Makalah Peminangan, Mahar Dan Akibat Hukumnya II
MAKALAH
PEMINANGAN, MAHAR DAN
AKIBAT HUKUMNYA
Disusun untuk pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam Jurusan Syariah
Disusun untuk pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam Jurusan Syariah
Sekolah Tinggi Agama Islam Darud Da’wah
Wal-Irsyad
Mangkoso Angkatan 2018
Oleh :
SEMESTER III
JURUSAN SYARIAH
MANGKOSO
KABUPATEN BARRU
2018
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah tuhan semesta alam yang menciptakan dunia ini dengan segala
isinya dan menjadikan manusia mempunyai akal untuk dapat berfikir melebihi
maklhuk-makhluk lain ciptaannya. Rasa syukur kami haturkan karena dengan rahmat
dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat
serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan dan kekasih kita Nabi Muhammad
Saw. Yang telah membimbing kita dari zaman jahiliyah menuju zaman Islam yang
terang benderang seperti sekarang ini.
Dan
ucapan terimah kasih yang sebesar-besarnya kepada rekan-rekan yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini. Makalah ini kami buat untuk memenuhi
tugas mata kuliah “Hukum Perdata Islam”
yang berjudul “PEMINANGAN, MAHAR DAN
AKIBAT HUKUMNYA”. Namun kami sangat sadar bahwa dalam penyusunan makalah
ini masih banyak kesalahan baik yang kami sengaja maupun tidak. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Mangkoso,
10 Oktober 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Peminangan dan Hal-hal yang berkaitan dengan Peminangan
B. Definisi
Mahar dan Hal-hal yang berkaitan dengan Mahar
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kita ketahui bahwa ketentuan hidup
berpasang-pasangan merupakan pembawaan naluriah manusia dan makhluk hidup
lainnya bahkan segala sesuatu yang diciptakan Allah Swt. berjodoh-jodoh. Hal
itu merupakan salah satu dari penyebab Islam menganjurkan kita untuk melakukan
perkawinan. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, dengan jalan
perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat
sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.
Khitbah merupakan pendahuluan
transaksi nikah menurut tradisi ahli syara’. Syari’at Islam menghendaki
pelaksanaan pranikah (peminangan) untuk menyingkap kecintaan kedua pasang
manusia yang akan mengadakan transaksi nikah, agar dapat membangun keluarga
yang didasarkan pada kecintaan yang mendalam. Dari keluarga inilah muncul
masyarakat yang baik yang dapat melaksanakan syariat Allah dan sendi-sendi
ajaran agama Islam yang lurus.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
Pengertian Peminangan dan Apa saja Hal-hal yang berkaitan dengan Peminangan ?
2.
Apa
Pengertian Mahar dan Apa saja Hal-hal yang berkaitan dengan Mahar ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui apa pengertian Peminangan dan Hal-hal yang berkaitan dengan
Peminangan.
2.
Untuk
mengetahui pengertian Mahar dan Hal-hal yang berkaitan dengan Mahar.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PEMINANGAN (KHITBAH)
1. Definisi
Peminangan
Khitbah atau “peminangan “ berasal
dari kata “pinang”, meminang” (kata kerja) . Meminang artinya
menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang
perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai.[1]
Meminang sinonimnya adalah melamar
yang dalam bahasa arab disebut “khitbah”. menurut etimologi meminang atau
melamar artinya “meminta wanita untuk dijadikan isteri (bagi diri sendiri atau
orang lain)”. Jadi Khitbah atu peminangan adalah suatu langkah pendahuluan
untuk melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita. Atau pula dapat
diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaanya untuk menikahi seorang
wanita yang halal dinikahi secara syara’. Adapun pelaksanaanya beragam;
adakalanya peminang itu sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan,
atau melalui keluarga, dan atau melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya
untuk meminta orang yang dikehendaki.
Peminangan
di Indonesia, diatur dalam KHI bab 1 (ketentuan umum) pasal 1a, dan bab III
tentang peminangan pasal 11-13. Definisi peminangan dijelaskan dalam bab 1
pasal 1a yaitu kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara
seorang pria dengan seorang wanita. Penjelasan bab tiga pasal 11-13 yaitu :
a.
