Makalah Sejarah Terbentuknya Hukum Acara Perdata
DISUSUN
OLEH:
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUD
DA’WAH WAL IRSYAD ABDURRAHMAN AMBO DALLE (STAI DDI-AD) MANGKOSO
BARRU/ 2015
KATA
PENGANTAR
بسم الله الرØمن الرØيم
Segala
puji dan syukur kehadirat Allah SWT kami dari kelompok I panjatkan atas berkat rahmat
dan pentunjuk-Nyalah sehingga makalah Pengembangan hokum yang berjudul“SEJARAH
TERBENTUKNYA HUKUM ACARA PERDATA”, dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat
serta salam senantiasa kami hanturkan atas junjungan Nabi Besar Muhammad SAW,
sebagai penyampai risalah bagi seluruh umat manusia dan rahmat bagi sekalian alam.
Makalah
ini merupakan salah satu tugas penunjang dalam matakuliah HUKUM ACARA PERDATA pada
jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas SYARI’AH di SekolahTinggi Agama Islam
(STAI) DDI Mangkoso Kabupaten Barru. Keberadaan makalah ini tidak terlepas dari
dukungan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Olehnya itu,Pada
kesempatan ini juga dengan segala kerendahan hati kami menyampaikan penghargaan
dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
A.Saharuddin ,SH.,MH. selaku dosen mata
kuliah hukum acara perdata, yang telah memberikan bimbingan dan kesempatan kepada
kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Rekan-rekan satu kelompok, atas kerjasamanya
dalam pembuatan maupun penyusunan makalah ini.
Pihak-pihak lain yang tidak secara langsung
ikut terlibat dalam pembuatan maupun penyusunan makalah ini.
Kepada mereka penyusun hanya bisa memohon
do’a kepada Allah SWT agar tetap melimpahkan kepada mereka nikmat, karunia, dan
taufiq-Nya, aamiiinnn.
Mengenai makalah ini kami secara umum sadar
akan segala kekurangannya. Karena itulah, kami sangat mengharapkan saran dan koreksi
demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, kami berharap semoga makalah
yang berjudul “SEJARAH TERBENTUKNYA HUKUM ACARA PERDATA” ini dapat bermanfaat
bagi kita semua dan terkhususnya bagi para penyusun.
Mangkoso, 28 Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
LatarBelakang 1
RumusanMasalah 1
TujuanPenulisan 1
BAB II PEMBAHASAN 2
Sejarah hukum acara perdata dan
peradilan di indonesia 2
Sumber hukum acara perdata 5
Surat edaran mahkamah agung RINo. 3
tahun 1963 9
BAB
III PENUTUP 11
Kesimpulan 11
Saran 11
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
Pendahuluan
A.latar
belakang
Tanggal 5
Desember 1846 Gubernur jendral Ijan Jacob Rochussen memberi tugas ketua MA dan
MA tentara untuk membuat sebuah Reglemen bagi golongan Indonesia. Tanggal 6
Agustus 1847 Jhr. Mr. H.L Wichers/ ketua MA dan MA tentara telah selesai dengan
rancangannya serta peraturan penjelasannya. Tanggal 5 April 1848, Stbl. 1848 No.16
rancangan Wichers diterima dan diumumkan oleh Gubernur Jendral dengan diberi
nama ”Het Inlands reglemen” I.R. dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.
B.rumusan
masalah
a. Apa yang dimaksud
dengan sejarah hukum acara perdata?
b. Bagaimana
sejarah terbentuknya hukum acara perdata?
C.Tujuan
penulisan
a. Untuk mengetahui tentang terbentuknya hukum acara
perdata.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Hukum Acara Perdata dan Peradilan di Indonesia
1. Zaman
Hindia Belanda (1848-1942)
2. Zaman
Jepang (1942-1945)
3. Zaman
RIS (1945 dan 1949 dan 1950)
4.
Periode 1950-1959
5.
Periode 5 Juli 1959 s/d 11 Maret 1966 dan sesudah 11 Maret 1966
Badan Peradilan Zaman Hindia Belanda
Menurut SOEPOMO ada lima tatanan
peradilan Hindia Belanda, yaitu :
a.
Peradilan Gubernemen
b. Peradilan
Pribumi
c.
Peradilan Swapraja
d. Peradilan
Agama
e.
