Makalah Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam

MAKALAH

ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

Disusun untuk pemenuhan tugas dari mata kuliah sejarah peradaban islam pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Darud Da’wah Wal Irsyad Mangkoso Angkatan Tahun 2019

Oleh;

MUSTAJAB

SEMESTER VI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUD DA’WAH WAL IRSYAD
MANGKOSO KABUPATEN BARRU

TAHUN 2019


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “FIQH JINAYAH” yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah, akhirnya makalah ini dapat diselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kami penyusun mohon maaf, dan untuk saran dan kritiknya kami harapkan.

Mangkoso, 10 Agustus 2019.

Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, pada dasarnya memperjuangkan syariat Islam merupakan suatu  keharusan baginya Salah satunya memberlakukan hukum pidana Islam di Indonesia. Namun, kejam dan tidak manusiawi. begitulah kesan sebagian masyarakat terhadap hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah). Tiap mendengar pidana Islam, yang terbayang biasanya hukuman potong tangan, rajam dan qishash yang dapat dikaegorikan sebagai `vonis`. Padahal, studi yang obyektif dan mendalam terhadap hukum ini kana menunjukan bahwa kesan sperti ini muncul, karena hukum pidana Islam dilihat secara tidak utuh atau parsial.
Seharusnya, hukum pidana Islam dibaca dalam konteks yang menyeluruh dengan bagian lain dari syariat Islam. Hukum potong tangan contohnya, sering dituding telalu lampau kejam dan tidak adil. padahal, hukuman ini baru dijatuhkan ketika sejumlah syarat yang ketat telah dipenuhi. Selain itu, situasi dan kondisi pada lingkungan masyarakat itu menjadi pertimbangan diberlakukanya hukum pidana Islam. Sebagai contoh, di masa kahlifah Umar bin Khotob, hukuman potoang tangan tidak pernah diberlakukan karna terjadinya krisis kebutuhan pokok dimasyarakat. Kalau hukuman itu diberlakukan, maka ini tidak sesuai dengan maqosid asy-syariat atau tujuan hukumnya.
Saat ini, di negeri kita marak terjadi akasi kejahatan yang amat meresahkan dan menakutkan masyarakat. seperti pembegalan dijalan-jalan, pencurian, pencopetan, bahkan pada bulan Juli 2001, di sekitar Bekasi terjadi pembunuhan yang didahului pemerkosaan terhadap ibu dua orang anak dua. Mayat korban lalu dibakar dan dikubur di tempat kejadian. Sementara itu, kejahatan seksualpun merebak dengan pesat. pornografi makin tak terkendali, pelecehan seksual terjadi dimana-mana. penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang semakin bertambah, dan tindak pidana korupsi yang kian tak terbendung.
Dalam kondisi seperti ini, reaksi masyarakat terhadap pelaku kejahatan juga kian tak terkontrol. sudah lebih dari sepuluh orang yang yang dianggap mencuri hangus dibakar oleh massa, sudah puluha nyawa melayang sia0sia karena salah sasaran. Masyarakat marah dan geram karena kejahatan begitu mudah mengambil korban. huku, seolah tak lahi ada, karena daya efektifitasnya melemah. Para pelaku kejahatan sepertinya tidak lagi takut pada sanksi. Penjara pun menjadi tempat yang paling aman untuk berlibur dan transaksi narkoba. Disaat seperti inilah, masyarakat butuh suatu sistem penanggulangan kejahatan yang betul-betul melindungi dan memberi rasa aman.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian asas legalitas dalam dan bagaimana penerapannya?
2.    Bagaimana perbandingan asas legalitas hukum pidana islam dengan hukum pidana umum?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui tentang Pengertian Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam dan untuk mengetahui tentang Penerapan Asas Legalitas
2.      Untuk mengetahui tentang  perbandingan  Azas legalitas  syara’ dengan hukum pidana umum.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Asas Legalitas dan Penerapannya
1.      Pengertian Asas Legalitas
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan Alqur’an Surah Al-Israa’ (17) ayat 15, Alqur’an Surah Al-An’am (6) ayat 19, hal itu di ungkapkan sebagai berikut:

مَنِ اهْتَدَي فَاِنَّمَا يَهْتَدِيْ لِنَفْسِهِ ج وَمَنْ ضَلَّ فَاِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا قلى وَلاَتَزِرُوَازِرَةٌّ وِّزْرَاُخْرَى قلى  وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْ لاً ۞
Terjemahnya: Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul.