Pasal 11 menjelaskan peminangan dapat dilakukan oleh orang
yang mencari pasangan, atau lewat orang perantara yang dipercaya.
b.
Pasal 12, ayat (1) menjelaskan bahwa peminangan dapat
dilakukan terhadap seorang wanita perawan atau janda yang habis masa iddahnya.
ayat (2-3) menjelaskan haram meminang wanita yang ditalak dalam masa iddah
raj’iah, dan meminang wanita yang sdang dipinang pria lain. Ayat (4)
menjelaskan tentang putusnya peminangan dari pihak laki-laki.
c.
Pasal 13 ayat (1-2) menjelaskan peminangan belum menimbulkan
akibat hukum, jadi masih bebas memutuskan pinangan tetapi harus sesuai dengan
agama dan adat setempat
2. Hukum Peminangan (Khitbah)
2. Hukum Peminangan (Khitbah)
Hukum
meminang adalah boleh (mubah). Adapun dalil yang memperbolehkannaya adalah :
“
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran, atau
kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, oleh karena itu janganlah kamu
mengadakan janji nikah dengan mereka dengan secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan kepada mereka perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam
(bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. .
(Al-Baqarah ayat 235).
3.
Karakteristik
Peminangan (Khitbah)
Di
antara hal yang disepakati mayoritas ulam fiqh, syariat, dan perundang-undangan
bahwa tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan menikah, belum ada akad nikah.
Karakteristik khitbah hanya semata berjanji akan menikah. Masing-masing calon
pasangan hendaknya mengembalikan perjanjian ini didasarkan pada pilihannya
sendiri karena mereka menggunakan haknya sendiri secara murni, tidak ada hak
intervensi orang lain.
Bahkan
andaikata mereka telah sepakat, kadar mahar dan bahkan mahar itu telah
diserahkan sekaligus, atau wanita terpinang telah menerima berbagai hadiah dari
peminang atau telah menerima hadiah yang berharga. Semua itu tidak menggeser
status janji semata (khitbah) dan dilakukan karena tuntutan maslahat. Maslahat
akan terjadi dalam akad nikah manakala kedua belah pihak diberikan kebebasan
yang sempurna untuk menentukan pilihannya, karena akad nikah adalah akad yang
menentukan kehidupan mereka. Di antara maslahat, yaitu jika dalam akad nikah
didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati kedua belah pihak, tidak ada
tekanan dan paksaan dari manapun.
4.
Hukum Memandang Wanita Terpinang
Syariat Islam memperbolehkan seorang
laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan
disunahkan karena pandangan peminang terhadap terpinang merupakan bagian dari
sarana keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman. Di antara dalil yang
menunjukkan bolehnya memandang wanita karena khitbah sebagaimana yang
diriwayatkan dari Nabi Saw. Kepada Al-Mughirah bin Syu’bah yang telah meminang
seorang wanita untuk dinikahi: “Apakah Anda telah melihatnya” Ia menjawab:
“Belum.” Beliau bersabda :
“Lihatlah ia, sesungguhnya penglihatan itu
lebih utama untuk mempertemukan antara Anda berdua”. (maksudnya menjaga kasih
sayang dan kesesuaian).
Dan Hadits Rasulullah Saw. Yang
artinya:
“Apabila
salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan maka tidak berhalangan
atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja melihatnya semata-mata untuk mencari
perjodohan, baik diketahui oleh perempuan itu atau tidak.”(Riwayat Ahmad).[2]
Syariat
Islam memperbolehkan pandangan terhadap wanita terpinang, padahal asalnya haram
memandang wanita yang lain yang bukan mahram. Hal ini didasarkan pada kondisi
darurat, yakni unsur keterpaksaan untuk melakukan hal tersebut karena masing
calon-calon pasangan memang harus mengetahui secara jelas permasalahan orang
yang akan menjadi teman hidup dan secara khusus perilakunya. Ia akan menjadi
bagian yang paling penting untuk keberlangsungan pernikahan, yakni anak-anak
dan keturunanya. Demikian juga diperbolehkan bagi masing-masing laki-laki dan
wanita memendang satu sama lain pada sebagian kondisi selain khitbah, seperti
pengobatan, menerima persaksian, dan menyampaikan persaksian. Hal tersebut
termasuk masalah pengecualian dari hukum asal keharaman pandangan laki-laki
terhadap wanita dan sebaliknya.
