Makalah Hukum Pidana Islam Sebagai Solusi Kebutuhan Pidana Nasioanal
HUKUM PIDANA
ISLAM SEBAGAI SOLUSI KEBUTUHAN
PIDANA NASIOANAL
Disusun untuk pemenuhan tugas mata kuliah
Fiqhi III jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Darud Da’wah wal Irsyad
Mangkoso Angkatan tahun 2016
Disusun oleh:
NIM: 160232050
SEMESTER VI TARBIYAH
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUD DA’WAH WAL
IRSYAD MANGKOSO KABUPATEN BARRU
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT
atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Salam dan salawat senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
juga kepada umat beliau yang tetap istiqamah di jalan Allah SWT dalam
mengarungi bahtera kehidupan dan melaksanakan tugas kemanusiaan ini hinga hari
akhir.
Makalah ini berjudul “Hukum Pidana Islam Sebagai Solusi Kebutuhan Pidana
Nasional” Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun,
senantiasa penulis harapkan dari semua pihak sebagai bahan masukan dalam
penyusunan makalah selanjutnya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Al Mukarram
Ustad Drs. Muh. Basri Hude., MA. yang telah memberi tugas dan membimbing kami
dalam mata kuliah Fiqhi III, segenap rekan-rekan yang telah membantu dalam menyelesaikan
makalah ini. Akhirnya kami berharap, makalah ini semoga dapat bermanfaat
bagi kita semua aamiin.
Mangkoso, juli 2019
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap muslim
diharapkan mampu menjaga
nama baik saudaranya sesama muslim.
Bukanlah membuka dan
menebar rahasia atau
aib yang yang akan mencemarkan nama baik sesama
muslim lainnya, maka jika ada orang menuduh muslim menuduh berzina namun tidak
dapat membuktikannya dengan mengemukakan 4 orang saksi, maka dia dianggap
seorang yang telah berbuat qodzaf atau menuduh wanita/laki-laki baik telah
melakukan zina.
Al-Qur’an dan al-Sunnah telah menetapkan
hukuman (hadd) tertentu untuk kesalahan-kesalahan
tertentu. Kesalahan-kesalahan itu merupakan dosa besar yang mengharuskan adanya
hukuman bagi pelaku kesalahan itu. Hal tersebut dimaksudkan untuk memelihara jiwa, mempertahankan kehormatan, dan menjamin kemaslahatan umat. Dalam setiap kasus pidana sudah diharuskan untuk
membuktikan adanya tindak pidana tersebut, apabila tidak ada pembuktian maka permasalahan atau kasus tersebut
sulit untuk dipecahkan, untuk
itu pembuktian sangatlah bersifat penting sebagai bahan pendukung didalam
pemecahan suatu permasalahan agar dapat terwujudnya suatu keadilan di dalam
hukum islam. Oleh sebab itu, makalah ini akan membahas teori-teori yang
digunakan dalam pembuktian dan juga macam-macam dari pembuktian itu.
B. Rumusan Masalah
a.
Apa yang dimaksud
dengan pembuktian?
b.
Apa yang harus dikuasi
dalam penyelesaian perkara
yang diajukan kepada
seorang hakim?
c.
Apa alat-alat bukti
yang disebutkan oleh Ibnu Al-Qayyim?
d.
Apa yang dimaksud
dengan alat bukti pengakuan?
e.
Apa yang dimaksud dengan
Bayyinah, Sumpah, Penolakan
Sumph (Nukul), Qasamah, dan
Ilmu Qadhi (macam-macam dari pembuktian)?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembuktian
Pada dasarnya
setelah acara replik dan duplik berakhir, Majelis Hakim sudah dapat mempertimbangkan apakah gugatan dapat diterima untuk diberi putusan
akhir, yaitu ketika seluruh
dalil-dalil gugatan sudah jelas, diakui atau tidak disangkal lawan. Tetapi, jika dalil-dalil gugat
masih belum jelas maka diperlukan pembuktian, Ketua Majelis akan menetukan pihak yang harus menghadirkan bukti melalui putusan
sela.