قُلْ اَيُّ شَيْءٍ اَكْبَرُ شَهَادَاةً قلى قُلِ اللهُ قلى شَهِيْدٌۢ بَۢيْنِيْ وَبَيْنَكُمْ قلى وَاُوْ حِيَ اِلَيَّ هٰذَا الْقُرْاٰنُ ِلاُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ قلى اَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُوْنَ اَنَّ مَعَ اللهِ اٰلِهَةً اُخْرٰىقلى قُلْ َّﻵ اَشْهَدُ ج قُلْ اِنَّمَا هُوَ اِلٰهٌ وَّا حِدٌ وَّاِنَّنِيْ بَرِيْ ءٌ مِمَّا تُشْرِكُوْنَ۞  
Terjemahnya: Katakanlah: "Siapakah yang lebih Kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". dia menjadi saksi antara Aku dan kamu. dan Al Quran Ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia Aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".
 Kedua ayat ini berasaskan bahwa Alqur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW, supaya menjadi peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu.[1]
Asas legalitas merupakan unsur formal dari jarimah. Jadi segala perbuatan tidak dianggap jarimah apabila tidak ada nash yang yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman.

2.      Penerapan Asas Legalitas
Asas legalitas diterapkan oleh syara’ pada semua jarimah dengan cara yang berbeda, baik pada jarimah hudud, qishash maupun ta’zir.
a.    Dalam Jarimah Hudud dan Qishash
Secara tegas dan jelas syara’ telah menyatakan dalam nash tentang hukuman jarimah ini. Untuk jarimah zina terdapat dalam:
Al-qur’an surah Al-Israa’ ayat 32
وَلاَ تَقْرَبُواالزِّنٰى اِنَّهٗ كَانَ فَا حِشَةً قلى وَسَآءَ سَبِيْلاً ۞
Terjemahnya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”

Al-qur’an surah An-Nuur ayat 2
اَلزَّا نِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍمِّنْهُمَامِائَةَ جَلْدَةٍ صلى وَّلاَ تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاٰخِرِ ج وَلْيَشْهَدْ عَذَا بَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ۞
Terjemahnya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Untuk jarimah qazdaf nash tentang hukumannya terdapat dalam surah An-Nuur ayat 4
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَتِ شُهَدَآءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلاَتَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًا ج وَاُولٰئِكَ هُمُ الفٰسِقُوْنَ۞  
Terjemahnya: “ Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.
Untuk jarimah qishash diat yang meliputi tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan, ketentuannya tercantum dalam beberapa ayat Al-qur’an.
Untuk tindak pidana pembunuhan larangannya tercantum dalam surat Al-Israa’ ayat 33.
وَلاَتَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِا الْحَقِّ ۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُوْمًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطٰنًا فَلاَ يُسْرِفْ فِّى الْقَتْلِ ۗ اِنَّهٗ كَانَ مَنْصُوْرًا۞
Terjemahnya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”
Hukuman untuk tindak pidana pembunuhan ini berbeda-beda sesuai dengan jenis pembunuhannya. Untuk pembunuhan sengaja hukumannya tercantum dalam:
Surah Al-Baqarah ayat 178
ياآَيُّهَا الَّذِيْ اٰمَنُوْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ اَلْحُرُّبِا لْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَاْلاُنْثٰى بِاْلاُنْثٰىۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَآءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذٰبٌ اَلِيْمٌ ۞
Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.”

Surah Al-Maaidah ayat 45
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَآ اَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِاالْعَيْنِ وَاْلاَنْفَ بِاْلاَنْفِ وَاْلاُذُنَ بِاْلاُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ لا وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌقلى فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهٗ قلى وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللهُ فَاولٰئِكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ۞
Terjemahnya: “Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
Untuk pembunuhan karena kesalahan, hukumannya tercantum dalam:
Alqur’an Surah An-Nisaa’ ayat 92
وَمَا كَانَ لِمُؤْ مِنٍ اَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا اِلاَّ خَطَئًا ج وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَئًا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَّدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰى اَهْلِهِ اِلآَّ اَنْ يَّصَّدَّ قُوْا ۗ فَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّلَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍقلى وَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰى اَهْلِهِ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍج فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَا بِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللهِقلى وَكَانَ اللهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ۞
Terjemahnya: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