Peradilan Desa
PERADILAN
GUBERNEMEN
Peradilan ini merupakan peradilan
Pemerintah Hindia Belanda, yang dilaksanakan atas nama Ratu, yang meliputi
seluruh daerah Hindia Belanda dan berlaku untuk semua golongan penduduk, dengan
perkecualian-perkecualian.
Peradilan Gubernemen ini terdiri dari
:
a.
Peradilan Gubernemen Bumiputera
1. Districtsgerecht
(Pengadilan Kewedanan)
2. Regentshapsgerecht
(Pengadilan Kabupaten)
Landraad
Adalah peradilan tingkat pertama untuk
semua perkara perdata dan pidana terhadap orang Indonesia, yang tidak dengan
tegas oleh UU dipercayakan pada peradilan lain. Dalam perkara pidana, Landraad
merupakan pengadilan tingkat pertama bagi orang Tionghoa dan Timur Asing (TA).
Dalam perkara pidana kedudukan orang Tionghoa dan TA sama dengan orang
Indonesia.
Landgerecht
Landgerecht hanya mempunyai kekuasaan
mengadili dalam perkara pidana, dengan tidak memandang kebangsaan terdakwa
dalam tingkat pertama dan terakhir terhadap “semua pelanggaran (dan beberapa
kejahatan ringan) yang diancam hukuman kurungan paling lama 3 bulan atau denda
paling banyak 500 rupiah”
3. Raad
Van Justitie
4. Hooggerechtshof
b. Peradilan
Gubernemen Eropa dan yang dipersamakan
Residentiegerecht
Keadaan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah
mengadili perkara perdata bagi orang Eropa dan yang dipersamakan.
Landgerecht
Kedudukan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah
mengadili perkara bagi orang Eropa.
Raad Van Justitie
Berkedudukan di Jakarta, Semarang dan
Surabaya. Merupakan pengadilan Tingkat Pertama untuk orang Eropa dan Tionghoa
untuk perkara perdata dan pidana. Putusan Raad Van Justitie sepanjang terdakwa
tidak dibebaskan dari segala tuntutan, dapat dimintakan revisi kepada
Hooggerechtshof.
Hooggerechtshof
Merupakan pengadilan tertinggi dan berkedudukan di Jakarta, dan daerah hukumnya
meliputi seluruh Hindia Belanda.
2.
Zaman Jepang
UU No.1 tahun
1942 yang menentukan “bahwa untuk sementara waktu segala UU dan peraturan
dari pemerintah Hindia Belanda dahulu terus berlaku, sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan balatentara Jepang”
Tidak ada perubahan dalam hukum materill,
hanya perubahan penyederhanaan sistem peradilan dengan sistem hakim tunggal,
menjadi : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja, Peradilan Adat
dan Peradilan Militer.
Badan
Peradilan Zaman Jepang
1) Gunsei
Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara) berlaku untuk semua penduduk Hindia
Belanda.
2) Semua
Badan Pengadilan dari Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Residentiegerecht yang
dihapus berdasarkan UU No. 14 Tahun 1942 diganti namanya :
Landraad
menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri)
Landgerecht
menjadi Keizai Hooin (Hakim Kepolisian)
Regentscahgerecht
menjadi Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
Districtsgerecht
menjadi Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan)
Berdasarkan
UU No. 34 Tahun 1942 (Osamu Seirei No. 3 ) dibentuk :
a.
Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi)
b. Saikoo
Hooin (Pengadilan Agung), akan tetapi di dalam Pasal 14 UU No. 34 Tahun 1942
ditentukan bahwa apel kepada dua badan pengadilan tersebut untuk sementara
waktu tidak diperkenankan.
3.
Periode RIS
UU No. 7 tahun 1947 tentang susunan
keluasaan MA dan Kejaksaan Agung
UU No.20 tahun 1947 tentang Banding di
jawa-madura,dan RBg diluar Jawa-madura
4 lingkungan peradilan ; umum, agama,
adat dan militer
4.
Periode 1950-1959
Menghapus pengadilan khusus,hanya
meninggalkan PN yang berkuasa pada tingkat pertama memeriksa,mengadili
UU No.1 tahun 1951 ttg susunan
peradilan umum, yaitu PN, PT dan MA
5.
