Makalah Peminangan, Mahar Dan Akibat Hukumnya II


MAKALAH
PEMINANGAN, MAHAR DAN AKIBAT HUKUMNYA
Disusun untuk pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam Jurusan Syariah
Sekolah Tinggi Agama Islam Darud Da’wah Wal-Irsyad
Mangkoso Angkatan 2018
Oleh :


SEMESTER III
JURUSAN SYARIAH

MANGKOSO KABUPATEN BARRU
2018
KATA PENGANTAR
 


Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam yang menciptakan dunia ini dengan segala isinya dan menjadikan manusia mempunyai akal untuk dapat berfikir melebihi maklhuk-makhluk lain ciptaannya. Rasa syukur kami haturkan karena dengan rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan dan kekasih kita Nabi Muhammad Saw. Yang telah membimbing kita dari zaman jahiliyah menuju zaman Islam yang terang benderang seperti sekarang ini.
Dan ucapan terimah kasih yang sebesar-besarnya kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Perdata Islam” yang berjudul “PEMINANGAN, MAHAR DAN AKIBAT HUKUMNYA”. Namun kami sangat sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kesalahan baik yang kami sengaja maupun tidak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Mangkoso, 10 Oktober 2019
Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Peminangan dan Hal-hal yang berkaitan dengan Peminangan
B.     Definisi Mahar dan Hal-hal yang berkaitan dengan Mahar
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Kita ketahui bahwa ketentuan hidup berpasang-pasangan merupakan pembawaan naluriah manusia dan makhluk hidup lainnya bahkan segala sesuatu yang diciptakan Allah Swt. berjodoh-jodoh. Hal itu merupakan salah satu dari penyebab Islam menganjurkan kita untuk melakukan perkawinan. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.
Khitbah merupakan pendahuluan transaksi nikah menurut tradisi ahli syara’. Syari’at Islam menghendaki pelaksanaan pranikah (peminangan) untuk menyingkap kecintaan kedua pasang manusia yang akan mengadakan transaksi nikah, agar dapat membangun keluarga yang didasarkan pada kecintaan yang mendalam. Dari keluarga inilah muncul masyarakat yang baik yang dapat melaksanakan syariat Allah dan sendi-sendi ajaran agama Islam yang lurus.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Peminangan dan Apa saja Hal-hal yang berkaitan dengan Peminangan ?
2.      Apa Pengertian Mahar dan Apa saja Hal-hal yang berkaitan dengan Mahar ?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa pengertian Peminangan dan Hal-hal yang berkaitan dengan Peminangan.
2.      Untuk mengetahui pengertian Mahar dan Hal-hal yang berkaitan dengan Mahar.

BAB II
PEMBAHASAN
A.     PEMINANGAN (KHITBAH)
1.      Definisi Peminangan
Khitbah atau “peminangan “ berasal dari kata “pinang”, meminang” (kata kerja) . Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai.[1] Meminang sinonimnya adalah melamar yang dalam bahasa arab disebut “khitbah”. menurut  etimologi meminang atau melamar artinya “meminta wanita untuk dijadikan isteri (bagi diri sendiri atau orang lain)”. Jadi Khitbah atu peminangan adalah suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita. Atau pula dapat diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaanya untuk menikahi seorang wanita yang halal dinikahi secara syara’. Adapun pelaksanaanya beragam; adakalanya peminang itu sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan, atau melalui keluarga, dan atau melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya untuk meminta orang yang dikehendaki.
Peminangan di Indonesia, diatur dalam KHI bab 1 (ketentuan umum) pasal 1a, dan bab III tentang peminangan pasal 11-13. Definisi peminangan dijelaskan dalam bab 1 pasal 1a yaitu kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Penjelasan bab tiga pasal 11-13 yaitu :
a.       Pasal 11 menjelaskan peminangan dapat dilakukan oleh orang yang mencari pasangan, atau lewat orang perantara yang dipercaya.
b.      Pasal 12, ayat (1) menjelaskan bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita perawan atau janda yang habis masa iddahnya. ayat (2-3) menjelaskan haram meminang wanita yang ditalak dalam masa iddah raj’iah, dan meminang wanita yang sdang dipinang pria lain. Ayat (4) menjelaskan tentang putusnya peminangan dari pihak laki-laki.
c.       Pasal 13 ayat (1-2) menjelaskan peminangan belum menimbulkan akibat hukum, jadi masih bebas memutuskan pinangan tetapi harus sesuai dengan agama dan adat setempat
2.      Hukum Peminangan (Khitbah)
Hukum meminang adalah boleh (mubah). Adapun dalil yang memperbolehkannaya adalah :
“ Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran, atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, oleh karena itu janganlah kamu mengadakan janji nikah dengan mereka dengan secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kepada mereka perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. . (Al-Baqarah ayat 235).