Anggota Tubuh Terpinang Yang
Boleh Dipandang
a.
Mayoritas fuqoha’ seperti Imam Malik, Asy-Syafi’I, dan Ahmad
dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang
yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah tempat
menghimpun segala kecantikan dan mengungkap banyak nilai-nilai kejiwaan,
kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua telapak tangan dijadikan indikator
kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya.
b.
Ulama Hanbali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang
anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang wanita mahram, yaitu apa
yang tampak pada wanita umumnya di saat bekerja di rumah seperti wajah, kedua
telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan sesamanya. Tidak boleh
memandang anggota tubuh yang pada umumnya tertutup. Adapun alasan mereka; Nabi
Saw. Tatkala memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa
sepengetahuannya. Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala yang
tampak pada umumnya.
c.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur madzhabnya
berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah,
kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota
tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya.
d.
Dawud Az-Zahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota
tubuh wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Saw.
“Lihatlah kepadanya.” Di sini Rosulullah tidak mengkhususkan suatu bagian bukan
bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
5.
Syarat Sah Peminangan (Khitbah)
a. Pasal 12 KHI mengatur tentang
syarat-syarat untuk meminang seorang wanita. pada prinsipnya peminangan dapat dilakukan
terhadap wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang habis masa
iddahnya.berikut rincian syarat wanita yang boleh dipinang adalah sebagai
berikut :
1. Wanita yang dipinang tidaklah istri
orang lain.
2. Wanita yang dipinang tidaklah dalam
pinangan laki-laki lain.
Rasulullah
saw bersabda yang artinya: “Seorang mu’min adalah saudara mu’min lainnya. Oleh
karena itu, ia tidak boleh membeli atau menawar sesuatu yang sudah dibeli/
ditawar saudaranya, dan dia tidak boleh meminang seseorang yang sudah dipinang
saudaranya, kecuali ia telah dilepaskannya”.(Mutaffaq alaih)[3]
3. Wanita yang dipinang tidak dalam
masa iddah Raj’i
Para fuqoha’ sepakat keharaman
meminang dalam masa tunggu (iddah) talak raj’i (suami boleh kembali kepada
istri karena talaknya belum mencapai ketiga kalinya) baik menggunakan bahasa
yang tegas (sharih) atau bahasa sindiran (kinayah). Sang istri yang tertalak
raj’I masih berstatus istri dan hak suami atas istri masih eksis selama masih
dalam masa iddah. Suami boleh ruju’ (kembali) tanpa minta kerelaan daripadanya
kapanpun, tidak perlu akad dan mahar baru selama masih berada dalam masa iddah.
4. Wanita dalam masa iddah suaminya
wafat, hanya boleh dengan sindiran (kinayah).
Fuqoha’ sepakat tidak boleh meminang
dengan jelas kepada wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian suami.
Hikmah adanya larangan tersebut pada umumnya dikarenakan dapat mendatangkan
berbagai bencana. Fuqoha’ juga sepakat diperbolehkannya meminang dengan
sindiran, hikmah diperbolehkannya sindiran dalam pinangan disini bahwa hubungan
antara suami dan istri telah selesai disebabkan kematian sehingga tidak ada
jalan menyatukan kembali antarmereka berdua. Oleh karena itu, tidak ada
permusuhan pada hak suami yang meninggal dalam pinangan sindiran.
5. Wanita dalam masa iddah bain sughra
boleh juga bekas suaminya dan Wanita dalam masa iddah bain kubra boleh di
pinang bekas suaminya , setelah kawin dengan laki-laki lain , di-dukhul dan
diceraikan.
Wanita yang tertalak ba’in sughra
dimaksud adalah wanita yang telah tercerai dua kali. Wanita yang telah tercerai
dua kali seperti ini halal bagi suami rujuk kembali dengan akad nikah dan mahar
baru dan tidak dipersyaratkan seperti talak bain qubra. Mantan suami pencerai
tidak boleh menikahi kembali mantan istrinya sebelum dinikahi laki-laki lain
sampai telah bercampur benar sebagai pasangan suami istri dan masing-masing
telah mencicipi madunya.