Periode 5 Juli 1959- 11 Maret 1966
UU No.19/1964 ttg Ket.Pokok kekuasaan
kehakiman
UU No.13 tahun 1965 ttg Pengadilan
dalam Peradilan Umum
4 lingkungan peradilan, yaitu :
Peradilan umum,peradilan agama, peradilan militer, peradilan TUN
Namun kedua UU tsb memberikan
eksekutif dapat intervensi perkara,pengadilan,peradilan, bertentangan dengan
UUD’45
Orde baru, Digantikan dgn UU No.14
tahun 1970 ttg Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No.2 tahun Peradilan Umum.
Belum ada HaPdt yg berlaku secara
Universal,seperti HaPidana (UU No.8/1981)
B.
Sumber Hukum Acara Perdata
HIR (Herziene Indonesische
Reglement) di dalam Stb.1941 : 44 Pasal 118-245, berlaku bagi Gol.
Bumiputera daerah Jawa & Madura
RBg (Rechtsreglement voor de
Buitenwesten) di dalam Stb.1927 : 227 Pasal 142-314, berlaku bagi Gol.
Bumiputera daerah luar Jawa & Madura
BRv (Reglement opde Burgerlijke
Rechtvordering) di dalam Stb.1847 : 52, berlaku bagi Gol.Eropa & yang
dipersamakan. Sekarang sebagai Pedoman.
UU Kekuasaan Kehakiman, 48 tahun 2009
UU Mahkamah Agung, 5 tahun 2004
UU No.2 tahun 1986 ttg Peradilan Umum
jo UU No.8 tahun 2004 jo UU No.49 tahun 2009 ttg Perubahan kedua UU No.2 tahun
1986 ttg Peradilan Umum
SEMA
Jurispurdensi
Sejarah
Singkat Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
Untuk mengatahui Sejarah Hukum Acara
Perdata yang berlaku di Indonesia, maka sebelumnya perlu diketahui bahwa Hukum
Acara Perdata yang berlaku hingga saekarang belumlah terhimpun dalam sebuah
kodifikasi. Herziene Ilandsch Reglement (HIR) merupakan salah satu sumber Hukum
Acara Perdata peninggalan kolonial Hindia Belanda yang masih berlaku di negara
kita hingga kini. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebenarnya berasal dari
Inlandsch Reglement (IR) atau Reglement Bumiputera, yang termuat dalam Stb.
1848 Nomor 16 dengan judul (selengkapnya) "Reglement op de uit oefening
van de politie de Burgerlijke Rechtspleging en de strafvordering onder de
Wanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en Madura" (Reglement tentang
pelaksanaan tugas kepolisian, peradilan perkara perdata dan penuntutan perkara
pidana terhadap golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura).
Inlandsch Reglement selanjutnya
disingkat IR pertama kali diundangkan tanggal 5 April 1848 (Stb. 1848 Nomor 16)
merupakan hasil rancangan JHR. Mr. HL. Wichers, President Hoogge¬rechtshof
(Ketua Pengadilan Tertinggi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda) di Batavia.
Beliau adalah seorang jurist bangsawan kenamaan pada waktu itu. Dasar wewenang
Mr. Wichers membuat rancangan IR tersebut adalah Surat Keputusan Gubernur
Jenderal J.J. Rochussen tanggal 5 Desember 1846 Nomor 3 yang memberikan tugas
kepadanya untuk merancang sebuah reglement (peraturan) tentang administrasi,
polisi, dan proses perdata serta proses pidana bagi golongan Bumi-putera.
Pada waktu itu peraturan Hukum Acara
Perdata yang dipakai oleh peng¬adilan yang berwenang mengadili golongan
Bumiputera dalam perkara perdata adalah peraturan Hukum Acara Perdata yang
termuat dalam Stb. 1819 Nomor 20 yang hanya memuat 7 (tujuh) pasal tentang
acara perdata. Dalam menyusun rancangan IR, Wichers mempelajari lebih dahulu
terhadap reglement tahun 1819 tersebut dan rencana tahun 1841 yang pernah
dibuatnya atas dasar reglement 1819, di mana pada akhir-7 nya ia berpendapat
bahwa keduanya (reglement tahun 1819 dan rancang¬an tahun 1841 tersebut) tidak
dapat dijadikan dasar untuk menyusun reglement yang akan dikerjakannya.
Dalam waktu yang relatif singkat,
belum sampai 1 (satu) tahun tepatnya tanggal 6 Agustus 1847 Mr. Wichers telah
berhasil membuat sebuah rencana per¬aturan Hukum Acara Perdata dan Pidana, yang
terdiri dari 432 (empat ratus tiga puluh dua) pasal lengkap dengan penjelasan-penjelasannya.
