Makalah Pelaksanaan Putusan Pidana Hakim Pengawas Dan Pengamat
Makalah
Pelaksanaan Putusan Pidana
Hakim Pengawas Dan Pengamat
Oleh:
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata
Kuliah Hukum Acara Pidana Program Study Syariahjurusan Al-Akhwalus Syakhsiyah.
Sekolah Tinggi Agama Islam Darud Da’wah
(Stai
Ddi) Mangkoso
Kab. Barru
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hakim dengan kekuasaan Kehakiman yang dimiliki
mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan pelaksanaan sistem
peradilan pidana dan akses publik pencari keadilan ke peradilan pidana. Peranan
yang besar dan menentukan tersebut tidak hanya terkait dengan pelaksanaan dari
system peradilan pidana itu, tapi yang utama juga adalah usaha dari sistem
peradilan pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu usaha yang rasional dari
masyarakat dalam upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan.
Pelaksanaan sistem peradilan pidana terbagi
dalam tahap-tahap. Tahap penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
pemidanaan. Setiap tahap tersebut dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang
berbeda-beda, tahap penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan,
peradilan oleh Hakim dan pelaksanaan pemidanaan oleh lembaga pemasyarakatan.
Lembaga-lembaga tersebut oleh undang-undang diberikan tugas dan kewenangan yang
berbeda-beda. Penyidik yang melakukan penyidikan secara umum tugas dan
kewenangannya adalah mencari dan mengumpulkan bukti. Penuntut umum (jaksa)
dengan tugas atau kewenangan secara umum melakukan penuntutan dengan jalan
membuat dakwaan dari bahan bukti yang berasal dari pihak penyidik. Hakim dalam
tahap peradilan secara umum tugas dan kewenangannya adalah memberikan putusan
mengenai salah tidaknya seseorang yang telah diajukan sebagai terdakwa oleh
penuntut umum (jaksa) dengan terlebih dahulu melalui proses pembuktian.
Terakhir lembaga pemasyarakatan dengan tugas dan kewenangan secara umum
pelaksanaan pemidanaan agar terpidana dapat kembali ke masyarakat
(resosialisasi).
Namun apabila memperhatikan secara umum dan
keseluruhan isi dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana terlihat bahwa Hakim tidak hanya berperan dalam lingkup tugas peradilan
pidana secara sempit yaitu memeriksa dan memutus perkara pidana (ajudikasi),
akan tetapi tugas dan kewenangan yang dimilikinya masuk dan mulai sejak dari
tahap penyidikan (pra – ajudikasi) sampai dengan tahap pelaksanaan putusan
pemidanaan (pasca – ajudikasi).
Pada tahap purna ajudikasi, status seorang
pelaku tindak pidana sudah jelas dinyatakan sebagai orang yang bersalah menurut
hukum. Dalam posisi yang demikian ini, sebagai orang yang telah dianggap
melanggar dan menyimpang dari norma-norma masyarakat, ia harus dibina agar
dapat kembali menjadi warga masyarakat yang taat hukum. Untuk itulah dibentuk
system pemasyarakatan, yang bertugas menyiapkan terpidana agar dapat
berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali
sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Pembinaan
merupakan kegiatan yang bersifat kontinyu dan intensif. Melalui pembinaan,
terpidana diarahkan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak
melakukan tindak pidana lagi. Satu hal yang sangat penting dalam melakukan
pembinaan adalah pembinaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan, dan terpidana
tetap diakui hak-hak asasinya sebagai manusia. Dengan kata lain, terpidana
harus tetap memperoleh keadilan yang sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang
yang telah dinyatakan bersalah menurut hukum. Peraturan perundang-undangan
telah memberikan sejumlah hak pada terpidana, yang merupakan jaminan bahwa ia
tetap akan diperlakukan sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat.
Keberhasilan suatu kegiatan ditentukan pula
oleh adanya pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut. Pada umumnya,
setiap lembaga telah mempunyai mekanisme pengawasan dari dalam lembaga sendiri,
yang disebut sebagai pengawasan internal. Namun obyektifitas pengawasan yang
bersifat internal ini sering kali dipertanyakan, sehingga dianggap masih
diperlukan pengawasan yang berasal dari luar lembaga (eksternal). Pengawasan
eksternal dapat berasal dari sesama penegak hukum (sub system lain), dari
lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah, dari masyarakat yang dapat berupa
lembaga swadaya masyarakat, atau masyarakat perorangan. Untuk tahap pelaksanaan
pidana ini, oleh KUHAP telah diperkenalkan suatu lembaga khusus yang pada masa
peraturan yang digantikannya Het Herziene Inlandsch Reglement
(HIR) tidak ada, yaitu lembaga hakim pengawasan dan pengamatan (wasmat).