Mayoritas fuqoha’ berpendapat
keharaman melakukan pinangan sindiran terhadap wanita tersebut. Dikarenakan
dengan bolehnya pinangan bagi selain suami pencerai, akan menimbulkan
terjadinya permusuhan antara keduanya, sementara suami pencerai berhak kembali
dengan akad dan mahar baru dan lebih utama daripada yang lain.
b. Cara Mengajukan Pinangan
1.
Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya boleh
dinyatakan secara terang-terangan.
2.
Pinangan kepada janda yang masih dalam thalaq bain
atau
iddah ditinggal wafat suaminya tidak boleh dinyatakan secara
terang-terangan.
Allah
swt berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat : 235 yang artinya :
“Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”. (QS. Al-Baqarah: 235).[4]
6. Pemutusan
Pertunangan
Berbeda
halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut ajaran Islam,
misalnya karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan. Ditinjau
dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama sekali
tidak dapat dibenarkan.
Masalah
yang sering muncul adalah apabila dalam masa peminangan (biasanya pada waktu
peminangan) pihak laki-laki memberikan hadiah-hadiah pertunangan, atau mungkin
mahar (mas kawin) telah dibayarkan kepada pihak perempuan sebelum akad nikah
dilaksanakan.
Dalam masalah ini para fuqaha’ saling berbeda
pendapat, yaitu:
a. Fuqaha’ Syafi’iyah berpendapat bahwa peminang
berhak meminta kembali apa yang telah
diberikan kepada terpinang, jika barang yang diberikan kepada terpinang
masih utuh maka diminta apa adanya, dan jika barang itu sudah rusak atau sudah
habis (hilang) maka diminta kembali nilainya seharga barangnya, baik pembatalan
itu datang dari pihak laki-laki maupun perempuan.
b. Fuqaha’ Hanafi berpendapat bahwa barang-barang
yang diberikan oleh pihak peminang kepada pinangannya dapat diminta kembali
apabila barangnya masih utuh, apabila sudah berubah atau hilang, sudah dijual maka pihak
laki-laki sudah tidak berhak meminta kembali barang tersebut.
c. Fuqaha’ Maliki berpendapat bahwa apabila
barang itu datang dari pihak peminang maka barang-barang yang pernah diberikan
tidak boleh diminta kembali, baik pemberian itu masih utuh maupun sudah
berubah. Sebaliknya apabila pembatalan datang dari pihak yang dipinang maka
jika barang pemberian itu masih utuh atau sudah berubah maka boleh diminta.
Apabila barang rusak maka syarat dan adat itulah yang harus diikuti.[5]
d. Fuqaha’ Hanabilah dan sebagian fuqaha’ tabi’in
berpendapat bahwa pihak peminang tidak berhak dan tidak ada hak meminta kembali
barang-barang yang telah diberikan kepada terpinang, baik barang tersebut masih
utuh ataupun sudah berubah, karena menurut pendapat mereka bahwa pemberian
(hibah) tidak boleh diminta kembali kecuali pemberian seorang ayah kepada
anaknya.[6]
Perbedaan tersebut terjadi dikarenakan tidak
adanya dalil-dalil yang menunjukkan permasalahan ini dalam satu segi, dan dalam
segi lain memang ada kebolehan membatalkan peminangan karena sebab-sebab yang
rasional dan dibenarkan syara’. Akan tetapi jika timbul permasalahan maka lebih
baik diadakannya musyawarah untuk mencapai perdamaian, sesuai dengan hal-hal
yang diperbolehkan oleh syara’. Firman Allah SWT.:
“Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir”. (QS. An-Nisa’: 128).
Dengan demikian dapat diserasikan antara
tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga dapat terbina kerukunan dan
saling menghargai satu sama lain.
7.
Hikmah
disyariatkan Peminangan
Akad nikah merupakan prosesi yang
amat agung dan sakral dalam islam karena dengan akad nikah ini menjadikan
halalnya hubungan keduanya , dimana sebelumnya diharamkan oleh syara’. Dengan
di lakukan peminangan, maka calon suami dan istri akan saling kenal mengenal
untuk mendorong ke jenjang pernikahan.
B. MAHAR
1.
Definisi
Mahar
Mahar
dalam bahasa Arab, shadaq. Asalnya isim masdar dari kata ashdaqa, masdarnya
ishdaq diambil dari kata shidqin (benar). Dinamakan shadaq memberikan arti
benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau mas kawin.
