Makalah Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam 2
ASAS LEGALITAS
DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
Disusun untuk pemenuhan tugas mata kuliah
Fiqhi III
jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Darud Da’wah wal Irsyad
Mangkoso Angkatan tahun 2016
Disusun oleh:
FIRMAN JAYADI
NIM: 160232019
SEMESTER VI TARBIYAH
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUD DA’WAH WAL
IRSYAD MANGKOSO KABUPATEN BARRU
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT
atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Salam dan salawat senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
juga kepada umat beliau yang tetap istiqamah di jalan Allah SWT dalam
mengarungi bahtera kehidupan dan melaksanakan tugas kemanusiaan ini hinga hari
akhir.
Makalah ini berjudul “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam” Penulis menyadari bahwa
penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kritik dan
saran yang sifatnya membangun, senantiasa penulis harapkan dari semua pihak
sebagai bahan masukan dalam penyusunan makalah selanjutnya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Al Mukarram
Ustad Drs. Muh. Basri Hude., MA. yang telah memberi tugas dan membimbing kami
dalam mata kuliah Fiqhi III, segenap rekan-rekan yang telah membantu dalam menyelesaikan
makalah ini. Akhirnya kami berharap, makalah ini semoga dapat bermanfaat
bagi kita semua aamiin.
Mangkoso, juli 2019
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia di
dunia ini pasti membutuhkan aturan atau hukum dalam menjalani kehidupan di
dunia dan akhirat. Hukum yang dibutuhkan manusia sudah berada dalam nas
(al-qur’an).
لَا
يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
Tuhan tidak membebani
seseorang kecuali menurut kesanggupannya (al- baqarah 286). Salah satu
pembahasan hukum pidana Islam yaitu asas-asas hukum pidana. Didalam asas hukum
pidana terdapat berbagai macam asas-asas, salah satu diantaranya yaitu asas
legalitas. Dari pembahasan makalah ini akan menguraikan tentang
asas legalitas.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian asas legalitas ?
2.
Apa sumber asas legalitas ?
3.
Sebutkan dasar hukum asas legalitas
4.
Bagaimana penerapan asas legalitas ?
5.
Apa hubungan Asas Legalitas Antara Syara’
dengan Hukum Positif ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Asas
Legalitas
Asas legalitas ialah
tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan adanya suatu
nas. Moeljatno menulis bahwa asas Legalitas itu mengandung tiga
pengertian:
1.
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
undang-undang.
2.
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak
boleh digunakan analogi (kiyas).
3.
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku
surut.
Penerapan hukum pidana
atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dantempat perbuatan
dilakukan. Menurut Hazewinkel-Suringa, jika suatu perbuatan (feit) yang
mencocoki rumusan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang
bersangkutan, maka bukan saja halitu tidak dapat di tuntut tetapi untuk orang
yang bersangkutan sama sekali tidak dapat dipidana.
Asas legalitas yang
tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan dalam Bahasa latin: “Nullum
delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat disalin
kedalam Bahasa Indonesia kata demi kata: “tidak ada delik, tidak ada pidana
tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah latin:
“Nullum crimen sine lege striccta, yang dapat disalin kata demi
kata pula: “tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”. Hazewinkel-Suringa
memakai kata-kata dalam Bahasa Belanda “ Geen delict, geen straf zonder
een vooragaande strafbepaling” untuk rumusan yang pertama dan “Geen
delict zonder een precieze wettelijke bepaling” untuk rumusan
yang kedua.
B. Sumber Asas Legalitas
Asas legalitas tercantum dalam pasal 1 ayat
1 KUHP. Kalau kata-katanya yang asli dalam Bahasa belanda disalin kedalam Bahasa
Indonesia kata demi kata, maka akan berbunyi : “tiada suatu perbuatan (feit)
yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang mendahuluinya”.
Salah satu aturan pokok yang sangat penting
dalam syariat Islam adalah: “sebelum ada nas (ketentuan), tidak ada hukum bagi
perbuatan orang-orang yang berakal sehat”
لاَ
حُكْمَ لِاَ فْعَالِ الْعُقَلَاءِ قَبْلَ وُرُوْدِالنَّصِّ
Dengan perkataan lain perbuatan seseorang
yang cakap tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada nas (ketentuan)
yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau
meninggalkannya, sehingga ada nas yang melarangnya.
Aturan pokok lain yang berbunyi:”pada
dasarnya semua perkara dan semua perbuatan diperbolehkan.” Sehingga ada
dalil yang menunjukkan keharamannya.