Pembuktian merupakan
rangkaian tindakan hakim dalam melakasanakan
tugas pokok pemeriksaan
perkara, hakim harus pasti akan kebenaran peristiwa yang dikonstatirnya
sehingga hasil konstatirnya itu bukan sekedar dugaan atau kesimpulan yang
dangkal dan gegabah. Hakim harus menggunakan srana atau alat-alat untuk
memastikan dirinya tentang kebenaran peristiwa yang bersangkutan.
Membuktikan artinya
mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/perisiwa berdasarkan
alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Tujuanya adalah untuk mendapatkan kepastian bahwa suatu peristiwa
/ fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan yang
benar dan adil.
Hakim membebankan
kepada para pihak untuk menghadirkan bukti masing- masing, penggugat, harus
membuktikan dalil-dalil bantahnya. Dalam hal ini penggugat tidak harus,
membuktikan kebenaran sanggahan tergugat, begitu juga tergugat tidak mesti
membuktikan dalil gugatannya ia dianggap kalah, begitu juga jika terguggat
tidak dapat membuktikan dalil-dalil bantahannya ia dinyatakan kalah. Alat-alat bukti yang dapat dikemukakan di muka
siding, terdiri dari: Alat bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah,
pemeriksaan, di tempat, saksi ahli, Pembukuan
dan pengetahuan hakim. Tiap-tiap alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian tersendiri menurut hukum pembuktian.[1]
Bukti secara global,
merupakan sebutan segala sesuatu yang menjelaskan dan mengungkapkan kebenaran.
Terutama dua orang saksi, atau empat orang saksi, atau satu orang saksi yang
tidak terhalan haknya untuk menjadi saksi atas nama dua orang saksi. Al-Qur’an menyebut pembuktian tidak hanya semata-mata dalam arti dua orang
saksi. Akan tetapi, juga dalam arti keterangan, dalil, dan alasan, baik secara
sendiri- sendiri maupun komulasi. Rasulullah saw menjelaskan
masalah pembebanan pembuktian ini sebagai berikut, yang
artinya: “Pembuktian dibebankan kepada penggugat (affirmanti incoumbil probate).”
Adapun tersebut dimaksudkan, bahwa untuk mendapatkan hukum yang
sesuai dengan petitum gugatannya,
seorang penggugat harus mengemukakan bukti-bukti yang membenarkan dalil-dalil
gugatannya. Dan dua orang saksi adalah termasuk alat bukti. Memang, kadang
bukti-bukti lain selain dua orang saksi lebih memiliki nilai kekuatan pembuktian dari pada saksi. Hal itu karena adanya
petunjuk keadaan yang seolah-olah berbicara atas dirinya sendiri
yang membuktikan kebenaran
Penggugat. Bukti res upsa loquiter adalah lebih memiliki nilai
kekuatan pembuktian dari pada keterangan saksi. Dalil, keterangan, alasan,
gejala, indikasi, dan ciri-ciri, semuanya mempunyai makna yang berdekatan.
Ibnu Majah dan yang
lainnya telah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, katanya, “Ketika aku hendak
pergi ke Khaibar, lebih dahulu aku singgah ke kediaman Rasulullah saw dengan
maksud untuk memberitahukan kepadanya akan keberngkatanku ke Khaibar. Ketika
itu beliau berpesan kepadaku: “Jika kamu pergi, mampirlah ke agentku dan
ambilah 15 wasaq (1 wasaq= 60 gantang) gandum, dan jika di meminta bukti dari dirimu, maka letakan telapak tanganmu
diatass tulang selangka tanganya”.
Perbuatan meletakkan
tangan di atas selangka merupakan bukti bagi agent Nabi saw untuk bersedia
menyerahkan barang kepada orang yang memintanya yang tidak memiliki identitas
diri. Perbuatan meletakkan tangan diatas tulang selangka itu oleh agent Nabi
saw ditempatkannya pada kedudukan saksi.
Dari uraian
tersebut dapat dipahami, bahwa Rasulullah saw sebagai pembuat
hukum tidak membatalkan bukti
persangkaan yang terambil dari indikatornya yang nyata sebagai petunjuk keadaan.