B.
Rumusan Masalah
1.
Pelaksanaan Putusan Pidana
2.
Hakim Pengawas dan Pengamat
C.
Tujuan
1.
Mengetahui dan memahami
bagaimana Hakim pengawas dan pengamat melakukan pengawasan dan pengamatan
pelaksanaan putusan Pengadilan.
2.
Sebagai pengembangan wawasan keilmuan
penulis dan pengembangan bacaan bagi pendidikan hokum.
3.
sebagai sumbangan bagi hukum positif terutama
di bidang pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan Pengadilan Khususnya
dalam Putusan Pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa, dan oleh karena itu
salinan putusan akan diberikan kepadanya oleh panitera.[1]Apabila
putusan pengadilan tersebut berupa perampasan kemerdekaan, maka peranan hakim
sebagai pejabat yang diharapkan juga memiliki pertanggungjawaban atas putusan
yang dijatuhkannya, tidak akan berhenti pada saat menjatuhkan putusan tersebut.
Hakim harus mengetahui apakah putusan perampasan kemerdekaan yang dijatuhkan
itu dilaksanakan dengan baik dan didasarkan pada asas-asas kemanusiaan serta
keadilan, terutama dari pihak-pihak berwajib yang harus melaksanakan putusan
tersebut, sehingga tujuan pemidaan dapat tercapai, yaitu untuk mengembalikan
terpidana menjadi anggota masyarakat yang baik dan patuh pada hukum.
Dalam KUHAP, hanya terdapat 7 buah pasal saja yang mengatur
tentang pelaksanaan putusan pengadilan, yaitu Pasal 270 sampai dengan Pasal 276
KUHAP. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang:
1.
Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa (Pasal 270 KUHAP)
2.
Pelaksanaan pidana mati (Pasal 271 KUHAP)
3.
Pelaksanaan pidana berturut-turut, jika terpidana dijatuhi
pidana sejenis berturut turut (Pasal 272 KUHAP)
4.
Pelaksanaan pidana denda dalam jangka waktu satu bulan,
kecuali putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi,
pembayaran denda tersebut dapat diperpanjang paling lama satu bulan dalam hal
terdapat alasan kuat (Pasal 273 ayat (2) KUHAP)
5.
Pengaturan barang bukti yang dirampas untuk negara (Pasal 273
ayat (3) dan (4) KUHAP)
6.
Pelaksanaan putusan ganti kerugian kepada pihak lain yang
dirugikan (Pasal 274 KUHAP)
7.
Biaya perkara (Pasal 275 KUHAP)
8.
Pelaksanaan pidana bersyarat (Pasal 276 KUHAP)
Pasal 270 KUHAP menentukan, pelaksanaan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu
Panitera mengirimkan salinan surat keputusan kepadanya. Sejalan dengan
ketentuan Pasal 270 KUHAP tersebut, dijelaskan pula dalam Pasal 36 ayat (1)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa pelaksanaan
putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
Sesuai dengan ketentuan pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa
pejabat yang diberi wewenang melaksanakan putusan pengadilan adalah jaksa.
Dengan demikian, pundak jaksalah yang dibebani dengan tanggung jawab
pelaksanaan putusan pengadilan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan putusan
pengadilan tersebut seorang jaksa harus mengetahui dan memahami prosedur
pelaksanaan putusan pengadilan. Untuk memperlancar pelaksanaan putusan
pengadilan tersebut, Kejaksaan Republik Indonesia mengeluarkan petunjuk teknis
atau administrasi dalam penanganan eksekusi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu melalui Surat Nomor B-235/E/3/1994
tanggal 4 Maret 1994 tentang Eksekusi Putusan Pengadilan dan Keputusan Jaksa
Agung Republik Indonesia Nomor KEP-518/A/JA/11/2001 tanggal 11 November 2001
tentang Perubahan KEPJA Rl Nomor KEP-132/JA/11/1994 tanggal 7 November 1994
tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana Umum.[2]
Berdasarkan Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor
INS-006/ J.A/4/1995 tentang Petunjuk Pelaksanaan Buku Panduan Penanganan
Perkara Pidana Umum, proses untuk menentukan pelaksanaan putusan pengadilan
atau eksekusi dalam hal pidana mati sebagai berikut: [3]
1. Melakukan koordinasi dengan Polri untuk menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati serta tenaga dan alat-alat yang diperlukan.
