Makalah Hukum Keluarga ; ( Keluarga Sedarah dan Semenda, Kekuasaan Orang Tua dan Perwalian)


MAKALAH



Hukum Keluarga ;
( Keluarga Sedarah dan Semenda,
Kekuasaan Orang Tua dan Perwalian)


Disusun Oleh;

Muh. Abduh
Adhan
Nurul Nirwana
Sriani Ameliah

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas  Mata Kuliah Hukum Perdata
Program Studi Al Ahwalus Syakhsiyah Jurusan Syariah
Perguruan Tinggi STAI DDI Mangkoso.
KABUPATEN BARRU
2019 



Disusun Oleh;

Muh. Abduh
Adhan
Nurul Nirwana
Sriani Ameliah

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas  Mata Kuliah Hukum Perdata
Program Studi Al Ahwalus Syakhsiyah Jurusan Syariah
Perguruan Tinggi STAI DDI Mangkoso.
KABUPATEN BARRU
2019


KATA PENGANTAR

Puji serta syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana atas limpahan rahmat, hidayah serta inayah Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tanpa suatu halangan yang berarti. Tidak lupa sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjunan Nabi besar Muhammad SAW.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah kami ini ”Hukum Keluarga” dengan membahas mengenai bagaimana hukum keluarga yang terdapat pada keluarga khususnya Keluarga Sedarah dan Keluarga Semenda, serta Kekuasaan Orang Tua dan Perwalian. Dengan membuat tugas ini kami harapkan mampu menerapkan serta mengembangkan hukum yang terdapat pada keluarga.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik selanjutnya. Dan semoga dengan hadirnya makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca sekalian.
Mangkoso, 02 Agustus 2019
Penulis



BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Terbentuknya suatu keluarga itu karena adanya perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Sehingga keluarga dalam arti sempit artinya yaitu sepasang suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, tetapi tidak mempunyai anak juga bisa dikatakan bahwa suamii istri merupakan suatu keluarga.
Selain itu definisi hukum keluarga secara garis besar adalah hukum yang bersumber pada pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi karena pertalian darah, ataupun terjadi karena adanya sebuah perkawinan. Hukum keluarga merupakan aturan-aturan atau peraturan hukum yang timbul dan mengatur pergaulan hidup orang atau perorangan dalam keluarga.
Dalam hukum keluarga mencakup hubungan hukum antar orang (perorang) dalam keluarga. Dalam hukum keluarga antara orang (perorang) mengatur hak dan kewajibannya di dalam hukum keluarga mulai dari orang itu dilahirkan sampai meninggal dunia.
Adapun hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tidak hadir). Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama.
Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya). Hubungan keluarga ini sangat penting karena ada sangkut pautnya dengan hubungan anak dengan orang tua, hukum waris, perwalian, dan pengampuan. Satu bagaian yang amat penting di dalam hukum kekeluargaan adalah hukum perkawinan.[1]

B.     Rumusan Masalah

Makalah ini akan membahas tentang:

1.      Pengertian Hukum Keluarga

2.      Keluarga Sedarah dan Keluarga Semenda
3.      Kekuasaan Orang Tua dan Perwalian.


BAB II

PEMBAHASAN
A.    Hukum Keluarga
Istilah hokum keluarga berasal dari terjemahan Familierecht ( Belanda ) atau law of familie (Inggris). Dalam konsep Ali Afandi,[2] hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).
Ada dua hal penting dari konsep Ali Afandi tersebut, bahwa hukum keluarga mengatur hubungan yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan. Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dengan istri (suaminya).[3]
Tahir Mahmud, mengartikan hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang diterangkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara umum diyakini memiliki aspek religius menyangkut peraturan keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain.[4]
Definisi Tahir Mahmud tersebut, pada dasarnya mengkaji dua sisi, yaitu tentang prinsip hukum dan ruang lingkup hukum. Sedangkan ruang lingkup kajian hukum keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain. Apabila diperhatikan, definisi ini terlalu luas, karena menyangkut warisan, yang dalam hukum perdata BW merupakan bagian dari hukum benda.
Dalam definisi ini setidaknya memuat dua hal penting yaitu, kaidah hukum dan substansi (ruang lingkup) hukum. Kaidah hukum meliputi hukum keluarga tertulis dan hukum keluarga tidak tertulis. Hukum keluarga tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang bersumber daru undang-undang, traktat, dan yurisprudensi. Hukum keluarga tidak tertulis merupakan kaidah-kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, mamari dalam masyarakat sasak. Adapun ruang lingkup yang menjadi kajian hukum keluarga meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.
Berdasarkan definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum keluarga pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga yang meliputi:
a)    Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan
b)    Peraturan perceraian
c)    Peraturan kekuasaan orang tua
d)   Peraturan kedudukan anak
e)    Peraturan pengampuan (curatele) dan
f)     Peraturan perwlian (voogdij).
Hukum perdata barat mengandung prinsip bahwa hukum keluarga pada berbagai ketentuannya pada hakikatnya erat hubungannya dengan tata tertib umum. Dengan demikian maka segala tindakan yang bertentangan dengan ketentuan itu adalah batal demi hukum.
Dalam konsepsi hukum pedata Indonesia telah diadakan pernyataan bahwa Hukum Perdata Barat (BW) tidak lagi dianggap sebagai undang-undang yang mutlak berlaku. Ada beberapa pertimbangan yang melandasi ketentuan tersebut antara lain:
1)      Ada tendensi bahwa BW mengaju pada alam liberalisme, sehingga perlu ditinggalkan dan menuju alam sosialisme Indonesia.
2)      Maklumat Mahkamah Agung tentang tidak berlakunya sementara ketentuan karena tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman dan bersifat diskriminatif.
3)      Menjadikan jati diri bangsa Indonesia yang pliralitis, sehingga berbeda jauh dengan kondisi alam barat. Misalnya, dengan keberlakuan hukum islam dan hukum adat.[5]
Pada dasanya sumber hukum keluarga dapar dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum keluarga tertulis dan sumber hukum perdata tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tidak tertulis merupakan norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang serta ditaati oleh sebagian besar masyarakat atau suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sedangkan sumber hukum keluarga tertulis berasal dari berbagai peraturan perundang-udangan, yurisprudensi, dan perjanjian (traktat).
Sumber hukum keluarga tertulis yang menjadi rujukan di Indonesia meliputi: (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); (2) Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdebuwelijk), Stb. 1898 158; (3) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon (Huwelijke Ordonnnantie Christen Indonesiers), Stb. 1933 -74; (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak,dan Rujuk (beragama Islam); (5) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (7) Peraturan Pemeritah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil; dan (8) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.[6]

B.     Keluarga Sedarah dan keluarga Semenda
1.      Keluarga Sedarah
Pasal 290 KUHPer menyatakan bahwa :
Kekeluargaan sedarah adalah suatu pertalian keluarga antara mereka, yang mana yang satu adalah keturunan yang lain atau semua yang mempunyai nenek moyang yang sama.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa kekeluargaan sedarah terjadi karena adanya hubungan kekeluargaan yang didasarkan atas adanya hubungan darah. Dengan demikian, jika merujuk kepada pasal 290 KUHPer di atas, hubungan darah dapat diartikan sebagai hubungan antara 2 (dua) orang, dimana yang satu adalah keturunan yang lain, atau dimana keduanya berasal dari moyang yang sama. Jadi, hubungan darah semata-mata didasarkan atas keturunan.[7]
Adanya hubungan darah didasarkan atas pikiran bahwa kalau 2 (dua) orang dari jenis kelamin yang berbeda mengadakan hubungan badan di dalam perkawinan yang sah dan dari hubungan itu dilahirkan seorang anak, maka ada sebagian darah dari si laki-laki dan si perempuan yang tercampur dalam diri anak yang bersangkutan. Dengan demikian, anak tersebut merupakan keturunan yang sah dan disebut dengan anak yang sah serta memiliki hubungan darah dengan si laki-laki dan si perempuan tersebut di atas.
Sementara terhadap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, maka ia merupakan keturunan yang tidak sah dan dan disebut dengan anak luar kawin serta hanya memiliki hubungan darah menurut hukum dengan si perempuan atau ibunya.128 Akan tetapi, jika si laki-laki atau bapaknya mengakui anak yang dibuahinya, maka anak luar kawin tersebut secara hukum dianggap memiliki hubungan darah dengan si laki-laki dan si perempuan yang sekaligus merupakan ayah biologis dan ibu biologis dari anak tersebut.[8]
Dengan demikian, kalau KUHPer berbicara tentang hubungan ”kekeluargaan sedarah” sebagaimana diatur pada pasal 290 KUHPer, maka yang dimaksud bukan semua hubungan darah, melainkan hanya hubungan darah dalam arti yuridis atau yang diakui oleh hukum saja.
Berdasarkan Pasal 290 KUHPer dapat dikatakan bahwa pembuat undang-undang memberikan 2 (dua) rumus untuk menentukan apakah orang yang satu merupakan keluarga sedarah dari yang lain, yaitu :
-   Yang satu adalah keturunan yang lain.
-   Kedua-duanya mempunyai moyang yang sama.