Barangsiapa yang mempelajari syari’at Islam, sumbernya, dan keunggulan nilai-nilainya, pastilah akan mengakui kalua hal-hal tersebut
merupakan bukti yang dihargai oleh pembuat hukum, dan berdasarkan bukti-bukti
itulah hukum dijatuhkan.[2]
Dalam acara
di persidangan, posisi
untuk menunjukkan bukti
adalah sangat penting, karena dari proses pembuktian tersebut
dapat diketahui secara jelas mengenai suatu peristiwa, meskipun terkadang
masalah yang timbul adalah bukti tersebut terpercaya atau palsu. Hal inilah
yang akhirnya penting sekali
kecermatan bagi hakim
untuk mengambil keputusan atas suatu perselisihan tersebut karena
keputusan hakim harus
berlandaskan alat bukti
dan keyakinannya sehingga
tercipta suatu keputusan hukum yang adil.
Mengenai kewajiban
pembuktian ini telah di sebutkan dalam beberapa ayat al-qur’an dan hadits
diantaranya adalah:
a.
Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah (2) ayat 282:
Artinya:“…dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi lelaki di antara kamu, jika tidak ada dua orang lelaki
maka seorang lelaki
bersama dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi enggan (member keterangan)
apabila mereka dipanggil…”
b.
Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah (2) ayat 283:
Artinya:“…dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya,
maka sungguh dia orang yang berdosa hatinya..”
c.
Riwayat Muslim dari Ibnu Juraij dari Ibn Abi Malikah dari Ibn Abbas
bahwa Nabi saw.bersabda:
Artinya: “Bukti (harus ada) atas penggugat/pendakwa.”
d.
Hadits Nabi saw. Riwayat
Bukhari dan Muslim
dari al-‘Asy’asy bin Qais, perkataan Nabi saw. Kepada penggugat:
Artinya: “(datangkan) dua orang saksimu atau sumpahnya.”
Ayat dan hadits
diatas menjadi dasar kewajiban untuk melakukan pembuktian, karena tindakan
pembuktian diharapkan mampu menunjukkan kenyataan yang sebenarnya sehingg
nantinya menjadi dasar bagi hakim untuk menetapkan putusannya berdasarkan
bukti-bukti yang ada dan juga keyakinannya. Ini adalah sebuah aturan yang wajib
dilaksanakan oleh hakim, agar masalah tersebut dapat diselesaikan dengan adil
dan bijak tanpa menimbulkan ketimpangan hukum.[3]
B.
Penyelesaian Perkara
Untuk mencapai penyelesaian perkara yang diajukan kepada hakim, harus
menguasai dua hal berikut:
1. Mengetahui hakikat Dakwaan
Mengenai pengetahuan hakim tentang hakikat
dakwaan atau guggatan
dapat diperoleh dengan menyaksikan sendiri peristiwanya, atau dengan
menerima keterangan dari pihak lain yang bersifat mutawatir, dan jika tidak
demikian maka tidak dapat disebut sebagai
perasangka ( zhan). Apabila dengan
prinsip di atas menyulitkan dan menyebabkan terlantarnya hak-hak mereka,
dibenarkan menerima dasar zhanniyah (persangkaan).
Hal itu dilakukan setelah mengambil langkah-langkah yang cermat dan hakim
tersebut dipandang cukup dengan bukti-bukti yang ada, seperti pengakuan
tertuduh atau tergugat, saksi-saksi yang adil, meskipun
yang memberikan pengakuan dan saksi-saksi tersebut masih
dimungkinkan berdusta, tetapi lazimnya manusi
tidak berbuat dusta dengan merugikan diri sendiri. Demikian
juga, pada umumnya saksi-saksi yang
adil tidak akan berdusta bila situasi darurat.
2. Mengetahui hukum Allah
Mengenai pengetahuan hakim
tentang hukum Allah, seorang hakim harus memiliki pengetahuan tentang nash-nash
yang qath’i, atau hukum-hukum
yang telah disepakati oleh ulama.