2. Menyiapkan laporan persiapan pelaksanaan pidana mati kepada jaksa agung oleh kejati/kejari.
3. Menyiapkan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan.
4. Memberitahukan kepada terpidana dan keluarganya tentang penolakan grasi dan pelaksanaan pidana mati tiga hari sebelum saat pelaksanaan dengan membuat berita acara (BA).
5. Memerhatikan ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati, yakni dilaksanakan dengan ditembak sampai mati dengan cara sesederhana mungkin dan tidak di muka umum dengan jalan:
1. Melakukan koordinasi dengan Polri untuk menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati serta tenaga dan alat-alat yang diperlukan.
2. Menyiapkan laporan persiapan pelaksanaan pidana mati kepada jaksa agung oleh kejati/kejari.
3. Menyiapkan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan.
4. Memberitahukan kepada terpidana dan keluarganya tentang penolakan grasi dan pelaksanaan pidana mati tiga hari sebelum saat pelaksanaan dengan membuat berita acara (BA).
5. Memerhatikan ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati, yakni dilaksanakan dengan ditembak sampai mati dengan cara sesederhana mungkin dan tidak di muka umum dengan jalan:
a. di depan regu tembak brimob
yang terdiri atas 12 tamtama, dipimpin seorang perwira dengan menggunakan
senjata nonorganic.
b. saat akan ditembak ditutup
dengan kain hitam mata terpidana
c. jarak tembak tidak lebih 10
meter dan tidak kurang 5 meter
d. isyarat pelaksanaan dilakukan
oleh komandan regu penembak dengan menggunakan pedang
e. saat diangkat ke atas berarti
perintah siap untuk menembak dengan membidik arah jantung
f. menyentakkan pedang ke bawah
secara cepat berarti perintah untuk menembak
g. bila ternyata belum mati,
komandan regu penembak memerintahkan bintara regu tembak untuk melepaskan
tembakan pada kepala tepat di atas telinga terpidana
h. dokter yang ikut serta yang
memastikan terpidana sudah mati memberikan surat keterangan kematian
6. Penguburan diserahkan kepada keluarga atau sahabatnya dengan membuat berita acara kecuali jaksa tinggi menentukan lain.
7. Membuat BA pelaksanaan hukuman mati yang tembusannya disampaikan ke MA, Menkeh, jaksa agung, jaksa agung muda yang bersangkutan, karo hukum, sekretaris negara, kajati, dan kapolda.
6. Penguburan diserahkan kepada keluarga atau sahabatnya dengan membuat berita acara kecuali jaksa tinggi menentukan lain.
7. Membuat BA pelaksanaan hukuman mati yang tembusannya disampaikan ke MA, Menkeh, jaksa agung, jaksa agung muda yang bersangkutan, karo hukum, sekretaris negara, kajati, dan kapolda.
Dari uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan menembak mati
terdakwa, dilaksanakan oleh satu regu penembak dengan menggunakan senjata
organik. Regu ini terdiri atas 12 tamtama yang dipimpin oleh seorang perwira.
Mengenai pelaksanaan pidana mati, sebenarnya sudah diatur
dalam Pasal 11 KUHP. Namun, cara pelaksanaan pidana mati menurut Pasal 11 KUHP,
yaitu dengan jalan menggantung terpidana oleh seorang algojo tidak dilaksanakan
lagi dewasa ini merupakan suatu sejarah tersendiri.
Han Bing Sion, menyatakan:[4]
Pelaksanaan pidana mati dengan jalan menggantung terpidana menurut ketentuan
Pasal 11 WvS (Wet Boek voor Nederlands Indie), itu berlangsung sampai tanggal 8
Maret 1942 ketika Pemeintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Dari Jepang
mengeluarkan suatu peraturan, yaitu Osamu Gunrei No. 1 Tahun 1942, yang
menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati dengan jalan menembak mati terpidana.