3.      Karakteristik Peminangan (Khitbah)
Di antara hal yang disepakati mayoritas ulam fiqh, syariat, dan perundang-undangan bahwa tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan menikah, belum ada akad nikah. Karakteristik khitbah hanya semata berjanji akan menikah. Masing-masing calon pasangan hendaknya mengembalikan perjanjian ini didasarkan pada pilihannya sendiri karena mereka menggunakan haknya sendiri secara murni, tidak ada hak intervensi orang lain.
Bahkan andaikata mereka telah sepakat, kadar mahar dan bahkan mahar itu telah diserahkan sekaligus, atau wanita terpinang telah menerima berbagai hadiah dari peminang atau telah menerima hadiah yang berharga. Semua itu tidak menggeser status janji semata (khitbah) dan dilakukan karena tuntutan maslahat. Maslahat akan terjadi dalam akad nikah manakala kedua belah pihak diberikan kebebasan yang sempurna untuk menentukan pilihannya, karena akad nikah adalah akad yang menentukan kehidupan mereka. Di antara maslahat, yaitu jika dalam akad nikah didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati kedua belah pihak, tidak ada tekanan dan paksaan dari manapun.
4.      Hukum Memandang Wanita Terpinang
Syariat Islam memperbolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan disunahkan karena pandangan peminang terhadap terpinang merupakan bagian dari sarana keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman. Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya memandang wanita karena khitbah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Kepada Al-Mughirah bin Syu’bah yang telah meminang seorang wanita untuk dinikahi: “Apakah Anda telah melihatnya” Ia menjawab: “Belum.” Beliau bersabda :   
 “Lihatlah ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan antara Anda berdua”. (maksudnya menjaga kasih sayang dan kesesuaian).
Dan Hadits Rasulullah Saw. Yang artinya:
“Apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan maka tidak berhalangan atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja melihatnya semata-mata untuk mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan itu atau tidak.”(Riwayat Ahmad).[2]
Syariat Islam memperbolehkan pandangan terhadap wanita terpinang, padahal asalnya haram memandang wanita yang lain yang bukan mahram. Hal ini didasarkan pada kondisi darurat, yakni unsur keterpaksaan untuk melakukan hal tersebut karena masing calon-calon pasangan memang harus mengetahui secara jelas permasalahan orang yang akan menjadi teman hidup dan secara khusus perilakunya. Ia akan menjadi bagian yang paling penting untuk keberlangsungan pernikahan, yakni anak-anak dan keturunanya. Demikian juga diperbolehkan bagi masing-masing laki-laki dan wanita memendang satu sama lain pada sebagian kondisi selain khitbah, seperti pengobatan, menerima persaksian, dan menyampaikan persaksian. Hal tersebut termasuk masalah pengecualian dari hukum asal keharaman pandangan laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya.
 Anggota Tubuh Terpinang Yang Boleh Dipandang
a.       Mayoritas fuqoha’ seperti Imam Malik, Asy-Syafi’I, dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan mengungkap banyak nilai-nilai kejiwaan, kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua telapak tangan dijadikan indikator kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya.
b.      Ulama Hanbali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang wanita mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita umumnya di saat bekerja di rumah seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan sesamanya. Tidak boleh memandang anggota tubuh yang pada umumnya tertutup. Adapun alasan mereka; Nabi Saw. Tatkala memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuannya. Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala yang tampak pada umumnya.
