Makalah Pelaksanaan Putusan Pidana Hakim Pengawas Dan Pengamat


Makalah
Pelaksanaan Putusan Pidana
Hakim Pengawas Dan Pengamat

Oleh:
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Program Study Syariahjurusan Al-Akhwalus Syakhsiyah.
Sekolah Tinggi Agama Islam Darud Da’wah
 (Stai Ddi) Mangkoso
Kab. Barru
2019



BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Hakim dengan kekuasaan Kehakiman yang dimiliki mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan pelaksanaan sistem peradilan pidana dan akses publik pencari keadilan ke peradilan pidana. Peranan yang besar dan menentukan tersebut tidak hanya terkait dengan pelaksanaan dari system peradilan pidana itu, tapi yang utama juga adalah usaha dari sistem peradilan pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu usaha yang rasional dari masyarakat dalam upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan.
Pelaksanaan sistem peradilan pidana terbagi dalam tahap-tahap. Tahap penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pemidanaan. Setiap tahap tersebut dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang berbeda-beda, tahap penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, peradilan oleh Hakim dan pelaksanaan pemidanaan oleh lembaga pemasyarakatan. Lembaga-lembaga tersebut oleh undang-undang diberikan tugas dan kewenangan yang berbeda-beda. Penyidik yang melakukan penyidikan secara umum tugas dan kewenangannya adalah mencari dan mengumpulkan bukti. Penuntut umum (jaksa) dengan tugas atau kewenangan secara umum melakukan penuntutan dengan jalan membuat dakwaan dari bahan bukti yang berasal dari pihak penyidik. Hakim dalam tahap peradilan secara umum tugas dan kewenangannya adalah memberikan putusan mengenai salah tidaknya seseorang yang telah diajukan sebagai terdakwa oleh penuntut umum (jaksa) dengan terlebih dahulu melalui proses pembuktian. Terakhir lembaga pemasyarakatan dengan tugas dan kewenangan secara umum pelaksanaan pemidanaan agar terpidana dapat kembali ke masyarakat (resosialisasi).
Namun apabila memperhatikan secara umum dan keseluruhan isi dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terlihat bahwa Hakim tidak hanya berperan dalam lingkup tugas peradilan pidana secara sempit yaitu memeriksa dan memutus perkara pidana (ajudikasi), akan tetapi tugas dan kewenangan yang dimilikinya masuk dan mulai sejak dari tahap penyidikan (pra – ajudikasi) sampai dengan tahap pelaksanaan putusan pemidanaan (pasca – ajudikasi).
Pada tahap purna ajudikasi, status seorang pelaku tindak pidana sudah jelas dinyatakan sebagai orang yang bersalah menurut hukum. Dalam posisi yang demikian ini, sebagai orang yang telah dianggap melanggar dan menyimpang dari norma-norma masyarakat, ia harus dibina agar dapat kembali menjadi warga masyarakat yang taat hukum. Untuk itulah dibentuk system pemasyarakatan, yang bertugas menyiapkan terpidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Pembinaan merupakan kegiatan yang bersifat kontinyu dan intensif. Melalui pembinaan, terpidana diarahkan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak melakukan tindak pidana lagi. Satu hal yang sangat penting dalam melakukan pembinaan adalah pembinaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan, dan terpidana tetap diakui hak-hak asasinya sebagai manusia. Dengan kata lain, terpidana harus tetap memperoleh keadilan yang sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang yang telah dinyatakan bersalah menurut hukum. Peraturan perundang-undangan telah memberikan sejumlah hak pada terpidana, yang merupakan jaminan bahwa ia tetap akan diperlakukan sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat.
Keberhasilan suatu kegiatan ditentukan pula oleh adanya pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut. Pada umumnya, setiap lembaga telah mempunyai mekanisme pengawasan dari dalam lembaga sendiri, yang disebut sebagai pengawasan internal. Namun obyektifitas pengawasan yang bersifat internal ini sering kali dipertanyakan, sehingga dianggap masih diperlukan pengawasan yang berasal dari luar lembaga (eksternal). Pengawasan eksternal dapat berasal dari sesama penegak hukum (sub system lain), dari lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah, dari masyarakat yang dapat berupa lembaga swadaya masyarakat, atau masyarakat perorangan. Untuk tahap pelaksanaan pidana ini, oleh KUHAP telah diperkenalkan suatu lembaga khusus yang pada masa peraturan yang digantikannya Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) tidak ada, yaitu lembaga hakim pengawasan dan pengamatan (wasmat).