Secara yuridis, kedua cara yaitu menggantung dan menembak mati itu berlaku
paralel, karena peraturan Jepang tersebut mengandung hukum pidana materiil
pula, yaitu kejahatan terhadap kepentingan pendudukan militer Jepang. Jadi
Pasal 11 WvS masih berlaku juga untuk delik melanggar ketentuan WvS tersebut.
Pada waktu pendudukan Belanda sesudah Perang Dunia II usai,
berlaku Stb 1945 Nomor 123, yang menyatakan pelaksanaan pidana mati dengan
ditembak mati. Dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 yang dikeluarkan oleh RI
di Yogyakarta, maka yang dinyatakan berlaku adalah WvS voor Nederlands Indie,
dan namanya diubah menjadi Wetboek van Strafrecht atau disebut KUHP. Jadi,
dengan sendirinya berlaku Pasal 11 WvS tersebut, yang menyatakan pidana mati
dijalankan dengan cara digantung.[5]
Dengan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958, dinyatakan Nomor 1
Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia. Jadi, sejak 29 September 1958, pidana mati
seharusnya dilaksanakan dengan cara digantung menurut Pasal 11 WvS (KUHP) itu.
Pada tahun 1964 dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 No. 38 tanggal 27
April 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan
di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, dikeluarkan peraturan tentang tata
cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum dan militer. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa pelaksanaan
pidana mati dilakukan dengan ditembak mati. Jika tidak ditentukan lain oleh
Menteri Kehakiman, maka pidana mati dilaksanakan di suatu tempat dalam daerah
hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.[6]
Setelah mendengar nasihat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung
jawab untuk pelaksanaannya, Kepala Polisi Komisariat Daerah (sekarang: Kadapol)
tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, menentukan waktu dan tempat
pelaksanaan pidana mati. Kepala Polisi tersebutlah yang menjaga keamanan dan
menyediakan alat-alat yang diperlukan untuk pelaksanaan pidana mati. Kepala
Polisi bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa menghadiri pelaksanaan pidana
mati. Jaksa Tinggi/Jaksa bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Pelaksanaan
putusan pengadilan terhadap pidana penjara atau kurungan, antara lain:[7]
1. Menerima salinan putusan pengadilan dari panitera pengadilan negeri yang bersangkutan dalam waktu satu minggu untuk perkara biasa dan waktu dua minggu untuk perkara dengan acara singkat.
2. Kepala kejaksaan mengeluarkan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan dan menyerahkan terpidana pada lembaga permasyarakatan.
3. Menyerahkan terpidana pada lembaga pemasyarakatan.
4. Membuat laporan pelaksanaan.
1. Menerima salinan putusan pengadilan dari panitera pengadilan negeri yang bersangkutan dalam waktu satu minggu untuk perkara biasa dan waktu dua minggu untuk perkara dengan acara singkat.
2. Kepala kejaksaan mengeluarkan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan dan menyerahkan terpidana pada lembaga permasyarakatan.
3. Menyerahkan terpidana pada lembaga pemasyarakatan.
4. Membuat laporan pelaksanaan.
Berdasarkan prosedur pelaksanaan putusan pengadilan terhadap
pidana penjara atau kurungan pada poin 2, disebutkan bahwa kejaksaan negeri
mengeluarkan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan. Dengan
dikeluarkannya surat perintah tersebut maka jaksa segera menjalankan tugasnya
untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan. Kemudian, apabila
seorang terdakwa dipidana penjara atau kurungan yang jumlahnya lebih dari satu
putusan, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang
dijatuhkan lebih dahulu.[8]
Mengenai pelaksanaan putusan yang berupa pidana denda, KUHAP
hanya mengatur dalam 1 pasal saja, yaitu Pasal 273 ayat (1): "Jika putusan
pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu
satu bulan untuk membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan acara
pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi". Dalam ayat (2) pasal
tersebut, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama satu bulan.
Perlu diingat, bahwa jika dijatuhkan pidana denda dengan subsidair pidana
kurungan pengganti, terpidana dapat melunasi separuh dendanya dan separuhnya
lagi dijalani sebagai pidana kurungan.
