyfazliana.blogspot.co.id/2013/05/hukum-taklifi-dan-wadhi-ushul-fiqh.html, 01 mei 2013.

Iklan Atas Artikel

Adnow April 22

Adnow April 22

Iklan Bwah Artikel (Adnow)