اَلْاَصْلُ
فِى الْاَشْيَاءِ وَالْأَفْعَالِ الْإِبَا حَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّ لِيْلُ عَلَى
التَّحْرِيْمِ
Dengan perkataan lain, semua perbuatan dan
semua sikap tidak berbuat dibolehkan dengan kebolehan yang asli, artinya bukan
kebolehan yang dinyatakan oleh syara’. Jadi selama belum ada nas yang
melarang, maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan dan sikap
tidak-berbuat.
Kesimpulan dari pada kedua aturan pokok tersebut
adalah bahwa: “ sesuatu perbuatan atau sikap tidak-berbuat tidak boleh
dipandang sebagai jarimah kecuali adanya nas yang jelas dan yang melarang
perbuatan dan sikap tidak-berbuat tersebut. Apabila tidak ada nas yang
demikian sikapnya, maka tidak ada tuntutan atau pun hukuman atas
pelakunya”.
Di samping kedua aturan pokok tersebut,
masih ada aturan pokok ketiga yang dinyatakan sebagai berikut: “menurut syara’
orang yang dapat di beri pembeban hanya orang yang mempunyai sanggupan untuk
memahami dalil-dalil pembebanan dan untuk mengerjakannya, dan menurut syara’
pula pekerjaan yang di bebankan hanya pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan
di sanggupi serta diketahui pula oleh mukallaf maupun pada perbuatan yang
diperintahkan. Ada dua syarat yang harus terdapat pada orang mukallaf
yaitu :
1.
Sanggup memahami nas-nas syara’ yang berisi
hukum taklifi (tuntunan seperti suruhan, larangan dan sebagainya).
2.
Pantas di minta pertanggung jawaban dan
dijatuhi hukuman.
Kemudian
syarat untuk perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam:
1.
Perbuatan itu mungkin dikerjakan
2.
Perbuatan itu disanggupi
oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan mukallaf, baik untuk
mengerjakannya maupun meninggalkannya.
3.
Dapat diketahui dengan sempurna oleh seseorang
mukallaf, dan hal ini berarti :
a)
Ia mengetahui hukum-hukum taklifi, dan ini
bisa terjadi, apabila hukum tersebut disiarkan kepada orang banyak. Orang yang
tidak mengetahui adanya perintah atau larangan, tentu tidak akan bertindak
sesuai dengan perintah larangan tersebut. Penerapan aturan ini atas jarimah,
berarti bahwa tidak ada sesuatu jarimah tanpa ada nas terlebih dahulu yang
disiarkan (diundangkan) kepada orang banyak.
b)
Pada ketentuan hukum (undang-undang) seperti
ada factor-faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat tidak bebuat, dan hal
ini artinya ia mengetahui bahwa ia akan dikenakan hukuman apabila tidak
berbuat. Penerangan syarat tersebut berarti bahwa sesuatu nas tentang perbuatan
jarimah berisi ketentan tentang hukumannya.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari aturan
pokok ketiga tersebut sama dengan dua aturan pokok yang sebelumnya yaitu tidak
ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa sesuatu nas (ketentuan).
Aturan pokok tersebut sama dengan “asas legalitas” yang
kita dapati pada hukum positif.
C. Dasar hukum Asas
Legalitas
Asas legalitas pada syariat islam seperti
tersebut diatas, yang memberi kesimpulan bahwa tidak ada jarimah atau hukuman
tanpa suatu nas yang disebutkan dalam syara’, bukan didasarkan atas nas-nas
syara’ umum semata yang menyuruh keadilan dan melarang kezaliman, melainkan
didasarkan atas nas-nas yang jelas dan khusus mengenai soal ini.
Diantaranya ialah firman-firman tuhan sebagai
berikut:
1.
Kami tidak menjatuhkan siksa, sehingga kami
mengutus seorang Rasul(al-Isra’ 15).
مَنِ
ٱهۡتَدٰى فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ
عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ
حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا
Artinya : “Barang siapa yang
berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk
(keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia
tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat
memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus
seorang rasul”
2.
Tidaklah Tuhanmu (ya Muhammad) menghancurkan
negri-negri, sehingga ia mengutus dipusat negri-negri itu seorang Rasul yang
membacakan ayat-ayat kami pada mereka (al-Qashas 59).