2.      Keluarga Semenda
Pengaturan mengenai kekeluargaan semenda terdapat di dalam pasal 295 KUHPer. Pasal 295 ayat (1) KUHPer menyatakan bahwa :
Kekeluargaan semenda adalah suatu pertalian keluarga yang diakibatkan karena perkawinan, ialah sesuatu antara seorang di antara suami-isteri dan para keluarga sedarah dari yang lain.
Untuk melihat dasar atau faktor yang menentukan ada tidaknya hubungan kekeluargaan semenda, maka kita harus memperhatikan pasal tersebut melalui kata-kata ”...yang diakibatkan karena perkawinan...”. Dari kata-kata tersebut kita dapat melihat bahwa yang menjadi dasar hubungan kekeluargaan semenda adalah perkawinan. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa seseorang menjadi keluarga semenda kita karena ia menikah dengan keluarga sedarah kita.
Akan tetapi, dengan memperhatikan lebih lanjut anak kalimat dari pasal tersebut, maka yang menjadi patokan adalah suami- isteri, kemudian dihubungkan dengan keluarga si suami/isteri, misalnya adik atau kakak isteri atau suami kita adalah keluarga semenda kita; demikian pula suami atau isteri dari bibi atau paman kita adalah keluarga semenda kita. Untuk memudahkan di dalam memahami keluarga semenda, maka kita dapat merumuskan keluarga semenda ke dalam 2 (dua) pengertian dimana keluarga semenda adalah :
-        Suami atau isteri dari keluarga sedarah, atau
-        Ia adalah keluarga sedarah suami atau isteri.
Pada dasarnya, mereka yang menjadi keluarga semenda adalah mereka yang sudah ada atau lahir pada saat perkawinan dilangsungkan maupun mereka yang lahir sesudah itu.[9]
Selanjutnya, pasal 295 ayat (2) KUHPer menegaskan bahwa :
Tiada kekeluargaan semenda antara para keluarga sedarah si suami dan keluarga si isteri dan sebaliknya.
Keberadaan pasal ini semakin menegaskan bahwa yang menjadi patokan keluarga semenda adalah antara orang tertentu dengan keluarga sedarah suami atau isterinya. Jadi, hubungan kekeluargaan semenda terjadi antara keluarga sedarah suami atau isteri terhadap orang tertentu, bukan terjadi antara keluarga sedarah suami atau isteri terhadap keluarga sedarahnya orang tertentu.