B.       Rumusan Masalah
1.    Pelaksanaan Putusan Pidana
2.    Hakim Pengawas dan Pengamat


C.      Tujuan
1.    Mengetahui dan memahami bagaimana Hakim pengawas dan pengamat melakukan pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan Pengadilan.
2.    Sebagai pengembangan wawasan keilmuan penulis dan pengembangan bacaan bagi pendidikan hokum.
3.    sebagai sumbangan bagi hukum positif terutama di bidang pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan Pengadilan Khususnya dalam Putusan Pidana.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa, dan oleh karena itu salinan putusan akan diberikan kepadanya oleh panitera.[1]Apabila putusan pengadilan tersebut berupa perampasan kemerdekaan, maka peranan hakim sebagai pejabat yang diharapkan juga memiliki pertanggungjawaban atas putusan yang dijatuhkannya, tidak akan berhenti pada saat menjatuhkan putusan tersebut. Hakim harus mengetahui apakah putusan perampasan kemerdekaan yang dijatuhkan itu dilaksanakan dengan baik dan didasarkan pada asas-asas kemanusiaan serta keadilan, terutama dari pihak-pihak berwajib yang harus melaksanakan putusan tersebut, sehingga tujuan pemidaan dapat tercapai, yaitu untuk mengembalikan terpidana menjadi anggota masyarakat yang baik dan patuh pada hukum.
Dalam KUHAP, hanya terdapat 7 buah pasal saja yang mengatur tentang pelaksanaan putusan pengadilan, yaitu Pasal 270 sampai dengan Pasal 276 KUHAP. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang:
1.      Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa (Pasal 270 KUHAP)
2.      Pelaksanaan pidana mati (Pasal 271 KUHAP)
3.      Pelaksanaan pidana berturut-turut, jika terpidana dijatuhi pidana sejenis berturut turut (Pasal 272 KUHAP)
4.      Pelaksanaan pidana denda dalam jangka waktu satu bulan, kecuali putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi, pembayaran denda tersebut dapat diperpanjang paling lama satu bulan dalam hal terdapat alasan kuat (Pasal 273 ayat (2) KUHAP)
5.      Pengaturan barang bukti yang dirampas untuk negara (Pasal 273 ayat (3) dan (4) KUHAP)
6.      Pelaksanaan putusan ganti kerugian kepada pihak lain yang dirugikan (Pasal 274 KUHAP)
7.      Biaya perkara (Pasal 275 KUHAP)
8.      Pelaksanaan pidana bersyarat (Pasal 276 KUHAP)
Pasal 270 KUHAP menentukan, pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan surat keputusan kepadanya. Sejalan dengan ketentuan Pasal 270 KUHAP tersebut, dijelaskan pula dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
Sesuai dengan ketentuan pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa pejabat yang diberi wewenang melaksanakan putusan pengadilan adalah jaksa. Dengan demikian, pundak jaksalah yang dibebani dengan tanggung jawab pelaksanaan putusan pengadilan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan putusan pengadilan tersebut seorang jaksa harus mengetahui dan memahami prosedur pelaksanaan putusan pengadilan. Untuk memperlancar pelaksanaan putusan pengadilan tersebut, Kejaksaan Republik Indonesia mengeluarkan petunjuk teknis atau administrasi dalam penanganan eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu melalui Surat Nomor B-235/E/3/1994 tanggal 4 Maret 1994 tentang Eksekusi Putusan Pengadilan dan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-518/A/JA/11/2001 tanggal 11 November 2001 tentang Perubahan KEPJA Rl Nomor KEP-132/JA/11/1994 tanggal 7 November 1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana Umum.[2]
Berdasarkan Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor INS-006/ J.A/4/1995 tentang Petunjuk Pelaksanaan Buku Panduan Penanganan Perkara Pidana Umum, proses untuk menentukan pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi dalam hal pidana mati sebagai berikut: [3]
1.      Melakukan koordinasi dengan Polri untuk menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati serta tenaga dan alat-alat yang diperlukan.
2.      Menyiapkan laporan persiapan pelaksanaan pidana mati kepada jaksa agung oleh kejati/kejari.
3.      Menyiapkan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan.
4.      Memberitahukan kepada terpidana dan keluarganya tentang penolakan grasi dan pelaksanaan pidana mati tiga hari sebelum saat pelaksanaan dengan membuat berita acara (BA).
5.      Memerhatikan ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati, yakni dilaksanakan dengan ditembak sampai mati dengan cara sesederhana mungkin dan tidak di muka umum dengan jalan:
a.    di depan regu tembak brimob yang terdiri atas 12 tamtama, dipimpin seorang perwira dengan menggunakan senjata nonorganic.
b.    saat akan ditembak ditutup dengan kain hitam mata terpidana
c.    jarak tembak tidak lebih 10 meter dan tidak kurang 5 meter
d.   isyarat pelaksanaan dilakukan oleh komandan regu penembak dengan menggunakan pedang
e.    saat diangkat ke atas berarti perintah siap untuk menembak dengan membidik arah jantung
f.     menyentakkan pedang ke bawah secara cepat berarti perintah untuk menembak
g.    bila ternyata belum mati, komandan regu penembak memerintahkan bintara regu tembak untuk melepaskan tembakan pada kepala tepat di atas telinga terpidana
h.    dokter yang ikut serta yang memastikan terpidana sudah mati memberikan surat keterangan kematian
6.      Penguburan diserahkan kepada keluarga atau sahabatnya dengan membuat berita acara kecuali jaksa tinggi menentukan lain.
7.      Membuat BA pelaksanaan hukuman mati yang tembusannya disampaikan ke MA, Menkeh, jaksa agung, jaksa agung muda yang bersangkutan, karo hukum, sekretaris negara, kajati, dan kapolda.
 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan menembak mati terdakwa, dilaksanakan oleh satu regu penembak dengan menggunakan senjata organik. Regu ini terdiri atas 12 tamtama yang dipimpin oleh seorang perwira.
Mengenai pelaksanaan pidana mati, sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 11 KUHP. Namun, cara pelaksanaan pidana mati menurut Pasal 11 KUHP, yaitu dengan jalan menggantung terpidana oleh seorang algojo tidak dilaksanakan lagi dewasa ini merupakan suatu sejarah tersendiri.
Han Bing Sion, menyatakan:[4] Pelaksanaan pidana mati dengan jalan menggantung terpidana menurut ketentuan Pasal 11 WvS (Wet Boek voor Nederlands Indie), itu berlangsung sampai tanggal 8 Maret 1942 ketika Pemeintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Dari Jepang mengeluarkan suatu peraturan, yaitu Osamu Gunrei No. 1 Tahun 1942, yang menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati dengan jalan menembak mati terpidana. Secara yuridis, kedua cara yaitu menggantung dan menembak mati itu berlaku paralel, karena peraturan Jepang tersebut mengandung hukum pidana materiil pula, yaitu kejahatan terhadap kepentingan pendudukan militer Jepang. Jadi Pasal 11 WvS masih berlaku juga untuk delik melanggar ketentuan WvS tersebut.
Pada waktu pendudukan Belanda sesudah Perang Dunia II usai, berlaku Stb 1945 Nomor 123, yang menyatakan pelaksanaan pidana mati dengan ditembak mati. Dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 yang dikeluarkan oleh RI di Yogyakarta, maka yang dinyatakan berlaku adalah WvS voor Nederlands Indie, dan namanya diubah menjadi Wetboek van Strafrecht atau disebut KUHP. Jadi, dengan sendirinya berlaku Pasal 11 WvS tersebut, yang menyatakan pidana mati dijalankan dengan cara digantung.[5]
Dengan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958, dinyatakan Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia. Jadi, sejak 29 September 1958, pidana mati seharusnya dilaksanakan dengan cara digantung menurut Pasal 11 WvS (KUHP) itu. Pada tahun 1964 dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 No. 38 tanggal 27 April 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, dikeluarkan peraturan tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak mati. Jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, maka pidana mati dilaksanakan di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.[6]
Setelah mendengar nasihat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya, Kepala Polisi Komisariat Daerah (sekarang: Kadapol) tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati. Kepala Polisi tersebutlah yang menjaga keamanan dan menyediakan alat-alat yang diperlukan untuk pelaksanaan pidana mati. Kepala Polisi bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa menghadiri pelaksanaan pidana mati. Jaksa Tinggi/Jaksa bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Pelaksanaan putusan pengadilan terhadap pidana penjara atau kurungan, antara lain:[7]
1.      Menerima salinan putusan pengadilan dari panitera pengadilan negeri yang bersangkutan dalam waktu satu minggu untuk perkara biasa dan waktu dua minggu untuk perkara dengan acara singkat.
2.  Kepala kejaksaan mengeluarkan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan dan menyerahkan terpidana pada lembaga permasyarakatan.
3.      Menyerahkan terpidana pada lembaga pemasyarakatan.