وَمَا
كَانَ رَبُّكَ مُهۡلِكَ ٱلۡقُرَىٰ حَتَّىٰ يَبۡعَثَ فِيٓ أُمِّهَا رَسُولٗا
يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِنَاۚ وَمَا كُنَّا مُهۡلِكِي ٱلۡقُرَىٰٓ إِلَّا
وَأَهۡلُهَا ظَٰلِمُونَ
Artinya : “Dan tidak adalah Tuhanmu
membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami
membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman”
3.
Agar dengan qur’an saya mempertakuti engkau
sekalian dan orang-orang yang didatangi qur’an (al-An’am 19).
قُلۡ
أَيُّ شَيۡءٍ أَكۡبَرُ شَهَٰدَةٗۖ قُلِ ٱللَّهُۖ شَهِيدُۢ بَيۡنِي وَبَيۡنَكُمۡۚ
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ لِأُنذِرَكُم بِهِۦ وَمَنۢ بَلَغَۚ
أَئِنَّكُمۡ لَتَشۡهَدُونَ أَنَّ مَعَ ٱللَّهِ ءَالِهَةً أُخۡرَىٰۚ قُل لَّآ
أَشۡهَدُۚ قُلۡ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞ وَإِنَّنِي بَرِيٓءٞ مِّمَّا
تُشۡرِكُونَ
Artinya : Katakanlah: "Siapakah yang
lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". Dia menjadi
saksi antara aku dan kamu. Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan
dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran
(kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di
samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui". Katakanlah:
"Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas
diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)"
4.
Tuhan tidak membebani seseorang kecuali
menurut kesanggupannya (al- baqarah 286).
لَا
يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا
ٱكۡتَسَبَتۡۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ
رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرٗا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ
مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ وَٱعۡفُ
عَنَّا وَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَآۚ أَنتَ مَوۡلَىٰنَا فَٱنصُرۡنَا عَلَى ٱلۡقَوۡمِ
ٱلۡكَٰفِرِينَ
Artinya : Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami
apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir"
5.
Katakan olehmu (ya Muhammad) kepada
orang-orang kafir, apabila mereka menghentikan (kekafirannya), maka akan
diampuni bagi mereka apa yang sudah-sudah (al-Anfal 38).
قُل
لِّلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِن يَنتَهُواْ يُغۡفَرۡ لَهُم مَّا قَدۡ سَلَفَ وَإِن
يَعُودُواْ فَقَدۡ مَضَتۡ سُنَّتُ ٱلۡأَوَّلِينَ
Artinya : Katakanlah kepada orang-orang yang
kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan
mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka
kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap)
orang-orang dahulu"
Nas-nas tersebut dengan jelas berisi
sesuatu ketentuan, bahwa tidak ada sesuatu jarimah kecuali sesudah ada
penjelasan, dan tidak ada hukuman kecuali sesudah ada pemberitahuan.
Juga bahwa Tuhan tidak menjatuhkan sesuatu
siksa atas sesuatu umat manusia kecuali sudah ada penjelasan dan pemberitahuan
melalui mulut Rasul- Rasulnya, dan pembebanan-pembebanan yang diberikan kepada
mereka termasuk perkara yang disanggupi.
Asas legalitas tersebut sudah terdapat pada
syari’at Islam sejak 14 abad yang lalu, seperti yang dibawa oleh al-Qur’an.
Dengan demikian , maka syari’at Islam mendahului hukum-hukum positif yang baru
mengenal aturan tersebut pada akhir abad ke 18 Masehi, ketika untuk pertama
kalinya dimuat dalam hukum prancis, sebagai salah satu hasil revolusi prancis.
Kemudian dimasukkan dalam “ pernyataan hak-hak manusia” yang dikeluarkan pada
tahun 1789, dan sesudah itu kemudian diambil oleh Negara-negara lain.
D. Penerapan Asas
Legalitas
Asas legalitas diterapkan oleh syara’ pada
semua jarimah, akan tetapi corak dan cara penerapannya itu tidak
sama, melainkan berbeda-beda menurut perbedaan macamnya jarimah, seperti yang
akan terlihat sebagai berikut :
a) Asas legalitas pada
jarimah hudud
Asas legalitas diterapkan dengan teliti
oleh syara’, dan hal ini Nampak jelas dari nas-nas yang mengenai jarimah
tersebut. Banyak kitab yang membahas mengenai al-Jinayat wal
‘Uqubat di antaranya kitabul qisas, kitabul jarahi, kitabul diyat,
kitabul qasamah, kita buz zina, kitabul qadzaf, kitabul khamer, kitabul
sariqah. kitabul hirabah.