Jika tidak ditemukan nash-nash yang qath’I
dan tidak terdapat pula hukum yang disepakati oleh ulama, hakim harus
melakukan ijtihad.
C.
Alat Bukti Ibnu Qayyim
Dalam Kitab ath-Thurq al-H ukmiyah, Ibnu al-Qayyim menyebutkan 26 (dua puluh enam) alat bukti yang dapat
memperkuat dakwaan atau gugatan
ia simpulkan dari
Al-quran dan
hadist sahih, dan dalam bepergian maupun di rumah dalam situasi peang maupun damai, dan dalam
bepergian maupun dirumah. Menurut Ibnu
al-Qayyim, alat-alat bukti tersebut adalah:
a. Al-Yahul al-mujarradah (penguasaan), yakni bukti
yang tidak memerlukan sumpah, seprerti anak-anak atau orang yang berada dibawah
pengampunan, yang memiliki harta peninggalan ayahnya. Dengan dasar penguasaan
kasus seperti ini telah cukup sebagai alat bukti sehingga tidak diperlukan sumpah.
b. Al-Inkar al-mujarrad
(pengingkaran), seperti seorang yang telah mengaku berutang kepada orang yang telah
meninggal dunia, atau yang meninggal telah berwasiat sesuatu untuknya, seperti
si mayat memiliki washiy (orang yang diwasiati) untuk membayar utang-utangnya
dan melaksanakan wasiat-wasiatnya, kemudian washiy tadi mengingkari pengakuan
tersebut, sedang pihak penggugat tidak memiliki bukti. Dalam kasus seperti ini
tidak boleh diambil sumpah dari pihak washiy karena tujuan pengambilan sumpah adalah untuk mencari kemungkinan
pengembangan, yang akan diputus berdasar alat bukti tersebut, sedangkan washiy
tidak dapat diterima tentang pengakuannya atas utang dan wasiat si mayat
meskipun seandainya si washiiy diminta sumpahnya dan membangkang, maka hukum
tidak boleh diputus atas dasar pembangkangannya itu.
c. Bukti penguasaan atas sesuatu dan sumpah atasnya,
seperti bila ada seseorang yang dituduh bahwa yang dimiliknya adalah
bukan miliknya, kemudian pemilik hak itu menyangkal atas tuduhan tersebut lalu
ia diminta bersumpah maka pemilik hak itu menjadi miliknya, dan jika tidak mau
sumpah maka dicabuktlah yaitu dari kekuasaannya.
d. Penolakan, yang dimaksud penolakan ini adalah menolaknya mud’aa
alaih (tertuduh/tergugat) untuk bersumpah sebagai mana diminta oleh mudda’i
atau penuntut umum. Karena menolak sumpah dianggap sebagai penguat suatu
tuduhan atau gugatan maka kekuatan bukti ini dapat disamakan dengan pengakuan
e. Menolak sumpah dan mengembalikan sumpah kepada penggugat.
f. Sumpah. Sumpah ini dihadapkan kepada penggugat, apabila
ternyata tidak dapat membuktikan atas gugatan
atau tuduhannya yang diingkari oleh tergugat/tertuduh.
Karena, apa yang digugat atau dituntut oleh penggugat atau penutut belum dapat
dibenarkan. Oleh karena itu, hakim harus menghadapkan sumpah kepada
tergugat/tertuduh.
g. Saksi. Saksi ini telah dibicarakan secara panjang lebar
dibagian terdahulu dengan berbagai macamnya. Saksi
dapat berwujud dua orang laki laki atau seorang laki laki dan dua orang
perempuan, sebagaimana telah dijelaskan tentang tidak bolehnya saksi yang hanya
terjadi dari perempuan
h. Penolakan (sumpah) dan seorang saksi (Laki-laki) dapat dicontohkan dengan sabda Nabi, yang artinya:
“apabila seorang perempuan mengaku telah dicerai suaminya,
lalu datang (menghadap hakim) dengan
membawa seorang saksi
yang adil maka suaminya harus diminta sumpahnya, kemudian jka suami mau bersumpah maka batallah kesaksian seorang saksi tadi, dan
jika suami tersebut menolak maka penolakannya itu berkedudukan sebagai seorang
saksi yang lain, dan terta;aklah perempuan itu.”