Pelaksanaan putusan pidana denda dilaksanakan dalam waktu
satu bulan, kecuali apabila ada alasan yang mendesak, jaksa dapat memberi
kesempatan menunda pembayaran dengan satu bulan lagi. Akan tetapi, pemberian
waktu pembayaran denda tidak dimungkinkan pada putusan pidana dalam acara
pemeriksaan cepat, karena dalam putusan acara cepat pembayarannya harus segera
dilunasi. Apabila dalam putusan pidana tersebut juga menetapkan bahwa ada
barang bukti yang dirampas untuk dipegang negara dan tidak terikat sebagai
bukti perkara lain, jaksa menguasakan denda tersebut kepada kantor lelang
negara untuk dilelang dalam waktu tiga bulan, yang hasilnya dimasukkan ke kas
negara untuk dan atas nama jaksa.[9]
Adapun pelaksanaan putusan ganti rugi telah ditentukan dengan
tegas dalam Pasal 274 KUHAP, bahwa pelaksanaan atas suatu ganti rugi dilakukan
menurut tata cara putusan perdata. Apabila pengadilan menjatuhkan biaya perkara
dan ganti rugi kepada lebih dari satu orang terpidana, biaya perkara dan ganti
kerugian tersebut dibebankan kepada mereka bersamasama secara berimbang.[10]
Oleh karena pemanggilan saksi-saksi, ahli juru bahasa, dan
sebagainya untuk menghadap di persidangan dilakukan oleh jaksa, maka jelas
bahwa perhitungan ongkos perkara pidana itu ada pada jaksa dan hakim.
Perhitungan jaksa itu seharusnya diajukan dalam tuntutannya (requisitoir).
Dalam tuntutan itu, jaksa (penuntut umum) menuntut agar terpidana membayar
biaya perkara dengan jumlah tertentu, sesuai Pasal 197 ayat (11) KUHAP dan
Pasal 275 KUHAP. Walaupun KUHAP tidak menyebut bahwa beban biaya perkara itu
adalah pidana seperti HIR, namun karena tidak diatur pidana pengganti seperti
halnya dengan denda, maka biaya perkara tersebut menjadi piutang negara dan oleh
karena itu dapat dibebankan kepada terpidana atau ahli warisnya. Mengenai
pelaksanaan pidana perampasan barang bukti, jaksa mengusahakan benda tersebut
kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang,
yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.[11]
Ini pun dapat diperpanjang paling lama 3 bulan.
Selain perampasan, menurut Pasal barang bukti juga dapat
diputus untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan
lagi.[12]
Dalam hal ini pun, jaksa melaksanakannya dengan suatu berita acara perusakan
atau pemusnahan. Barang-barang yang mudah terbakar dimusnahkan dengan jalan
dibakar, sedangkan senjata tajam dibuang ke laut. Jika dijatuhkan pidana ganti
rugi sebagaimana dimaksud dalam ganti kerugian kepada pihak lain yang dirugikan
atau korban delik, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara perdata,
yaitu melalui juru sita. KUHAP hanya menyebut tentang biaya perkara tanpa
memperinci bagaimana perhitungannya dalam putusan, bagaimana cara yang
diharuskan kepada terpidana untuk membayar biaya perkara, dan bagaimana
menagihnya. Dua pasal yang menyebut biaya perkara itu, yang pertama di bagian
keputusan pengadilan dan yang lain di bagian pelaksanaan putusan.
Dalam KUHAP terdapat aturan mengenai apa yang harus dimuat
suatu putusan, yaitu: "surat putusan pemidanaan memuat ketentuan kepada
siapa biaya perkara dibebankan, dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti, dan
ketentuan mengenai barang bukti".[13]
Yang menjadi fokus di sini adalah mengenai pembebanan biaya perkara. Terdapat
juga ketentuan lain, yaitu Pasal 275 KUHAP, yang menyatakan bahwa apabila lebih
dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dan/atau ganti
kerugian dibebankan kepada mereka secara berimbang.
B. Hakim Pengawas dan Pengamat
1.
Pengertian
Hakim Pengawas dan Pengamat
Dalam proses peradilan pidana ada satu lembaga
yang aktif sesudah putusan dijatuhkan yaitu Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim
Wasmat). Hakim Wasmat ini ditujukan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan
Pengadilan yang dieksekusi Jaksa dan pelaksanaannya dalam Lembaga
Pemasyarakatan, karena dalam pelaksanaan putusan itu dapat terjadi tertindasnya
hak-hak terpidana atau narapidana, yaitu karena tindakan petugas dan yang
timbul dalam Lembaga Pemasyarakatan yang bersifat menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana Pasal 277 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan:[14]
(1) pada setiap pengadilan harus ada Hakim yang
diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan
pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan.