4.      Membuat laporan pelaksanaan.
Berdasarkan prosedur pelaksanaan putusan pengadilan terhadap pidana penjara atau kurungan pada poin 2, disebutkan bahwa kejaksaan negeri mengeluarkan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan. Dengan dikeluarkannya surat perintah tersebut maka jaksa segera menjalankan tugasnya untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan. Kemudian, apabila seorang terdakwa dipidana penjara atau kurungan yang jumlahnya lebih dari satu putusan, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.[8]
Mengenai pelaksanaan putusan yang berupa pidana denda, KUHAP hanya mengatur dalam 1 pasal saja, yaitu Pasal 273 ayat (1): "Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi". Dalam ayat (2) pasal tersebut, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama satu bulan. Perlu diingat, bahwa jika dijatuhkan pidana denda dengan subsidair pidana kurungan pengganti, terpidana dapat melunasi separuh dendanya dan separuhnya lagi dijalani sebagai pidana kurungan.
Pelaksanaan putusan pidana denda dilaksanakan dalam waktu satu bulan, kecuali apabila ada alasan yang mendesak, jaksa dapat memberi kesempatan menunda pembayaran dengan satu bulan lagi. Akan tetapi, pemberian waktu pembayaran denda tidak dimungkinkan pada putusan pidana dalam acara pemeriksaan cepat, karena dalam putusan acara cepat pembayarannya harus segera dilunasi. Apabila dalam putusan pidana tersebut juga menetapkan bahwa ada barang bukti yang dirampas untuk dipegang negara dan tidak terikat sebagai bukti perkara lain, jaksa menguasakan denda tersebut kepada kantor lelang negara untuk dilelang dalam waktu tiga bulan, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.[9]
Adapun pelaksanaan putusan ganti rugi telah ditentukan dengan tegas dalam Pasal 274 KUHAP, bahwa pelaksanaan atas suatu ganti rugi dilakukan menurut tata cara putusan perdata. Apabila pengadilan menjatuhkan biaya perkara dan ganti rugi kepada lebih dari satu orang terpidana, biaya perkara dan ganti kerugian tersebut dibebankan kepada mereka bersamasama secara berimbang.[10]
Oleh karena pemanggilan saksi-saksi, ahli juru bahasa, dan sebagainya untuk menghadap di persidangan dilakukan oleh jaksa, maka jelas bahwa perhitungan ongkos perkara pidana itu ada pada jaksa dan hakim. Perhitungan jaksa itu seharusnya diajukan dalam tuntutannya (requisitoir). Dalam tuntutan itu, jaksa (penuntut umum) menuntut agar terpidana membayar biaya perkara dengan jumlah tertentu, sesuai Pasal 197 ayat (11) KUHAP dan Pasal 275 KUHAP. Walaupun KUHAP tidak menyebut bahwa beban biaya perkara itu adalah pidana seperti HIR, namun karena tidak diatur pidana pengganti seperti halnya dengan denda, maka biaya perkara tersebut menjadi piutang negara dan oleh karena itu dapat dibebankan kepada terpidana atau ahli warisnya. Mengenai pelaksanaan pidana perampasan barang bukti, jaksa mengusahakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.[11] Ini pun dapat diperpanjang paling lama 3 bulan.
Selain perampasan, menurut Pasal barang bukti juga dapat diputus untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi.[12] Dalam hal ini pun, jaksa melaksanakannya dengan suatu berita acara perusakan atau pemusnahan. Barang-barang yang mudah terbakar dimusnahkan dengan jalan dibakar, sedangkan senjata tajam dibuang ke laut. Jika dijatuhkan pidana ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ganti kerugian kepada pihak lain yang dirugikan atau korban delik, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara perdata, yaitu melalui juru sita. KUHAP hanya menyebut tentang biaya perkara tanpa memperinci bagaimana perhitungannya dalam putusan, bagaimana cara yang diharuskan kepada terpidana untuk membayar biaya perkara, dan bagaimana menagihnya. Dua pasal yang menyebut biaya perkara itu, yang pertama di bagian keputusan pengadilan dan yang lain di bagian pelaksanaan putusan.
Dalam KUHAP terdapat aturan mengenai apa yang harus dimuat suatu putusan, yaitu: "surat putusan pemidanaan memuat ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan, dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti, dan ketentuan mengenai barang bukti".[13] Yang menjadi fokus di sini adalah mengenai pembebanan biaya perkara. Terdapat juga ketentuan lain, yaitu Pasal 275 KUHAP, yang menyatakan bahwa apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dan/atau ganti kerugian dibebankan kepada mereka secara berimbang.