Hadist di atas mengandung beberapa
ketentuan hukum, antara lain sebagai
berikut.
a. Dalam perkara talak tidak cukup hanya seorang saksi (laki-laki).
b. Tidak cukup juga hanya dengan
sumpah dari pihak istri bahwa suaminya telah menalaknya.
c. Pengakuan atas jatuhnya talak dapat diterima dengan alat
bukti berupa seorang saksi (yang
adil) dan penolakan suami (tergugat) untuk bersumpah.
d. Menolak sumpah berkedudukan sebagai bukti.
e. Seorang saksi berstatus
sebagai separuh bukti dan menolak sumpah berstatus melengkapi bukti tersebut.
i. Dua saksi perempuan dan sumpah penggugat. Alat bukti ini
digunakan untuk gugatan harta benda dan hak-hak perdata yang berkaitan dengan
hal tersebut. Pendapat ini menurut
madzhab Maliki dan salah satu diantara dua pendapat dari kalangan madzhab Hambali.
j. Saksi dari anak-anak yang telah mengerti (mumayiz) ini menurut madzhab hambali ditolak. Sedangkan menurut pendapat imam maliki, kesaksian
anak-anak yang telah mumayiz diterima untuk perkara
pertengkaran sampai terluka, tetapi dengan syarat anak anak tersebut belum
meninggalkan tempat mereka menyaksikan kejadian tersebut.4
D.
Alat Bukti Pengakuan
Macam-macam
pembuktian
a. SAKSI
Kesaksian dalam Islam dikenal
dengan istilah Asy-syahadah menurut bahasa memilikiarti sebagai berikut;
1. Pernyataan atau pemberian yang
pasti
2. Ucapan yang keluar dari
pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung
3. Mengetahui sesuatu secara
pasti,mengalami, dan melihatnya
Menurut syara’ kesaksian adalah pemberitahuan yang pasti yaitu; ucapan yang
keluar dan diperolehdari pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian
langsung.Syarat-syarat kesaksian Kesakaksian dapat diterima sebagai alat bukti
apabila memenuhisyarat sebagai berikut;
1. Kesaksian dilakukan didalam
sidang pengadilan, jika dilakukan diluar sidang pengadilan, meski itu dihadapan
hakim ,tidak dianggap sebagai kesakasian.
2. Kesaksian diucapkan dengan
lafad kesaksian, seperti saya bersaksi.
3. Jumlah dan syarat orang yang
menjadi saksi sesuai dengan syarat dan ketentuan syari’at.
Saksi merupakan alat bukti untuk jarimah qodzaf, syarat-syarat
saksi dalam jarimah inisama dengan jarimah zina, yaitu:
- Baligh
- Dapat dipercaya
- Adil
- tidak ada penghalang menjadi
saksi
Adapun jumlah atau banyaknya
saksi jarimah qodzaf ini sekurang-kurangnya adalah 4orang saksi. Sebagaimana
dalam surat an-Nur ayat 13:
Artinya: “mengapah mereka (yang menuduhitu) tidak mendatangkan empat
orang saksi atas berita boong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan
saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta”.
Atas dasar inilah jumhur fuqoha
berpendapat bahwa apabila saksi dalam jarimah zinakurang dari 4 orang maka
mereka dikenai hukuman hadd sebagai penuduh, walaupunmenurut sebagian yang lain mereka tidak
dikenai hadd, selama mereka betul-betul
bertindak sebagai seorang saksi. Oleh sebab itu, saksi untuk tuduhan zina sungguh sangat berat,
sehingga peristiwa perajaman bagi orang yang berzina dengan empat orang saksi zaman Nabi saw sampai hari
ini belum pernah terjadi, yang terjadi adalah pengakuan dari pelaku sendiri,
seperti kasusMaizd dan wanita Ghamdiyah.