Pengertian
mahar menurut syara’ adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur atau
keluputan yang dilakukan secara terpaksa seperti menyusui dan ralat para
saksi.
Di
dalam KHI masalah mahar juga telah di jelaskan yang terdapat pada BAB V
Tentang Mahar Pasal 30 sampai dengan pasal 38, diantara pasalnya yakni:
a. Pasal 30 menjelaskan bahwan calon
mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah,
bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah pihak.
b. Pasal 31, penentuan mahar
berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh agama Islam.
c. Pasal 32 Mahar diberikan langsung
kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu milik pribadinya. dst
Menurut
Sayid sabiq dalam bukunya fiqih Sunnah juga menjelaskan bahwa hak suami
terhadap istrinya:
a. Hak kebendaan, yaitu mahar dan
nafkah.
b. Hak rohaniah, deperti melakikannya
dengan adil jika duami berpoligami dan tidak boleh membahayakan istri.
Para fuqoha berbeda dalam status
mahar, apakah sebagai pengganti pemanfaatan suami terhadap organ vital wanita
atau ia sebagai penghormatan dan pemberian dari Allah? Al-Bajuri telah
mengkompromikan dua pendapat ini yang pada intinya, orang yang melihat lahirnya
mahar sebagai imbalan pemanfaatan alat seks wanita mengatakan mahar sebagai
kompensasi pemanfaatan alat seks wanita tersebut. Bagi yang melihat substansi
dan batin bahwa sang istri bersenang-senang pada suami sebagaimana sang suami
juga bersenang-senang pada istrinya, mahar dijadikan sebagai penghormatan dan
pemberian dari Allah yang dikeluakan suami untuk mendapatkan cinta dan kasih
sayang antara pasangan suami istri.
2.
Syarat
Sah Mahar
a.
Mahar merupakan barang berharga.
b.
Barang merupakan barang yang suci dan dapat diambil manfaat.
c.
Tidak ada kesamaran, seperti mahar berupa hasil panen kebun
pada tahun yang akan datang.
d.
Bukan barang ghasab
e.
Mahar dimiliki dengan pemilikan sempurna.
f.
Mahar mampu diserahkan.
3.
Dalil
disyariatkan Mahar
Telah
terkumpul banyak dalil tentang pensyariatan mahar dan hukumnya wajib. Suami,
istri, dan para wali tidak mempunyai kekuasaan mempersyaratkan akad nikah tanpa
mahar.Dalil kewajiban mahar dari Al-Qur’an adalah firman Allah SWT. Yang
artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan”. (QS. An-Nisa’ : 4)
Dan Dalil sunnahnya adalah sabda Nabi Saw.
Kepada orang yang hendak menikah yang artinya : “Carilah walaupun cincin besi”.
(HR. Muslim)
4.
Ukuran Mahar
Fuqoha
sepakat bahwa mahar tidak memiliki ukuran batas yang harus dilakukan dan tidak
boleh melebihinya. Ukuran mahar diserahkan kepada kemampuan suami sesuai dengan
pandangan yang sesuai. Tidak ada dalam syara’ atau dalil yang membatasi mahar
sampai tinggi dan tidak boleh melebihinya. Sekalipun fuqoha sepakat bahwa tidak
ada batas maksimal dalam mahar, tetapi seyognyanya tidak berlebihan, khususnya
di era sekarang.
Ulama
Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat tidak ada batas
minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai materi, baik
sedikit maupun banyak.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa minimal sesuatu yang layak dijadikan mahar adalah
seperempat dinar emas atau tiga dirham perak. Menurut madzhab Hanafiyah, yang
diamalkan dalam ukuran minimal mahar adalah 10 dirham. Ukuran ini sesuai dengan
kondisi ekonomi yang berlaku.
5.
Benda yang layak dijadikan Mahar
Fuqoha
sepakat bahwa harta yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh karena
itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas, dan lain-lain sah
dijadikan mahar karena ia bernilai material dalam pandangan syara’. Sebagaimana
pula mereka sepakat bahwa sesuatu yang tidak sah untuk dijadikan mahar seperti
babi, bangakai, dan khamr.
6.
Macam-macam Mahar
Mahar ada du macam yakni:
a.