(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
yang disebut Hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk
paling lama dua (2) tahun.
Dengan
demikian, Hakim Wasmat adalah hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan dan diberi
tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan
terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
2.
Landasan
Yuridis Hakim Pengawas dan Pengamat
Hakim
Wasmat diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Bab XX Pasal 277 s/d 283 KUHAP mengenai
Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan, dan Surat Edaran
Mahkamah Agung R.I. No. 7 Tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim
Pengawas dan Pengamat.
3.
Tugas
dan Wewenang Hakim Pengawas dan Pengamat
Hakim Wasmat yang mempunyai tugas mengawasi dan
mengamati agar terdapat suatu jaminan bahwa putusan yang dijatuhkan Pengadilan
Negeri dilaksanakan sebagaimana mestinya (Pasal 280 ayat 1 KUHAP). Karena
pemidanaan bukanlah untuk menderitakan atau tindakan balas dendam atas
perbuatan narapidana melainkan pembinaan narapidana baik secara psikis maupun
pisik agar dapat atau siap kembali kedalam lingkungan masyarakat sebagai
manusia seutuhnya dan taat pada hukum.[15]
Mengingat inti pengertian”pengawasan” adalah
ditujukan pada Jaksa dan petugas lembaga pemasyarakatan, maka perincian tugas pengawasan
adalah sebagai berikut:
a.
Memeriksa dan menandatangani register
pengawasan dan pengamatan yang berada di kepaniteraan Pengadilan Negeri.
b.
Mengadakan checking on the spot paling sedikit
3 (tiga) bulan sekali ke lembaga pemasyarakatan untuk memeriksa kebenaran
berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani oleh Jaksa,
Kepala Lembaga Pemasyarakatan terpidana.
c.
Mengadakan observasi terhadap keadaan, suasana
dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung di dalam lingkungan tembok-tembok
lembaga, khususnya untuk menilai apakah keadaan lembaga pemasyarakat tersebut
sudah memenuhi pengertian bahwa “pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia”, mengamati
dengan mata kepala sendiri perilaku narapidana sehubungan dengan pidana yang
dijatuhkan kepadanya.
d.
Mengadakan wawancara dengan para petugas
pemasyarakatan (terutama para wali pembina narapidana-narapidana bersangkutan)
mengenai perilaku serta hasil-hasil pembinaan narapidana, baik kemajuan-kemajuan
yang diperoleh maupun kemunduran-kemunduran yang terjadi.
e.
Mengadakan wawancara langsung dengan para
narapidana mengenai hal ihwal perlakuan terhadap dirinya, hubungan-hubungan
kemanusiaan antara sesama mereka sendiri maupun dengan para petugas lembaga pemasyarakatan.
f.
Menghubungi Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan
Ketua Dewan Pembina Pemasyarakatan (DPP), dan jika dipandang perlu juga
menghubungi koordinator pemasyarakatan pada kantor wilayah Departemen Kehakiman
dalam rangka menukar saran pendapat dalam pemecahan suatu masalah, serta
berkonsultasi (dalam suasana koordinatif) mengenai perlakuan terhadap para
narapidana yang bersifat teknis, baik tata perlakuan di dalam tembok-tembok
lembaga maupun luarnya.
Mengingat inti pengertian” pengamatan” adalah
ditujukan pada masalah pengadilan sendiri sebagai bahan penelitian pembinaan
yang akan datang, maka perincian tugas pengamatan adalah sebagai berikut:
a.
Mengumpulkan data-data tentang perilaku
narapidana, yang dikategorikan berdasarkan jenis tindak pidananya (misalnya
pembunuhan, perkosaan dan sebagainya). Data-data mengenai perilaku narapidana
ini dapat berpedoman pada factor (antara lain): type dari perilaku tindak
pidana (misalnya untuk pertama kali melakukan tindak pidana, residivis dan
sebagainya), keadaan rumah tangganya (baik-baik, bobrok dan sebagainya),
perhatian keluarganya terhadap dirinya (besar sekali, kurang sebagainya),
keadaan lingkungannya (tuna susila dan sebagainya), catatan pekerjaannya
(penganggur dan sebagainya), catatan kepribadiannya (tenang, egosentris dan
sebagainya), jumlah teman-teman dekatnya (satu, dua, tiga orang atau lebih),
keadaan phychisnya dan lain-lain.
b.