b. Pengakuan
Pengakuan adalah mengabarkan suatu hak pada orang lain, Menurut
Salam Madzkur pengakuan adalah adanya hak orang lain atas diri
pengaku itu, baik pemberitahuan itu dengansesuatu katakata maupun dengan
apa-apa yang disamakan hukumnya dengan katakatawalupun pengakuan itu untuk yang
akan datang. Macam-macam pengakuan. Pengakuanditinjau dari segi pelaksanaanya
dibagi menjadi tiga;
Ø Ikrar dengan kata-kata;
Pengakuan yang diucapkan dimuka sidang dapat dijadikanalat bukti dan dijadikan
hujjah bagi orang yang berikrar Dan jika diucapkan diluar sidang maka
tidak dapat dijadikan alat bukti;
Ø Ikrar dengan syarat; Apabila
seseoang tidak dapat bicara(bisu) maka ikrar baginya dapat dilakuakn dengan isyarat, dengan ketentuan isyarat tersebut dapatdipahami
oleh umum;
Ø
Ikrar dengan tulisan ; Ikrar dengan tulisan, semula tidak
dibenarkan dengan alasandan mungkin dapat dihapus atau ditambah. Akan tetapi,
mengingat saat yang dimaksud dengan pengakuan dalam
dunia peradilan adalah mengakui adanya hak orang lain yang ada pada diri
pengaku itu sendiri dengan ucapan atau berstatus sebagai ucapan meskipun untuk masa yang akan datang. Apabila
seseorang telah mengaku di hadapan siding pengadilan bahwa rumah yang dikuasai
oleh fulan adalah milik orang lain, dan di masa mendatang rumah tersebuat
dikuasai oleh pengaku tersebut, terkenalah dirinya akibat pengakuannya sendiri.
Pengakuan (iqrar) adalah dasar
yang paling kuat karena akibat hukumnya pengaku sendiri dan tidak dapat
menyeret kepada orang lain kecuali pada beberapa pengara yang disebutkan
perinciannya pada kitab-kitab fiqih, dan pasal 409 Undang- Undang Perdata Mesir
menyebutkan bahwa pengakuan adalah dasar yang hanya terbatas kepada pengakuan. Pengakuan
dapat berupa ucapan atau isyarat bagi orang bisu atau sulit bicara.
Demikian juga dibenarkan pengakuan dalam bentuk tulisan, meskipun sebagian
fuquha tidak dapat menerimanya dengan alasan bahwa tulisan-tulisan itu dapat
tasyabuh (serupa) dan mungkin dapat dihapus.
Alasan islam menolak tulisan sebagai
alat bukti adalah karena adanya kekhawatiran pemalsuan dan penghapusan.
Sedangkan pengakuan secara tertulis yang diajukan didepan sidang dengan tidak
ada pihak yang keberatan dan telah dapat diterima maka hal itu dapat menjadi
alat bukti.[4]
E.
Bayyinah, Sumpah, Penolakan
Sumpah (Nukul), Qasamah, dan Ilmu Qadhi
(macam-macam dari pembuktian)
a.
Bayyinah
Menurut Ibnu al-Qayyim, bayyinah
meliputi apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu,
dan siapa yang mengartikan bayyinah sebagai dua orang saksi belum
dipastikan memenuhi yang dimaksud, dan di dalam Al-quran sama sekali tidak ditemukkan
kata bayyinah berarti dua orang saksi, tetapi arti bayyinah di dalam Al quran:
al-Hujjah (dasar atau alasan), ad-Dalil, al-Burhan (dalil, hujah, atau alasan)
dalam bentuk mufrad dan jamak.
Demikian juga sabda Nabi :
al-Bayyinatu ‘ala al-mudda’i (bayyinah itu wajib bagi penggugat atau penuntut). Yang dimaksud adalah penggugat membuktikan
gugatan, ia harus membawa bayyinah, sedang di antara bayyinah itu adalah dua
orang saksi, dan tidak ragu-ragu lagi, bahwa alat-alat bukti lainnya selain dua
orang saksi, yang kedudukannya lebih kuat dari dua orang saksi, seperti dilalat
al- hal (sangkaan-sangkaan atau petunjuk keadaan) yang lebih kuat dri pada
keterangan saksi.