B.       Hakim Pengawas dan Pengamat
1.      Pengertian Hakim Pengawas dan Pengamat
Dalam proses peradilan pidana ada satu lembaga yang aktif sesudah putusan dijatuhkan yaitu Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat). Hakim Wasmat ini ditujukan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan Pengadilan yang dieksekusi Jaksa dan pelaksanaannya dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena dalam pelaksanaan putusan itu dapat terjadi tertindasnya hak-hak terpidana atau narapidana, yaitu karena tindakan petugas dan yang timbul dalam Lembaga Pemasyarakatan yang bersifat menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 277 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan:[14]
(1) pada setiap pengadilan harus ada Hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut Hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk paling lama dua (2) tahun.
Dengan demikian, Hakim Wasmat adalah hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan dan diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
2.      Landasan Yuridis Hakim Pengawas dan Pengamat
Hakim Wasmat diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Bab XX Pasal 277 s/d 283 KUHAP mengenai Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan, dan Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. No. 7 Tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat.
3.      Tugas dan Wewenang Hakim Pengawas dan Pengamat
Hakim Wasmat yang mempunyai tugas mengawasi dan mengamati agar terdapat suatu jaminan bahwa putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri dilaksanakan sebagaimana mestinya (Pasal 280 ayat 1 KUHAP). Karena pemidanaan bukanlah untuk menderitakan atau tindakan balas dendam atas perbuatan narapidana melainkan pembinaan narapidana baik secara psikis maupun pisik agar dapat atau siap kembali kedalam lingkungan masyarakat sebagai manusia seutuhnya dan taat pada hukum.[15]
Mengingat inti pengertian”pengawasan” adalah ditujukan pada Jaksa dan petugas lembaga pemasyarakatan, maka perincian tugas pengawasan adalah sebagai berikut:
a.    Memeriksa dan menandatangani register pengawasan dan pengamatan yang berada di kepaniteraan Pengadilan Negeri.
b.    Mengadakan checking on the spot paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali ke lembaga pemasyarakatan untuk memeriksa kebenaran berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani oleh Jaksa, Kepala Lembaga Pemasyarakatan terpidana.
c.    Mengadakan observasi terhadap keadaan, suasana dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung di dalam lingkungan tembok-tembok lembaga, khususnya untuk menilai apakah keadaan lembaga pemasyarakat tersebut sudah memenuhi pengertian bahwa “pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia”, mengamati dengan mata kepala sendiri perilaku narapidana sehubungan dengan pidana yang dijatuhkan kepadanya.
d.   Mengadakan wawancara dengan para petugas pemasyarakatan (terutama para wali pembina narapidana-narapidana bersangkutan) mengenai perilaku serta hasil-hasil pembinaan narapidana, baik kemajuan-kemajuan yang diperoleh maupun kemunduran-kemunduran yang terjadi.
e.    Mengadakan wawancara langsung dengan para narapidana mengenai hal ihwal perlakuan terhadap dirinya, hubungan-hubungan kemanusiaan antara sesama mereka sendiri maupun dengan para petugas lembaga pemasyarakatan.
f.     Menghubungi Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan Ketua Dewan Pembina Pemasyarakatan (DPP), dan jika dipandang perlu juga menghubungi koordinator pemasyarakatan pada kantor wilayah Departemen Kehakiman dalam rangka menukar saran pendapat dalam pemecahan suatu masalah, serta berkonsultasi (dalam suasana koordinatif) mengenai perlakuan terhadap para narapidana yang bersifat teknis, baik tata perlakuan di dalam tembok-tembok lembaga maupun luarnya.
Mengingat inti pengertian” pengamatan” adalah ditujukan pada masalah pengadilan sendiri sebagai bahan penelitian pembinaan yang akan datang, maka perincian tugas pengamatan adalah sebagai berikut:
a.    Mengumpulkan data-data tentang perilaku narapidana, yang dikategorikan berdasarkan jenis tindak pidananya (misalnya pembunuhan, perkosaan dan sebagainya). Data-data mengenai perilaku narapidana ini dapat berpedoman pada factor (antara lain): type dari perilaku tindak pidana (misalnya untuk pertama kali melakukan tindak pidana, residivis dan sebagainya), keadaan rumah tangganya (baik-baik, bobrok dan sebagainya), perhatian keluarganya terhadap dirinya (besar sekali, kurang sebagainya), keadaan lingkungannya (tuna susila dan sebagainya), catatan pekerjaannya (penganggur dan sebagainya), catatan kepribadiannya (tenang, egosentris dan sebagainya), jumlah teman-teman dekatnya (satu, dua, tiga orang atau lebih), keadaan phychisnya dan lain-lain.
b.    Mengadakan evaluasi mengenai hubungan antara perilaku narapidana tersebut dengan pidana yang dijatuhkan, apakah lamanya pidana yang dijatuhkan terhadap narapidana dengan perilaku tertentu sudah tepat (dalam arti cukup) melakukan pembinaan terhadap dirinya sehingga pada waktu dilepaskan nanti, narapidana tersebut sudah dapat menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat pada hukum, data-data yang telah berkumpul dari tugas-tugas yang telah terperinci tersebut di atas hendaknya dilaporkan secara tertulis oleh hakim pengawas dan pengamat kepada Ketua Pengadilan Negeri paling sedikit 3 (tiga bulan sekali dengan tembusan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Kejaksaan Negeri, Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung RI., Menteri Kehakiman RI., dan Jaksa Agung RI. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri meneruskan laporan tersebut pada Hakim-hakim yang telah memutus perkara narapidana yang bersangkutan dapat mereka ketahui hal-hal yang berkaitan dengan putusan mereka. Mengenai saran-saran hakim pengawas dan pengamat yang termuat dalam laporannya itu, hendaknya Ketua Pengadilan Negeri ikut memintakan perhatian untuk dilaksanakan yang bersangkutan, dan apabila dianggap perlu meneruskannya kepada atasannya masing-masing.
Pelaksanaan tugas hakim pengawas dan pengamat hanya ditujukan pada narapidana (tidak termasuk yang berasal dari putusan Pengadilan Militer) yang menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan yang terdapat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri di mana Hakim pengawas dan pengamat yang bersangkutan bertugas. Ini berarti Wewenang Hakim pengawas dan pengamat :[16]
mengawasi dan mengamati pelaksanaan putusan-putusan dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri di mana ia bertugas, akan tetapi dapat juga ia mengawasi/mengamati pelaksanaan putusan Pengadilan-pengadilan Negeri lainnya. Namun ada kemungkinan seorang hakim pengawas dan pengamat tidak mempunyai subyek pengawasan/pengamatan dikarenakan dalam daerah hukum pengadilan negeri di tempat mana ia bertugas, tidak terdapat lembaga pemasyarakatan.