c.       Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur madzhabnya berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya.
d.      Dawud Az-Zahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Saw. “Lihatlah kepadanya.” Di sini Rosulullah tidak mengkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
5.      Syarat Sah Peminangan (Khitbah)
a.       Pasal 12 KHI mengatur tentang syarat-syarat untuk meminang seorang wanita. pada prinsipnya peminangan dapat dilakukan terhadap wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang habis masa iddahnya.berikut rincian syarat wanita yang boleh dipinang adalah sebagai berikut :
1.      Wanita yang dipinang tidaklah istri orang lain.
2.      Wanita yang dipinang tidaklah dalam pinangan laki-laki lain.
Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Seorang mu’min adalah saudara mu’min lainnya. Oleh karena itu, ia tidak boleh membeli atau menawar sesuatu yang sudah dibeli/ ditawar saudaranya, dan dia tidak boleh meminang seseorang yang sudah dipinang saudaranya, kecuali ia telah dilepaskannya”.(Mutaffaq alaih)[3]
3.      Wanita yang dipinang tidak dalam masa iddah Raj’i
Para fuqoha’ sepakat keharaman meminang dalam masa tunggu (iddah) talak raj’i (suami boleh kembali kepada istri karena talaknya belum mencapai ketiga kalinya) baik menggunakan bahasa yang tegas (sharih) atau bahasa sindiran (kinayah). Sang istri yang tertalak raj’I masih berstatus istri dan hak suami atas istri masih eksis selama masih dalam masa iddah. Suami boleh ruju’ (kembali) tanpa minta kerelaan daripadanya kapanpun, tidak perlu akad dan mahar baru selama masih berada dalam masa iddah.
4.      Wanita dalam masa iddah suaminya wafat, hanya boleh dengan sindiran (kinayah).
Fuqoha’ sepakat tidak boleh meminang dengan jelas kepada wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian suami. Hikmah adanya larangan tersebut pada umumnya dikarenakan dapat mendatangkan berbagai bencana. Fuqoha’ juga sepakat diperbolehkannya meminang dengan sindiran, hikmah diperbolehkannya sindiran dalam pinangan disini bahwa hubungan antara suami dan istri telah selesai disebabkan kematian sehingga tidak ada jalan menyatukan kembali antarmereka berdua. Oleh karena itu, tidak ada permusuhan pada hak suami yang meninggal dalam pinangan sindiran.
5.      Wanita dalam masa iddah bain sughra boleh juga bekas suaminya dan Wanita dalam masa iddah bain kubra boleh di pinang bekas suaminya , setelah kawin dengan laki-laki lain , di-dukhul dan diceraikan.
Wanita yang tertalak ba’in sughra dimaksud adalah wanita yang telah tercerai dua kali. Wanita yang telah tercerai dua kali seperti ini halal bagi suami rujuk kembali dengan akad nikah dan mahar baru dan tidak dipersyaratkan seperti talak bain qubra. Mantan suami pencerai tidak boleh menikahi kembali mantan istrinya sebelum dinikahi laki-laki lain sampai telah bercampur benar sebagai pasangan suami istri dan masing-masing telah mencicipi madunya.
Mayoritas fuqoha’ berpendapat keharaman melakukan pinangan sindiran terhadap wanita tersebut. Dikarenakan dengan bolehnya pinangan bagi selain suami pencerai, akan menimbulkan terjadinya permusuhan antara keduanya, sementara suami pencerai berhak kembali dengan akad dan mahar baru dan lebih utama daripada yang lain.
b.      Cara Mengajukan Pinangan
1.      Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya boleh dinyatakan secara terang-terangan.
2.      Pinangan kepada janda yang masih dalam thalaq bain atau  iddah ditinggal wafat suaminya tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan.