Menurut jumhur bayyinah sinonim
dengan syahdah (kesaksian), sedang arti syahadah adalah “keterangan orang yang dapat dipercaya di depan
siding pengadilan dengan lafal kesaksian untuk menetapkan ha katas orang
lain.”
b.
Sumpah
Sumpah
menurut bahasa hukum Islam di sebut al yamin. Sebenarnya lafadz al yamin
bermakna tangan kanan, soalnya orangArab apabila bersumpah
dengan mengangkat tangan kanannya. Sumpah menurut Prof. Dr. Sudikno
Mertokusumo, SH ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikanatau
diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat
mahakuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang
tidak benar akan dihukum oleh Nya.Sumpah ini memiliki bentuk
tersendiri,
seperti sumpah Li’an (dalam perkara zina) dansumpah
Qasamah (di lapangan pidana), bagaimanapun juga, selain dari sumpah Li’an dan
sumpah pemutus, alat bukti sumpah tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, hakim
tidak bisamemutus hanya semata-mata berdasarkan kepada sumpah tanpa disertai
oleh alat buktilainnya. Sumpah hanyalah merupakan salah satu alat bukti dapat
diandalkan untuk pengambilan putusan terakhir.
Menurut Imam Syafi’i jarimah qodzaf dapat dibuktikan dengan sumpah
apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah orang yang
dituduh (korban) meminta kepada orang yang menuduh (pelaku) untuk
bersumpah bahwa tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh
enggan bersumpah, maka jarimah qodzaf bisa dibuktikan
dengan keengganan untuk bersumpah tersebut. Demikian pula
sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orangyang dituduh (korban) bahwa
penuduh benar melakukan penuduhan. Apabila orang yangdituduh enggan melakukan
sumpah maka tuduhan dianggap benar dan dibebaskan dari hukuman hadd qodzaf.Alat bukti sumpah ini
juga diatur dalam HIR Pasal 135-158, 177) R.Bg. (pasal 182, 185,314) dan BW
(pasal 1929-1945). Sumpah sebagai alat bukti berbeda dengan sumpah
yangdiucapkan saksi sebelum memberikan keterangan didepan sidang pengadilan
dalam hal inididepan majelis hakim, sumpah saksi adalah menyatakan benar apa
yang diketahui, didengar,dilihat sesuai dengan apa yang diterangkannya, itu
bukanlah sebagai alat bukti tetapikesaksiannya itulah menjadi bukti, sedangkan
sumpah sebagai alat bukti yaitu isinya tentangkebenaran apa yang dilakukan
pihak yang bersumpah itu.
Adapun syarat-syarat formal alat bukti sumpah secara umum harus
memenuhi syarat :
a)Berupa keterangan yang diikrarkan dalam bentuk lisan.
b)Ikrar sumpah diucapkan didepan hakim dalam proses pemeriksaan
perkara padasidang perkara.
c)Tidak ada bukti lain yang dapat diajukan para pihak, sehingga
pembuktian sudah berada dalam keadaan jalan buntu.Agar sumpah menjadi sah
(valid) , bila ia bersumpah atas nama Allah, salah satu darinama-nama Allah
atau salah satu dari sifat-sifat Allah. Seperti ucapan, Wallahi, warohmani,wa rabbil 'alamin, dll. Tidak sah bila menggunakan nama selain Allah. Jadi, sumpah
yangdilakukan Komjen Susno Duaji yang memakai lafadz Lillahi ta'ala
Apabila sesorang tidak dapat membuktikan gugatannya,
sedang tergugat menolak isi gugatan tersebut, diantara hak penggugat adalah mengajukan tuntutan kepada
hakim agar tergugat bersumpah. Disamping
itu, ada (juga) kasus-kasus yang perlu pembuktian dengan sumpah tanpa
didasarkan adanya tuntutan, sebagaimana sumpah yang dihadapkan kepada penggugat, seperti orang yang menggugat suatu
hak kepada mayat. Maka dalam kasus seperti ini,
hakim tidak boleh memutuskan atas dasar adanya gugatan tersebut sebelum meminta
sumpah penggugat. Fuqaha banyak berbeda tentang siapa yang harus
disumpah.
c. Penolakan Sumpah (Nukul)
Penolakan sumpah (nukul) berarti
pengakuan. Yang merupakan alat bukti dan penggugat memperkuat gugatannya dengan
bukti lain agar bukti lain agar gugatannya dapat mengena kepada pihak lainnya. Kalangan fuqoha berbeda
pendapat tentang penolakan sumpah sebagai alat bukti.