4.      Tahap-tahap Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat
Tahap-tahap pelaksanaan tugas pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sebagai berikut:[17]
1.      Mula-mula Jaksa mengirim tembusan berita acara pelaksanaan putusan penagdilan yang ditandatangani olehnya, kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan, terpidana dan kepada Pengadilan yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama (pasal 278 KUHAP)
2.      Panitera mencatat pelaksanaan tersebut dalam register pengawasan dan pengamatan. Register tersebut wajib dibuat, ditutup dan ditandatangani oleh panitera setiap hari kerja dan untuk diketahui dan ditandatangani juga oleh Hakim pengawas dan pengamat (pasal 279 KUHAP)
3.       Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan Pengadilan dilaksanakan semestinya. Hakim tersebut mengadakan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan serta pengaruh timbale-balik antara perilaku narapidanan dan pembinaan narapidana oleh lembaga pemasyarakatan. Pengamatan tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidananya. Pengawasan dan pengamatan berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat (pasal 280 KUHAP)
4.       Atas permintaan Hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan Hakim tersebut (pasal 281 KUHAP)
5.      Hakim dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu. Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh Hakim pengawas dan pengamat kepada ketua Pengadilan secara berkala (Pasal 282 dan 283 KUHAP)[18]
Mekanisme kerja hakim pengawas dan pengamat harus memenuhi tata cara yang praktis dan pragmatis. la harus mampu mengumpulkan akta nyata berdasarkan keadaan yang sebenarnya, jauh dari pencampuran opini subyektif. Hal ini perlu untuk mencegah timbulnya kesimpulan yang menyesatkan.