Untuk jarimah zina:
وَلَا
تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا
Artinya
: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”
Untuk jarimah
minum-minuman keras:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ
وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ
تُفۡلِحُونَ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan”
Untuk jarimah
pencurian:
وَٱلسَّارِقُ
وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا
مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ
Artinya
: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
b) Asas legalitas pada
jarimah qishas-diyat
Asas legalitas juga diterangkan pada
jarimah qishas diyat, sebagaimana yang dapat diketahui dari nas-nas yang
tersebut berikut ini.
Jarimah-jarimah yang diancamkan hukuman
qishas ialah pembunuhan-sengaja, dan penganiayaan-sengaja. Jarimah-jarimah yang
diancamkan hukuman diyat ialah jarimah yang diancamkan hukuman qishas sebut,
yang karena sesuatu sebab tertentu qishas tidak dapat dijalankan, kemudian
jarimah pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja, dan penganiayaan
tidak sengaja.
Untuk pembunuhan
sengaja :
وَلَا
تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ
مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي
ٱلۡقَتۡلِۖ إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا
Artinya
: “Janganlah kamu membunuh orang yang dimuliakan oleh Tuhan, kecuali dengan
jalan yang benar. Maka barang siapa yang dibunuh dengan aniaya, maka kami telah
memberikan kepada walinya (keluarganya) sesuatu kekuasaaan. Oleh karena itu
hendaklah ia jangan berlebih-lebihan dalam melakukan hukuman” (Qur’an Isra 33).
Untuk penganiayaan
sengaja :
وَلَكُمۡ
فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Artinya
: “Bagimu dalam qisas adalah suatu kehidupan, wahai orang-orang yang mempunyai
pikiran” (Qur’an Al-Baqarah 179).
Untuk jarimah
pembunuhan semi sengaja :
Rasulullah berkata : “ingatlah, pada
pembunuhan keliru sengaja (semi sengaja), yaitu pembunuhan dari pecut, tongkat
dan batu, ialah seratus unta”(hadits)abu daud, an-nasa’i ibnu majah.
Untuk pembunuhan tidak
sengaja :
وَمَا
كَانَ لِمُؤۡمِنٍ أَن يَقۡتُلَ مُؤۡمِنًا إِلَّا خَطَٔٗاۚ وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا
خَطَٔٗا فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ وَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ
أَهۡلِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُواْۚ فَإِن كَانَ مِن قَوۡمٍ عَدُوّٖ لَّكُمۡ
وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ وَإِن كَانَ مِن قَوۡمِۢ
بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَهُم مِّيثَٰقٞ فَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦ
وَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ
مُتَتَابِعَيۡنِ تَوۡبَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا
Artinya : “Tidaklah boleh bagi sesesorang
mukmin untuk membunuh seseorang mukmin lain, kecuali karena keluputan
(kekeliruan tidak sengaja). Barang siapa yang membunuh seseorang mukmin karena
keluputan maka atasnya membebaskan hamba mukmin dan diyat yang diberikan kepada
keluarganya kecuali kalau mereka menyedakahkannya. Kalau korban adalah dari
suatu kaum yang menjadi musuf bagimu sedang ia adalah orang mukmin, maka
atasnya membebaskan hamba mukmin. Kalau korban berasal dari kaum dimana
antara kamu dengan mereka ada suatu perjanjian maka atasnya adalah diyat yang
diserahkan kepada keluarganya dan membebaskan hamba yang mukmin. Barang siapa
tidak mendapatkan maka atasnya puasa dua bulan berturut-turut sebagai syarat
penerimaan taubat dari Allah” (Qur’an An-Nisa 92).
Untuk penganiayaan
tidak sengaja :
Dalam jarimah ini rasululllah menentukan
batas-batas hukum diyat, dengan dasar perhitungan apabila pada badan hanya
terdapat satu macam anggota badan, seperti hidung, lidah, alat kelamin, maka
dikenakan satu diyat lengkap, yaitu seratus unta.