Mahar Musamma yang Disebutkan
Maksudnya
adalah mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun
setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa
menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan
kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar.
Mahar musamma di bagi menjadi dua
macam yakni :
1.
Mahar Mu’ajjal yaitu mahar yang segera diberikan kepada
isterinya.
2.
Mahar Mu-ajjal yaitu mahar atau maskawin yang ditangguhkan
pemberiannya kepada istri.
Ulama
sepakat bahwa dalam pelaksanaan mahar musamma, harus diberikan secara penuh
apabila :
1.
Telah bercampur (bersenggama)
2.
Salah satu dari suami isteri meninggal. Demikian menurut
ijma’ para fuqaha.
b.
Mahar Mitsil (mahar yang sama)
Maksudnya
adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa menyebutkan mahar
dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika
menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung dan saudara
perempuan tunggal bapak.
7.
Hikmah disyariatkan Mahar
Mahar
disyari’atkan Allah Swt. untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan
bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu,
Allah mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu
berusaha.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
pasal 13 sendiri dibahas tentang akibat hukum suatu peminangan. “hukum” yang
dimaksud dalam pasal 13 ayat 1 adalah hukum atau hubungan antara laki-laki yang
meminang dengan perempuan yang dipinang adalah “orang asing” dan tidak
menimbulkan akibat hukum yang mengikat. Namun, di dalamnya terdapat hukum
sebagaimana yang tertulis dalam pasal 12 (peraturan pinangan) ayat 3 yaitu
tidak boleh meminang wanita yang masih dalam pinangan orang lain, selama
pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
Disisis lain, dalam pasal 12 poin 1 yang berbunyi “peminangan dapat dilakukan
terhadap seorang yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa
iddahnya.” Dalam pasal ini tidak disebutkan bahwa wanita yang ditinggal mati
oleh suaminya namun masih dalam masa iddah, boleh dilamar namun harus dengan
cara kinayah (sindiran) tidak boleh menggunakan cara yang shorih (jelas).
Begitu juga dengan seorang wanita yang menjalani masa iddah dari talaq ba’in
dalam bentuk fasakh atau talaq tiga boleh dipinang namun dengan cara sindiran.
Pengertian
mahar menurut syara’ adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur atau
keluputan yang dilakukan secara terpaksa seperti menyusui dan ralat para
saksi.
Di
dalam KHI masalah mahar juga telah di jelaskan yang terdapat pada BAB V
Tentang Mahar Pasal 30 sampai dengan pasal 38, Menurut Sayid sabiq dalam
bukunya fiqih Sunnah juga menjelaskan bahwa hak suami terhadap istrinya:
1. Hak kebendaan, yaitu mahar dan
nafkah.
2. Hak rohaniah, seperti melakukannya
dengan adil jika suami berpoligami dan tidak boleh membahayakan istri.
B.
Saran
Demikian
makalah yang dapat kami sajikan. Dengan harapan, semoga dapat bermanfaat bagi
kita semua. Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami perlukan demi perbaikan
untuk penyusunan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Muhammad Azzam. Fiqh Munakahat. Jakarta: AMZAH, 2009.
A.
Ghozali. Fiqih
Munakahat. Semarang: Diktat Fakultas Syariah IAIN WS.
Ahmad, Hadi Mufa’at. Fiqih Munakahat. Duta Grafika, 1992.
Ahmad Azhar Basyir. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII
Press, 1999.
Al-Hamdani. Risalah Nikah. Pekalongan: Raja Murah, 1980.
Baharuddin Ahmad dan Yuliatin. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta:
Gaung Persada Press, 2014.
Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. Ke-2, Jakarta; Balai Pustaka,
1994.
Dept. Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1989.
Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islam wa Adzilatu. Juz 7, Beirut: t. th.
[1] Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 1999), h. 138.
[2] A. Ghozali, Fiqih Munakahat (Semarang: Diktat Fakultas Syariah IAIN WS), h. 71.
[3] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adzilatuhu, Juz. VII
(Beirut: t. th), h. 16.
[4]Dept. Agama Ri, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1989), h. 429.
[5] Al-Hamdani, Risalah Nikah (Pekalongan: Raja Murah, 1980), h. 21.
[6] Hadi Mufa’at Ahmad, Fiqih Munakahat (Duta Grafika, 1992), h.
54.