Rencana Wichers ini disambut berlainan oleh pihak-pihak yang diminta¬kan
pertimbangannya. Ada yang tidak setuju seperti Mr. Hultman yang berpendapat
bahwa rencana itu sangat berliku-liku dan terlalu mengikat sehingga perlu disederhanakan.
Akan tetapi, keberatan Hultman tidak dapat diterima oleh Hooggerechtshof.
Pengadilan Tertinggi ini menilai rencana Wichers itu sebagai suatu kemajuan
dibandingkan dengan peraturan tahun 1819. Kemudian, 2 (dua) orang dari
Hooggerechtshof menghendaki supaya rencana itu dilengkapi dengan peraturan
tentang vrijwaring, voeging, tussenkomst, reconventie, request civiel, dan
sebagai¬nya seperti halnya dengan Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa yang
termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering yang sering disingkat
dengan Rv atau BRv. Namun, Wichers tidak bersedia untuk mengubah rencananya
dengan usul-usul tambahan tersebut, dengan alasan, kalau orang sudah mulai
menambah berbagai ketentuan terhadap rencana tersebut, akhirnya akan tidak terang
lagi sampai di mana batasnya yang dianggap perlu atau patut ditambahkan itu.
Jika demikian, kata Wichers, lebih baik memberlakukan saja hukum acara untuk
golongan Eropa terhadap golongan Bumiputera.
Kendatipun demikian, Mr. Wichers sedikit banyak rupanya mendekati juga
keinginan pengusul-pengusul tersebut. Akan tetapi, dengan pem¬batasan. Sesuai
dengan itu ia memuat suatu ketentuan penutup yang ber¬sifat umum. Ketentuan
mana setelah diubah dan ditambah kini menjadi pasal yang penting sekali dari HIR,
yaitu Pasal 393 yang berbunyi sebagai berikut:
1. Dalam hal mengadili di muka
pengadilan bagi golongan Bumi¬putera tidak boleh dipakai bentuk-bentuk acara
yang melebihi atau lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam reglement ini.
2. Namun demikian, Gubernur Jenderal
berhak, apabila ber¬dasarkan pengalaman ternyata bahwa dalam hal yang demi¬kian
itu sangat diperlukan, setelah meminta pertimbangan Hooggerechtshof, untuk
pengadilan-pengadilan di Jakarta, Semarang, dan Surabaya dan lain-lain
pengadilan seperti itu yang juga memerlukannya, menetapkan lagi ketentuan
lain¬nya yang lebih mirip dengan ketentuan-ketentuan hukum acara bagi
pengadilan-pengadilan Eropa.
Akhirnya rancangan Wichers diterima
oleh Gubernur Jenderal dan di¬umumkan pada tanggal 5 April 1848 (Stb. 1848
Nomor 16) dengan sebut¬an Reglement op de luit oefening van de politie, de
Burgerlijke rechts¬pleging en de Strafvordering onder de Inlanders en de
Vreemde Ooster¬tingen of Java en Madura, yang sering disingkat dengan lnlandsch
Regle¬ment (IR), yang dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal I Mei 1848. IR ini
kemudian disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29 September 1849
Nomor 93 yang diumumkan dalam Stb. 1849 Nomor 63; dan oleh karena dengan
pengesahan ini sifat IR menjadi Koninklijk Besluit. Sejak diumumkan pertama
kali tanggal 5 April 1848, IR telah mengalami beberapa kali perubahan.
Perubahan pertama dilakukan pada tahun 1926 (Stb. 1929 Nomor 559 jo. Pasal
496). Perubahan terakhir dilakukan pada tahun 1941 (Stb. 1941 Nomor 44) yang
dikatakan sebagai perubahan yang memperbaharui (Herziene) terhadap Inlandsch
Reglement, sehingga sejak itulah IR berubah menjadi HIR singkatan dari Herziene
Inlandsch Reglement yang berarti Reglement Indonesia yang diperbaharui (yang
sering pula disingkat RIB). Sekadar untuk diketahui, bahwa pembaharuan yang
dilakukan terhadap IR menjadi HIR pada tahun 1941 itu sebetulnya hanya
dilakukan terhadap acara pidana saja, yaitu mengenai pembentukan aparatur
Kejaksaan atau Penuntut Umum (Openbaar Ministerie) yang berdiri sendiri, di
mana anggota-anggotanya para jaksa yang dulu ditempatkan di bawah pamong praja
diubah menjadi di bawah Jaksa Tinggi atau Jaksa Agung. Perubahan IR pada tahun
1941 tersebut sama sekali tidak mengenai acara perdata.