C.    Kekuasaan Orang Tua dan Perwalian
1.      Kekuasaan Orang Tua
Seorang anak sah sampai ia mencapai usia dewasa dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama kedua orang tua itu terikat dalam hubungan perkawinan. Dengan demikian kekuasaan orang tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak atau [dalam halnya anak luar kawin yang disahkan]. Oleh karena itu kekuasaan orang tua adalah kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Demikian isi dari pasal 299. Menurut pasal 300 kekuasaan orang tua itu biasanya dilakukan oleh si ayah. Jika bapak berada di laur kemungkinan melakukan kekuasaan itu yang melakukan kekuasaan adalah si ibu.[10]
Selanjutnya pasal 240 memuat ketentuan bahwa setelah adanya keputusan perpisahan meja dan ranjang. Hakim harus memutuskan siapa diantara orang tua harus melekukan kekuasaan orang tua terhadap anak.
Dalam hal ini bisa juga kekuasaan orang tua dilakukan si ibu. Mengenai pengertian Jadi belum dewasa perlu duperhatikan pasal-ppasal seperti berikut :
Pasal 330 : Orang yang belum dewasa adalah orang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. jka ia pernah kawin, dan ia masih belum mencapai umur 21 tahun ia tidak kembali dalam kedudukannya sebagai orang belum dewasa.
Jadi inti dari uraian di atas adalah :
a.    Belum mencapai umur 21 tahun
b.    Belum kawin.
Kembali berbica tentang kekuasaan orang tua, dari kekuasaan itu diatur dalam pasal 298-310. Isi dari kekuasaan orang tua itu dibagi menjadi 2 bagian.
a.    Kekusaan terhadap pribadi seorang anak,
b.    Kekuasaan terhadap kekayaan anak
Tentang kekuasaan tentang peribadi seorang anak terdapat ketentuan sebagai berikut:
Pasal 298 dan 301: Tiap anak berapa pun umurnya, wajib menghormat dan menyegani orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik srmua anak yang belum dewasa.
Dan kekuasaan terhadap harta kekayaan anak terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Pasal 307-318, yang perlu diperhatikan ialah pada pasal 307: Orang yang memegang kekuasaan orang tua harus mengurus harta kekayaan si anak.[11]
2.    Perwalian
Anak yang belum mencapai umur 18 [delapan belas] tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Pewalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya [pasal 30 UU perkawinan].[12]
Yang dimaksud perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di tanah kekuasaan orang tua.Jadi dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai ataun jika salah satu dari mereka atau semua meninggal dunia, berada dibawah perwalian. Terhadap anak di luar kawin, maka kaerena tidak ada kekuasaan orang tua anak itu selalu di bawah perwalian.
Anak yang berada di bawah perwalian disebut pupil, dan disini ada 3 jenis perwalian :
a.    Perwalian menurut undang-undang; yaitu yang disebut dalam pasal 345. Jika salah satu orang tua meninggal maka perwalian demi hukum dilakukan oleh orang tua yang masih hidup terhadap anak kawin yang belum dewasa.
Pasal 351. Jika yang jadi wali itu si ibu dan ibu ini kawin lagi maka suaminya menjadi kawan wali.
b.    Perwalian dengan wasiat; Menurut pasal 355 ditentukan bahwa tiap orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua, atau perwalian, berhak mengangkat seorang wali bagi anaknya, jika perwalian itu berakhir pada waktu ia meninggal dunia atau berakhir dengan penetapan hakim. Perwalian seperti ini dapat dilakukan dengan surat wasiat atau dengan akta notaris.
c.    Perwalian datif; yaitu apabila tiada ada wali menurut undang-undang atau wali dengan wasiat, oleh hakim ditetapkan seorang wali [pasal 359].
Jika seandainya telah diputuskan suatu perceraian, maka dengan demikian tiada ada lagi kekuasaan orang tua, dan salah seorang dari orang tua harus di tetapkan sebagai wali.
Jika kedua orang tua semuanya dipecat dari kekuasaan orang tua, maka Hakim juga harus menetapkan seorang wali. Menurut ketentuan dalam pasal 365 maka jika Hakim harus menetapkan seorang wali, maka ia dapat juga menetapkan sebagai wali, suatu perkumpulan yang berbadan hukum, suatu yayasan atau lembaga yang bertujuan memelihara anak-anak belum dewasa.
Menurut pasal 306 harus ada wali pengawas dan ini dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan. Selain dari Balai Harta Peninggalan masih ada juga suatu badan, yang disebut Dewan Perwakilan, yang anggotanya sebagian besar terdiri dari anggota Balai Harta Peninggalan, yang tudasnya mengurusi anak yang di percayakan kepadanya [416a].