Madzhab Hanafi dan imam Ahmad
menganggap penolakan sumpah merupakan alat bukti yang dapat dipergunakan
sebagai dasar putusan. Pendapat lain menyatakan bahwa penolakan sumpah tidak
dapat dipakai sebagai alat bukti, tetapi jika tergugat menolak gugatan
penggugat maka penggugat yang disumpah.
Adapula pendapat yang menyatakan
bahwa tergugat harus dipaksa bersumpah apabila hal itu diminta oleh
penggugat, dan jika perlu dipukul atau ditahan sampai ia mau bersumpah dan
mengakui, tetapi tidak dibenarkan putusan dijatuhkan atas dasar penolakannya
terhadap sumpah dan juga tidak dikembalikan sumpah kepada pihak penggugat.
Selanjutnya pendapat ini menyatakan bahwa sumpah yang dikembalikan kepada
penggugat ada 3 tempat yaitu, Qasmah; wasiat dalam bepergian apabila tidak ada
orang saksi selain orang kafir, dan apabila penggugat hanya memperkuat
gugatannya dengan seorang saksi maka ia harus bersumpah, ini adalah pendapat
golongan Dhahiriyah.
d. Ilmu qodhi
Menurut mazhab Maliki, hakim
tidak boleh memutus perkara atas dasarbukti pengakuan tentang keadaan tergugat/
tertuduh, baik pengetahuannya itu sebelum atau sesudah diangkat sebagai hakim,
baik pengetahuannya itu ketika di dalam siding pengadilan atau diluar. Demikian
juga baik sebelum atau sesudah pemeriksaan perkara. Berbeda dengan pendapat
Sahnun (pengikut mazhab Maliki) yang membenarkan bahwa hakim boleh memutus
perkara atas pengetahuannya tentang keadaan tergugat/tertuduh sesudah
diperiksa. Tidak ada perbedaan pendapat tentang apa yang diketahui atau
didengar hakim tentang keadaan tergugat/tertuduh sesudah diperiksa. Tidak ada
perbedaan pendapat tentang apa yang diketahui atau didengar hakim tentang
keadaan tergugat/tertuduh di luar siding pengadilan. Hal ini tidak dapat
digunakan sebagai dasar putusan apabila hakim tela menjatuhkan putusan atas
dasar demikian maka putusan tersebut berhak dibatalkan.[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembuktian merupakan rangkaian tindakan hakim dalam
melakasanakan tugas pokok
pemeriksaan perkara, hakim harus pasti akan kebenaran peristiwa yang
dikonstatirnya sehingga hasil konstatirnya itu bukan sekedar dugaan atau
kesimpulan yang dangkal dan gegabah. Hakim harus menggunakan srana atau
alat-alat untuk memastikan dirinya tentang kebenaran peristiwa yang
bersangkutan.
Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis
kebenaran suatu fakta/ perisiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan
menurut hukum pembuktian yang berlaku. Tujuanya adalah untuk mendapatkan
kepastian bahwa suatu peristiwa / fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi,
guna mendapatkan putusan yang benar dan adil.
DAFTARPUSTAKA
Djalil, Basiq. Peradilan Islam. Jakarta: AMZAH.
2012
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Hukum Acara Peradilan Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2006
[1] Aris Bintania. Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha. Hal 26-27
[2] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Hukum Acara Peradilan Islam. Hal 15-16
[3] Http://ferantiknowledge.blogspot.co.id/2015/05/teori-pembuktian-dalam-hukum-pidana.html.
diunduh pada pukul 21.30 WITA tanggal 12 Agustus 2019.
[5] Drs. H.A. Basiq
Djalil, S.H., M.A.. Peradilan Islam.
Hal 44-55