Sejarah
Singkat Rechtsreglement voor de Buiten-gewesten (RBg)
RBg adalah singkatan dari
Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Reglement untuk daerah seberarang) yang
merupakan singkatan pula dari "Reglement tot Regeling van het Rechtswezen
in de Qewesten buiten Java en Madura", suatu ordonansi yang dibuat
Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 11 Mei 1927 (Stb. 1927 Nomor 227)
yang seluruh¬nya terdiri dari 8 (delapan) pasal. Gubernur Jenderal Hindia
Belanda sendiri mempunyai wewenang untuk membuat peraturan Hukum Acara Perdata
bagi daerah-daerah luar Pulau Jawa dan Madura ini berdasarkan Koninklijk
Besluit tanggal 4 Januari 1927 Nomor 53.
RBg yang dinyatakan Pasal VIII
ordonansi tanggal 11 Mei 1927 Nomor 227 mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli
1927, merupakan pengganti peraturan-peraturan Hukum Acara Perdata yang lama
yang tersebar dan berlaku bagi daerah-daerah tertentu saja. Yaitu
ordonansi-ordonansi bagi daerah-daerah Bengkulu, Lampung, Palembang, Jambi,
Sumatra Timur, Aceh, Riau, Bangka, Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Timur, Manado, Sulawesi, Ambon, Ternate, Timor, Bali,
dan Lombok (Pasal I ordonansi).
Meskipun pada saat ordonansi tanggal
11 Mei 1927 Nomor 227 itu di¬undangkan, masih ada beberapa peraturan lama yang
dinyatakan tetap berlaku bagi daerah tertentu seperti bagi daerah Gorontalo
(Pasal IV ordonansi). Kecuali itu masih ada beberapa daerah yang dikecualikan
dari berlakunya RBg, seperti daerah Irian Barat bagian selatan (Pasal III
ordonansi),
RBg yang merupakan lampiran Pasal II ordonansi Tahun 1927 Nomor 227 dibuat oleh
Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan mencontoh pada HIR dan pasal-pasal Stb.
1867 Nomor 29 tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat di bawah tangan dari
orang-orang Indonesia (Bumiputera) ditambah dengan sebagian dari BW Buku IV
tentang pembuktian. Dengan demikian, apabila pasal-pasal RBg dibandingkan
dengan pasal-pasal HIR dan BW, akan terlihat banyak persamaan. Hanya beberapa
pasal saja yang berbeda yang disesuaikan dengan keadaan khusus daerah-daerah luar
Pulau Jawa dan Madura.
Pada zaman pendudukan Jepan di
Indonesia, Pemerintah Balatentara Dai Nippon pada tanggal 7 Maret 1942 telah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang berlaku untuk Pulau Jawa dan
Madura. Pasal 3 undang-undang ini menyatakan:
"Semua badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang
dari Pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja
tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Militer. "
Dengan adanya undang-undang ini maka
HIR pada zaman Jepang masih tetap berlaku di Indonesia. Untuk daerah-daerah di
luar Pulau Jawa dan Madura, ada badan-badan kekuasaan lain selain Balatentara
Dai Nippon, yang tindakan-tindakannya tentang hal ini boleh dikatakan sama.
Dengan demikian, pada zaman Jepang, RBg juga masih tetap berlaku di Indonesia.
Kemudian, HIR dan RBg masih tetap berlaku sampai Indonesia merdeka (1945) dan
terus berlaku hingga sekarang berdasarkan aturan peralihan dalam Undang-Undang
Dasar 1945, Konstitusi RIS 1949, dan Undang¬Undang Dasar Sementara 1950.
Sejarah HIR dan RBg di atas menunjukkan, kedua hukum acara pening¬galan
kolonial Hindia Belanda itu usianya sudah sangat tua, Iebih dari satu setengah
abad.
HIR yang berasal dari IR yang mulai
berlaku sejak 1 Mei 1848, yang kemudian ditiru dalam menyusun RBg yang berlaku
sejak 1 Juli 1927, tentu saja disusun sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia masa itu, yang sebagian besar tidak bisa membaca dan menulis,
sehingga bentuk-¬bentuk acaranya sangat sederhana dan tidak formalistis.