Ketentuan-ketentuan itu sudah diatur dalam stbld no. 166. Tentang siapa yang dapat ditetapkan sebagai wali ada ketentuan –ketentuan sebagai berikut :
Pasal 332 : Tiap orang wajib menerima penetapan sebagai wali, kecuali beberapa orang yang boleh mengajukan keberatan yaitu :
Pasal 332 a : seorang yang diangkat sebagai wali oleh salah satu dari kedua orang tua; seorang perempuan yang bersuami. Keberatan ini harus dinyatakan di kepaniteraan pegadilan negeri.
Pasal 347 : orang-orang yang berada di luar negeri dengan tugas pemerintah, anggota-anggota ketentaraan dan angkatan laut; Orang-arang yang bertugas Pemerintah di luar Karesidenan mereka.
Pasal 379 : Ini mengenai orang yang sama sekali tidak boleh menjadi wali, diantaranya: Pejabat-pejabat pengadilan, Orang yang sakit ingatan, Orang yang belum dewasa, Orang yang di bawah pengampuan, Orang yang di pecat yang kekuasaan orang tua atau perwalian, Para anggota pimpinan Balai Harta Peninggalan.[13]
Isi dari suatu perwalian ialah : sebagaimana juga di dalam hal kekuasaan orang tua, ada 2 rupa:
-          Tugas yang mengenai pribadi anak yang di bawah perwalian, dan pengurusan harta kekayaan si anak.
-          Tentang tugas mengenai pribadi seorang anak menurut pasal 383, maka itu terdiri dari perawatan dan pendidikan anak itu dan juga perwalian di muka Pengadilan.
Pengurusan harta kekayaan si anak, terdapat ketentuan-ketentuan seperti berikut :
Pasal 335 : Tiap wali sebagai jaminan atas pengurusan, harta kekayaan si anak, di dalam waktu 1 bulan setelah perwaliannya mulai barjalan, harus mengadakan tanggungan yang berupa ikatan tanggungan (borg), hipotik atau gadai.
Pasal 386 : Wali harus mengadakan daftar perincian dari barang kekayaan si anak, di dalam waktu 10 hari setelah mulai perwaliannya berjalan yang harus dihadiri oleh wali pengawas (Balai Harta Peninggalan). Hal-hal tersebut di atas adalah merupakan jaminan, bahwa harta kekayaan si anak dapat pengurusan yang baik.
Selanjutnya hal-hal yang dapat dan tidak dapat dilakukan adalah seperti berikut :
Pasal 389 : Wali harus menjual semua perabotan rumah tangga, dan barang bergerak lainnya yang tidak memberikan hasil, yang jatuh kepada si anak.
Pasal 390 : keharusan menjual tadi tidak berlaku jika perwalian itu dilakukan si ayah atau si ibu yang berhak atas hak petik hasil harta kekayaan si anak, untuk kemudian memberikan barang itu kepada si anak.
Pasal 396 : wali untuk kepentingan si anak tidak boleh meminjam uang, menjual atau menggadaikan barang tak bergerak dari si anak, dan tidak boleh juga ia menjual surat berharga dan piutang, kalau tidak dengan izin Pengadilan.
Pasal 395 : Di dalam hal penjualan barang tak bergerak itu di izinkan oleh pengadilan maka penjual itu harus dilakukan di muka umum.
Pasal 400 : Wali tidak boleh menyewa atau mengambil dalam hak usaha (pacht) barang-barang si anak untuk kepentingan diri sendiri tanpa izin Pengadilan.
Pasal 401 : Wali tidak boleh menerima wrisan yang jatuh pada si anak, kecuali dengan hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan
Dalam berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1)   Dalam hubungan terhadap dengan keadaan anak.
Dalam hubungan ini, perwalian akan berakhir karena:
- Si anak yang di bawah perwalian telah dewasa (meenderjarig)
- Si anak (meenderjarig) meninggal dunia
- Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya (ouderlijkkemacth) dan
- pengesahan seorang anak luar kawin.
2)   Dalam hubungan dengan tugas wali
Berkaitan dengan tugas wali, maka perwalian akan berakhir karena:
- Wali meninggal dunia
- Dibebaskan atau dipecat dari perwalian (ontzettng of ontheffing) dan
- Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (Pasal 380 B.W).
Sedangkan syarat utama untuk dipecat (otzet) sebagai wali, ialah karena disandarkan pada kepentingan minderjarige itu sendiri.
Pada setiap perwaliannya, seorang wali wajib mengadakan perhitungan tanggumg jawab penutup. Perhitungan ini dilakukan dalam hal:
- Perwalian yang sama sekali dihentikan yaitu kepada minderjarige atau kepada ahli warisnya.
- Perwalian yang dihentikan karena diri (persoon) wali, yaitu kepada yang menggantinya dan,
- Minderjarige yang sudah berada di bawah perwalian, kembali lagi berada di bawah kekuasaan orang tua, yaitu kepada bapak atau ibu minderjarige itu (Pasal 409 B.W).