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.      Putusan pengadilan dalam perkara pidana berdasarkan KUHAP adalah pertama, pemidanaan (verodeling) apabila pengadilan atau hakim berpendapat bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Kedua, putusan bebas (vrijprak) dilaksanakan jika hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas perbuatan yang didakwakan. Ketiga, lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) jika hakim bependapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana.
2.      Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. Dapat dikatakan bahwa pejabat yang diberi wewenang melaksanakan putusan pengadilan adalah jaksa. Dengan demikian pada pundak jaksalah terdapat tanggung jawab pelaksanaan putusan pengadilan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan putusan pengadilan jaksa harus mengetahui dan memahami prosedur pelaksanaan putusan pengadilan guna memperlancar pelaksanaan putusan tersebut.
3.      Keberadan Hakim Wasmat dimaksudkan untuk mengawasi dan mengamati pelaksanaan putusan hakim; dan dilaksanakan oleh hakim dengan masa jabatan dua tahun. Dalam prakteknya lembaga ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan

B.       Saran
1.      Diharapkan dalam menetapkan putusan pengadilan baik berupa pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, hakim benar-benar mempertimbangkan 27 Lihat Pasal 197 ayat (1) huruf i KUHAP. Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017 93 keseluruhan materi dalam surat dakwaan jaksa serta fakta dan keadaan beserta alat bukti yang terungkap di persidangan terutama mengenai fakta atau keadaan yang memberatkan atau meringankan terdakwa.
2.      Karena tanggungjawab pelaksanaan putusan pengadilan berada di pundak jaksa, maka diharapkan dalam pelaksanaan putusan dilaksanakan sesuai dengan prosedur pelaksanaan putusan pengadilan guna memperlancar pelaksanaan putusanputusan pengadilan tersebut.
3.      Pemerintah perlu memberikan perhatian yang serius mengenai keberadaan Hakim Pengawas dan Pengamat. Keberadaan Hakim Wasmat menjadi penting sebagai bentuk pemenuhan peraturan perundang-undangan


[1] Lihat Pasal 270 KUHAP.
[2] H. Rusly Muhamad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 303.
[3] Ibid, hlm. 304.
[4]  Han Bing Siong. 1998. Cara Melaksanakan Hukuman Mati. Jakarta: Dimar Sondang, hlm. 11.
[5] Ibid, hlm. 12
[6]  Lihat Pasal 2 ayat (1) PP RI No. 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer
[7] H. Rusli Muhammad, Op.cit., hlm. 305-306.
[8] Lihat Pasal 272 KUHAP.
[9]  Lihat Pasal 273 ayat (3) KUHAP.
[10]  Lihat Pasal 275 KUHAP.
[11]  Lihat Pasal 273 ayat (3) KUHAP.
[12]  Lihat Pasal 46 ayat (2) KUHAP.
[13]  Lihat Pasal 197 ayat (1) huruf i KUHAP.
[14] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 277
[15] Andi Hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, hal.83.
[16] Waluyadi. 2009. Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Madju, hlm. 2-3.
[17] Martiman Prodjo Hamidjojo, 1982, Komentar Atas KUHAP, cet.ke-2, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.89
[18] M.Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali) edisi kedua, cet,ke-5, Sinar Grafika, Jakarta, hal.243

Iklan Atas Artikel

Adnow April 22

Adnow April 22

Iklan Bwah Artikel (Adnow)