C. Surat
Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 1963
Berdasarkan gagasan Menteri Kehakiman
Dr. Sahardjo, S.H. ini MA-RI tahun 1963 mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun
1963 yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan Negeri di seluruh
Indonesia. Isi Surat Edaran tersebut, yaitu MA-RI menganggap tidak berlaku lagi
ketentuan di dalam KUHPdt. antara lain pasal berikut :
Pasal 108 &
110 BW tetang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum &
untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya. Dengan
demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
Pasal 284 [3]
KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh perempuan
Indonesia asli. Dengan demikian pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya
hubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga tentang hal ini juga tidak ada
lagi perbedaan antara semua WNI.
Pasal 1682
KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris.
Pasal 1579
KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang, pemilik barang
tidak dapat menghentikan penyewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai
sendiri barangnya, kecuali apabila pada watu membentuk persetujuan sewa menyewa
ini dijanjikan diperbolehkan
Pasal 1238
KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya
dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini didahului oleh suatu penagihan
tertulis. Mahkamah Agung pernah memutuskan antara dua orang Tionghoa, bahwa
pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan
oleh karena tergugat masih dapat menghindarkan terkabulannya gugatan dengan
membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
Pasal 1460
KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang, yang menentukan bahwa suatu
barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual. Sejak saat itu adalah atas
tanggungan pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukan . Dengan
tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari setiap keadaan,
apakah tidak sepantasnya pertangungjawaban atau resiko atas musnahnya barang
yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara
kedua belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana pertanggung-jawaban dimaksud.
Pasal 1603
x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa disatu
pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan.
BAB
III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Untuk mengatahui Sejarah Hukum Acara Perdata
yang berlaku, maka sebelumnya perlu diketahui bahwa Hukum Acara Perdata yang
berlaku hingga sekarang belumlah terhimpun dalam sebuah kodifikasi. Herziene
Ilandsch Reglement (HIR) merupakan salah satu sumber Hukum Acara Perdata
peninggalan kolonial Hindia Belanda yang masih berlaku di negara kita hingga
kini. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebenarnya berasal dari Inlandsch
Reglement (IR) atau Reglement Bumiputera, yang termuat dalam Stb. 1848 Nomor 16
dengan judul (selengkapnya) "Reglement op de uit oefening van de politie
de Burgerlijke Rechtspleging en de strafvordering onder de Wanders en de
Vreemde Oosterlingen op Java en Madura" (Reglement tentang pelaksanaan
tugas kepolisian, peradilan perkara perdata dan penuntutan perkara pidana
terhadap golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura).
Hukum Acara Perdata yang dipakai oleh
pengadilan yang berwenang mengadili golongan Bumiputera dalam perkara perdata
adalah peraturan Hukum Acara Perdata yang termuat dalam Stb. 1819 Nomor 20 yang
hanya memuat 7 (tujuh) pasal tentang acara perdata. Dalam menyusun rancangan
IR, Wichers mempelajari lebih dahulu terhadap reglement tahun 1819 tersebut dan
rencana tahun 1841 yang pernah dibuatnya atas dasar reglement 1819, di mana
pada akhir-7 nya ia berpendapat bahwa keduanya (reglement tahun 1819 dan
rancangan tahun 1841 tersebut) tidak dapat dijadikan dasar untuk menyusun
reglement yang akan dikerjakannya.
B.Saran
Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami
persembahkan. Harapan kami dengan adanya tulisan ini bisa menjadikan kita untuk
lebih menyadari bahwa sejarah memiliki keilmuan yang sangat dalam untuk
mengembangkan potensi yang ada di alam ini dan merupakan langkah awal untuk
membuka cakrawala keilmuan kita tentang “SEJARAH TERBENTUKNYA HUKUM ACARA
PERDATA”ini, agar kita menjadi seorang muslim yang bijak sekaligus intelek.
Serta dengan harapan dapat bermanfaat dan bisa difahami oleh para pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Zainul Rijal Abu Bakar - dipetik dari
Berita Harian
Soekanto, Soerjono. Pengantar
Sejarah Hukum. Bandung: Alumni, 1983.
Soepomo. Sistem Hukum di
Indonesia Sebelum Perang Dunia II. Jakarta: Pradnya Paramita,
1991.