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Hukum Keluarga merupakan hukum yang bersumber pada pertalian keluarga, jadi hubungan keluarga ini sangat penting karena ada sangkutpautnya dengan hubungan anak dengan orang tua, hukum waris, perwalian dan pengampuan. Dan keluarga dari arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri, sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat.
Pertalian keluarga terjadi karena dua hal : Pertama karena keturunan sedarah dan kedua karena terjadi pertalian semenda atau perkawinan. Mengenai hubungan keluarga karena keturunan sedarah terdapat ketentuan-ketentuan seperti dalam pasal 290-294. Hubungan keluarga karena semenda diatur dalam pasal 295-297. Tentang keturunan yang sah diatur dalam pasal 250-260. Kekuasaan orang tua adalah kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa.
Perwalian (Voogdij) adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di tanah kekuasaan orang tua. Jadi dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai atau jika salah satu dari mereka atau semuanya meninggal dunia, berada di bawah perwalian. Terhadap anak diluar kawin, maka karena tidak ada kekuasaan orang tua anak itu selalu di bawah perwalian.
B.          Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Danhanyya Allah Swt. Yang memiliki kesempurnaan dan kekurangan itu milik kami. Kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari semua pihak untuk per baikan makalah kami.



[1]  Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga,  dan Hukum Pembuktian, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1997), Cet. IV. Hal. 93
[2] Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga Dan Hukum Pembuktian Menurut Kuhperdata, Jakarta: Bina Aksara, Hlm. 93.
[3] Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, Hlm. 73.
[4]  Salim H. S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm. 55.
[5] Ali Afandi, Op. Cit., Hlm. 91.
[6] Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Op. Cit., Hlm. 75-76.
[7] Pasal 43 Uu No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dengan Jelas Menyatakan Bahwa Anak Yang Dilahirkan Di Luar Perkawinan Hanya Mempunyai Hubungan Perdata Dengan Ibunya Dan Keluarga Ibunya.
[8] Lihat Pasal 280-289 Kuhper.
[9] J. Satrio, Op.Cit., Hal.15.
[10] Pof. Ali Afandi, S.H.Hukum Waris Hukum Keluarga Huku Pembuktian,Jakarta:Pt Rinekacipta,1997,Hlm.155.
[11] Ibid. Hlm.155
[12] Prof. R. Subekti, S.H. Hukum Keluarga Dan Hukum Waris,Jakarta:Pt Intermasa,1990, Hlm.18.
[13] Prof. Ali Afandi, S.H., Op. Cit, Hlm 157-158.




Iklan Atas Artikel

Adnow April 22

Adnow April 22

Iklan Bwah Artikel (Adnow)