Penganiayaan
sengaja
Dalam
beberapa macam penganiayaan sengaja, Rasulullah SAW telah menetapkan
hukumannya. Seperti dalam melukai kepala dan muka, apabila sampai tulangnya
Nampak (mudlihah), maka dikenakan lima unta. Apabila sampai mematahkan tulang,
dikenakan sepuluh unta. Apabila sampai mengenai lapisan otak, atau mengenai
otak sendiri, dikenakan sepertiga diyat (diyat ialah seratus unta) tiap-tiap
pelukaan yang sampai masuk perut atau dada dikenakan sepertiga diyat juga.
c) Asas legalitas pada
jarimah ta’zir
Asas legalitas juga diterapkan oleh syara’
pada jarimah ta’zir meskipun berbeda dengan penerapan pada jarimah-jarimah
hudud dan qisas diyat karena penerapan pada jarimah ta’zir diperlonggar, sebab
corak jarimah ta’zir ini serta kemaslahatan umum menghendaki adanya pelonggaran
tersebut. Sebagai akibat adanya pelonggran ini, maka untuk jarimah-jarimah
ta’zir tidak perlu ada penyebutan hukuman secara tersendiri, seperti yang kita
dapati pada jarimah-jarimah hudud dan qisas diyat. Dalam hal ini seseorang
hakim boleh memilih sesuatu hukuman yang sesuai dengan macamnya jarimah ta’zir
dan perbuatannnya.
Adapun sebagai akibat adanya
kelonggaran tersebut ialah bahwa untuk beberapa jarimah yang mempunyai
sifat-sifat tertentu tidak diperlukan ketentuan tersendiri yang menyatakannnya
sebagai jarimah, melainkan cukup dinyatakan dengan cara yang umum.
E. Asas Legalitas Antara
Syara’ dengan Hukum Positif
Asas legalitas baru
dikenal oleh hukum positif pada akhir abad kedelapan belas masehi sebagai hasil
dari revolusi perancis. Sebelum masa tersebut para hakim bisa bertindak
sekehendak hatinya dalam menentukan macamnya jarimah dan hukumnya.
Pendirian hukum positif sama dengan syara’, bahwa permulaan
tindak pidana tidak dapat dihukum,akan tetapi dikalangan sarjana-sarjana hukum
positif terdapat perbedaan pendapat tentang saat dimana pembuat dianggap telah
mulai melakukan jarimahnya itu. Pertama, menurut aliran obyektif, saat tersebut
ialah ketika ia melakukan perbuatan material yang membentuk suatu jarimah.
Dengan kata lain
aliran ini melihat kepada obyek atau perbuatan yang telah dikerjakan oleh
pembuat. Kedua, menurut aliran subyektif, aliran ini memakai niatan dan pribadi
pembuat untuk mengetahui maksud yang dituju oleh perbuatannya itu. Denagan kata
lain, aliran ini menekan kepada subyek atau niat pembuat. Dari perbandingan
syara’, ternyata pendirian syara’ dapat menampung kedua aliran tersebut. Akan
tetapi syara’ menambahkan syarat yaitu apabila perbuatan pembuat bisa
dikualifikasikan sebagai perbuatan maksiat / perbuatan salah, baik yang bisa
menyiapkan jalan untuk jarimah yang dimaksudkan atau tidak.
Meskipun pada masa
sekarang asas legalitas itu masih dipakai, namun sudah
diperlonggar, tidak seperti pada masa pertamanya yang diterapkan secara ketat.
Di Indonesia asas legalitas ini masih tetap dipakai, sebagaimana yang tercantum
dalam pasal 1 ayat (1) KUH Pidana Indonesia yang berbunyi: “tiada suatu
perbuatan dapat dipidana melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi”.
PENUTUP
Kesimpulan
Penerapan hukum pidana atau suatu
perundang-undangan pidana berkaitan denganwaktu dan tempat perbuatan
dilakukan. Berlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut
penerapan hukum pidana dari segi lain.
Salah satu aturan pokok yang sangat penting
dalam sayariat Islam adalah: “sebelum ada nas (ketentuan), tidak ada hukum bagi
perbuatan orang-orang yang berakal sehat”.
Asas
legalitas diterapkan oleh syara’ pada semua jarimah, akan tetapi
corak dan cara penerapannya itu tidak sama, melainkan berbeda-beda menurut
perbedaan macamnya jarimah.
Baik
syara’ maupun hukum positif memegangi prinsip “”Legalitas” yakni tidak ada
hukuman, selain atas kekuatan aturan pidana dalam nas (undang-undang). Akan
tetapi dalam menerapkan prinsip tersebut terdapat beberapa perbedaan antara
dengan hukum positif.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin,Hukum Pidana Islam, Cet I
Jakarta:Sinar Grafika,2007.
Ash Shiddieqy, Hasbi, pengantar hukum
islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pudana
Islam, cet. III Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986.
Hamzah, Andi, Asas-asas Hukum
Pidana, Jakarta: Pt Rineka Cita. 1991.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 1994.