Mengadakan evaluasi mengenai hubungan antara
perilaku narapidana tersebut dengan pidana yang dijatuhkan, apakah lamanya
pidana yang dijatuhkan terhadap narapidana dengan perilaku tertentu sudah tepat
(dalam arti cukup) melakukan pembinaan terhadap dirinya sehingga pada waktu
dilepaskan nanti, narapidana tersebut sudah dapat menjadi anggota masyarakat
yang baik dan taat pada hukum, data-data yang telah berkumpul dari tugas-tugas
yang telah terperinci tersebut di atas hendaknya dilaporkan secara tertulis
oleh hakim pengawas dan pengamat kepada Ketua Pengadilan Negeri paling sedikit
3 (tiga bulan sekali dengan tembusan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan,
Kepala Kejaksaan Negeri, Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung RI., Menteri
Kehakiman RI., dan Jaksa Agung RI. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri
meneruskan laporan tersebut pada Hakim-hakim yang telah memutus perkara
narapidana yang bersangkutan dapat mereka ketahui hal-hal yang berkaitan dengan
putusan mereka. Mengenai saran-saran hakim pengawas dan pengamat yang termuat
dalam laporannya itu, hendaknya Ketua Pengadilan Negeri ikut memintakan
perhatian untuk dilaksanakan yang bersangkutan, dan apabila dianggap perlu
meneruskannya kepada atasannya masing-masing.
Pelaksanaan tugas hakim pengawas dan pengamat
hanya ditujukan pada narapidana (tidak termasuk yang berasal dari putusan
Pengadilan Militer) yang menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan yang
terdapat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri di mana Hakim pengawas dan
pengamat yang bersangkutan bertugas. Ini berarti Wewenang Hakim pengawas dan
pengamat :[16]
mengawasi dan mengamati pelaksanaan
putusan-putusan dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri di mana ia bertugas, akan
tetapi dapat juga ia mengawasi/mengamati pelaksanaan putusan
Pengadilan-pengadilan Negeri lainnya. Namun ada kemungkinan seorang hakim
pengawas dan pengamat tidak mempunyai subyek pengawasan/pengamatan dikarenakan
dalam daerah hukum pengadilan negeri di tempat mana ia bertugas, tidak terdapat
lembaga pemasyarakatan.
4.
Tahap-tahap
Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat
Tahap-tahap pelaksanaan tugas pengawasan dan
pengamatan yang dilakukan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sebagai berikut:[17]
1.
Mula-mula Jaksa mengirim tembusan berita acara
pelaksanaan putusan penagdilan yang ditandatangani olehnya, kepada Kepala
Lembaga Pemasyarakatan, terpidana dan kepada Pengadilan yang memutus perkara
tersebut pada tingkat pertama (pasal 278 KUHAP)
2.
Panitera mencatat pelaksanaan tersebut dalam
register pengawasan dan pengamatan. Register tersebut wajib dibuat, ditutup dan
ditandatangani oleh panitera setiap hari kerja dan untuk diketahui dan
ditandatangani juga oleh Hakim pengawas dan pengamat (pasal 279 KUHAP)
3.
Hakim
pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa
putusan Pengadilan dilaksanakan semestinya. Hakim tersebut mengadakan
penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan serta pengaruh
timbale-balik antara perilaku narapidanan dan pembinaan narapidana oleh lembaga
pemasyarakatan. Pengamatan tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai
menjalani pidananya. Pengawasan dan pengamatan berlaku pula bagi pemidanaan
bersyarat (pasal 280 KUHAP)
4.
Atas
permintaan Hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan
menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku
narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan Hakim tersebut (pasal 281 KUHAP)
5.
Hakim dapat membicarakan dengan kepala lembaga
pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu. Hasil pengawasan dan
pengamatan dilaporkan oleh Hakim pengawas dan pengamat kepada ketua Pengadilan
secara berkala (Pasal 282 dan 283 KUHAP)[18]
Mekanisme
kerja hakim pengawas dan pengamat harus memenuhi tata cara yang praktis dan
pragmatis. la harus mampu mengumpulkan akta nyata berdasarkan keadaan yang
sebenarnya, jauh dari pencampuran opini subyektif. Hal ini perlu untuk mencegah
timbulnya kesimpulan yang menyesatkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Putusan pengadilan dalam perkara pidana berdasarkan KUHAP adalah pertama, pemidanaan (verodeling) apabila pengadilan atau hakim berpendapat bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Kedua, putusan bebas (vrijprak) dilaksanakan jika hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas perbuatan yang didakwakan. Ketiga, lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) jika hakim bependapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana.
2. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. Dapat dikatakan bahwa pejabat yang diberi wewenang melaksanakan putusan pengadilan adalah jaksa. Dengan demikian pada pundak jaksalah terdapat tanggung jawab pelaksanaan putusan pengadilan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan putusan pengadilan jaksa harus mengetahui dan memahami prosedur pelaksanaan putusan pengadilan guna memperlancar pelaksanaan putusan tersebut.
3. Keberadan Hakim Wasmat dimaksudkan untuk mengawasi dan mengamati pelaksanaan putusan hakim; dan dilaksanakan oleh hakim dengan masa jabatan dua tahun. Dalam prakteknya lembaga ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan
1. Putusan pengadilan dalam perkara pidana berdasarkan KUHAP adalah pertama, pemidanaan (verodeling) apabila pengadilan atau hakim berpendapat bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Kedua, putusan bebas (vrijprak) dilaksanakan jika hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas perbuatan yang didakwakan. Ketiga, lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) jika hakim bependapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana.
2. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. Dapat dikatakan bahwa pejabat yang diberi wewenang melaksanakan putusan pengadilan adalah jaksa. Dengan demikian pada pundak jaksalah terdapat tanggung jawab pelaksanaan putusan pengadilan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan putusan pengadilan jaksa harus mengetahui dan memahami prosedur pelaksanaan putusan pengadilan guna memperlancar pelaksanaan putusan tersebut.
3. Keberadan Hakim Wasmat dimaksudkan untuk mengawasi dan mengamati pelaksanaan putusan hakim; dan dilaksanakan oleh hakim dengan masa jabatan dua tahun. Dalam prakteknya lembaga ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan
B. Saran
1. Diharapkan dalam menetapkan
putusan pengadilan baik berupa pemidanaan, bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, hakim benar-benar mempertimbangkan 27 Lihat Pasal 197 ayat (1)
huruf i KUHAP. Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017 93 keseluruhan materi dalam
surat dakwaan jaksa serta fakta dan keadaan beserta alat bukti yang terungkap
di persidangan terutama mengenai fakta atau keadaan yang memberatkan atau
meringankan terdakwa.
2. Karena tanggungjawab
pelaksanaan putusan pengadilan berada di pundak jaksa, maka diharapkan dalam
pelaksanaan putusan dilaksanakan sesuai dengan prosedur pelaksanaan putusan
pengadilan guna memperlancar pelaksanaan putusanputusan pengadilan tersebut.
3. Pemerintah
perlu memberikan perhatian yang serius mengenai keberadaan Hakim Pengawas dan
Pengamat. Keberadaan Hakim Wasmat menjadi penting sebagai bentuk pemenuhan
peraturan perundang-undangan
[1] Lihat
Pasal 270 KUHAP.
[2] H.
Rusly Muhamad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: Citra Aditya
Bakti, hlm. 303.
[3] Ibid,
hlm. 304.
[4] Han Bing Siong. 1998. Cara Melaksanakan
Hukuman Mati. Jakarta: Dimar Sondang, hlm. 11.
[5] Ibid,
hlm. 12
[6] Lihat Pasal 2 ayat (1) PP RI No. 2 Tahun 1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di
Lingkungan Peradilan Umum dan Militer
[7] H.
Rusli Muhammad, Op.cit., hlm. 305-306.
[8] Lihat
Pasal 272 KUHAP.
[9] Lihat Pasal 273 ayat (3) KUHAP.
[10] Lihat Pasal 275 KUHAP.
[11] Lihat Pasal 273 ayat (3) KUHAP.
[12] Lihat Pasal 46 ayat (2) KUHAP.
[13] Lihat Pasal 197 ayat (1) huruf i KUHAP.
[15] Andi
Hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar
Grafika, hal.83.
[16]
Waluyadi. 2009. Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Madju,
hlm. 2-3.
[17] Martiman Prodjo Hamidjojo,
1982, Komentar Atas KUHAP, cet.ke-2, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.89
[18] M.Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan
dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan
Peninjauan Kembali) edisi kedua, cet,ke-5, Sinar Grafika, Jakarta, hal.243