b.    Dalam Jarimah Ta’zir
Dalam jarimah ta’zir penerapam asas legalitasnya berbeda dengan jarimah hudud da qishash, ini disebabkan karena syari’at islam tidak menentukan secara tegas dan terperinci, baik jarimahnya maupun hukumannya.
Abdul Qadir Audah membagi hukuman ta’zir menjadi 3 bagian:
1)      Hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat
Pengertian maksiat disini adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan (dilarang) oleh syara’ dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diwajibkan (diperintahkan) olehnya.[2]
Perbuatan-perbuatan maksiat ini dapat dibagi kepada tiga bagian:
a)    Perbuatan maksiat yang dikenakan hukuman had tetapi kadang-kadang ditambah dengan kifarat, seperti: pembunuhan, pencurian, minum-minuman keras dan sebagainya.
b)   Perbuatan maksiat yang dikenakan hukuman kifarat, tetapi tidak dikenakan hukuman had, seperti: menyetubuhi istri pada siang bulan ramadhan.
c)    Perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat, seperti: mencium wanita yang bukan istri, percobaan pencurian, memakan bangkai atau darah, dan lain sebagainya.
2)      Hukuman ta’zir dalam rangka mewujudkan kemashlahatan umat
Syari’at islam membolehkan untuk menjatuhkan hukuman ta’zir atas perbuatan yang bukan maksiat yakni yang tidak ditegaskan larangannya, apabila hal itu dikehendaki oleh kemashlahatan atau kepantingan umum.
3)      Hukuman ta’zir atas pebuatan-perbuatan pelanggaran.
Pelanggaran adalah melakukan perbuatan yang makruh atau meninggalkan perbuatan yang mandub.
Para fuqoha berbeda pendapat mengenai penjatuhan hukuman ta’zir ini, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak. Bagi mereka yang tidak membolehkannya mengatakan bahwa hukuman itu dijatuhkan karena meninggalkan perinah (taklif), sedangkan dalam makruh atau mandub tidak ada perintah nelainkan hanya sebuah anjuran oleh karenanya siapapun yang mengerjakan atau meninggalkan kedua perbuatan tersebut, ia tidak layak dijatuhi hukuman.
Mereka yang membolehkan penjatuhan tersebut mengatakan bahwa mandub sebenarnya adalah perintah dan makruh adalah larangan, meskipun demikian, mengerjakan makruh dan meninggalkan mandub tidak disebut maksiat melainkan hanya disebut mukhalafah (pelanggaran). Untuk penjatuhan hukuman ta’zir atas perbuatan pelanggaran disyaratkan berulang-ulangnya perbuatan, tetapi apabila perbuatan itu mengganggu kepentingan umum maka pelaku dapat dikenakan hukuman tanpa berulang-ulangnya perbuatan.

B.     Perbandingan  azas legalitas dengan  hukum pidana umum.
Asas legalitas baru dikenal oleh hukum positif pada akhir abad kedelapan belas masehi sebagai hasil dari revolusi perancis. Sebelum masa tersebut para hakim bisa bertindak sekehendak hatinya dalam menentukan macamnya jarimah dan hukumnya. Pendirian hukum positif sama dengan syara’, bahwa permulaan tindak pidana tidak dapat dihukum,akan tetapi dikalangan sarjana-sarjana hukum positif terdapat perbedaan pendapat tentang saat dimana pembuat dianggap telah mulai melakukan jarimahnya itu. Pertama, menurut aliran obyektif, saat tersebut ialah ketika ia melakukan perbuatan material yang membentuk suatu jarimah.
Dengan kata lain aliran ini melihat kepada obyek atau perbuatan yang telah dikerjakan oleh pembuat. Kedua, menurut aliran subyektif, aliran ini memakai niatan dan pribadi pembuat untuk mengetahui maksud yang dituju oleh perbuatannya itu. Denagan kata lain, aliran ini menekan kepada subyek atau niat pembuat. Dari perbandingan syara’, ternyata pendirian syara’ dapat menampung kedua aliran tersebut. Akan tetapi syara’ menambahkan syarat yaitu apabila apabila perbuatan penbuat bias dikualifikasikan sebagai perbuatan maksiat / perbuatan salah, baik yang bisa menyiapkan jalan untuk jarimah yang dimaksudkan atau tidak.[3]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya  Perbuatan  dan sikap tidak berbuat tidak cukup dipandang sebagai jarimah hanya karena dilarang saja melainkan harus dinyatakan dengan hukumannya maka kesimpulan yang dapat diambil dari semua kaidah tersebut adalah bahwa menurut syari’at islam tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan adanya nash.

 DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qodir Audah, ‘At Tasyri’ Al jina’iy Al Islamiy, Juz I, Dar Al Kitab Al Araby, Beirut, t.t.
Ali, Zainuddin, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Ali, Zainuddin, Hukum Piddana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Pustaka Setia, Bandung, 2006
Jalaluddin As-Sayuthi, Al Asybah wa An Nadzair Fi Al Furu’, Dar Al Fikr, t. t.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah, Dep. Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab.



[1] Zainuddin Ali, HUKUM ISLAM Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, Sinar Grafika, jakarta, 2006, hal. 47
[2] Abdul Qodir Audah, ‘At Tasyri’ Al jina’iy Al Islamiy, Juz I, Dar Al Kitab Al Araby, Beirut, t.t, hal.128
[3] M.Budiarto, K-Wantjik Saleh, kitab undang-undang hukum pidana, Ghalia Indonesia, cet. kedua, 1982, hal. 9

Iklan Atas Artikel

Adnow April 22

Adnow April 22

Iklan Bwah Artikel (Adnow)