Allah swt berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat : 235 yang artinya :
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”.  (QS. Al-Baqarah: 235).[4]
6.      Pemutusan Pertunangan
Berbeda halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut ajaran Islam, misalnya karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan. Ditinjau dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Masalah yang sering muncul adalah apabila dalam masa peminangan (biasanya pada waktu peminangan) pihak laki-laki memberikan hadiah-hadiah pertunangan, atau mungkin mahar (mas kawin) telah dibayarkan kepada pihak perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan. 
Dalam masalah ini para fuqaha’ saling berbeda pendapat, yaitu:
a.       Fuqaha’ Syafi’iyah berpendapat bahwa peminang berhak meminta kembali apa yang telah  diberikan kepada terpinang, jika barang yang diberikan kepada terpinang masih utuh maka diminta apa adanya, dan jika barang itu sudah rusak atau sudah habis (hilang) maka diminta kembali nilainya seharga barangnya, baik pembatalan itu datang dari pihak laki-laki maupun perempuan.
b.      Fuqaha’ Hanafi berpendapat bahwa barang-barang yang diberikan oleh pihak peminang kepada pinangannya dapat diminta kembali apabila barangnya masih utuh, apabila sudah berubah  atau hilang, sudah dijual maka pihak laki-laki sudah tidak berhak meminta kembali barang tersebut.
c.       Fuqaha’ Maliki berpendapat bahwa apabila barang itu datang dari pihak peminang maka barang-barang yang pernah diberikan tidak boleh diminta kembali, baik pemberian itu masih utuh maupun sudah berubah. Sebaliknya apabila pembatalan datang dari pihak yang dipinang maka jika barang pemberian itu masih utuh atau sudah berubah maka boleh diminta. Apabila barang rusak maka syarat dan adat itulah yang harus diikuti.[5]
d.      Fuqaha’ Hanabilah dan sebagian fuqaha’ tabi’in berpendapat bahwa pihak peminang tidak berhak dan tidak ada hak meminta kembali barang-barang yang telah diberikan kepada terpinang, baik barang tersebut masih utuh ataupun sudah berubah, karena menurut pendapat mereka bahwa pemberian (hibah) tidak boleh diminta kembali kecuali pemberian seorang ayah kepada anaknya.[6]
Perbedaan tersebut terjadi dikarenakan tidak adanya dalil-dalil yang menunjukkan permasalahan ini dalam satu segi, dan dalam segi lain memang ada kebolehan membatalkan peminangan karena sebab-sebab yang rasional dan dibenarkan syara’. Akan tetapi jika timbul permasalahan maka lebih baik diadakannya musyawarah untuk mencapai perdamaian, sesuai dengan hal-hal yang diperbolehkan oleh syara’. Firman Allah SWT.:Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir”. (QS. An-Nisa’: 128).
Dengan demikian dapat diserasikan antara tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga dapat terbina kerukunan dan saling menghargai satu sama lain.
7.      Hikmah disyariatkan Peminangan
Akad nikah merupakan prosesi yang amat agung dan sakral dalam islam karena dengan akad nikah ini menjadikan halalnya hubungan keduanya , dimana sebelumnya diharamkan oleh syara’. Dengan di lakukan peminangan, maka calon suami dan istri akan saling kenal mengenal untuk mendorong ke jenjang pernikahan.


B.     MAHAR
1.      Definisi Mahar
Mahar dalam bahasa Arab, shadaq. Asalnya isim masdar dari kata ashdaqa, masdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin (benar). Dinamakan shadaq memberikan arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau mas kawin.
Pengertian mahar menurut syara’ adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara terpaksa seperti menyusui dan ralat para saksi. 
Di dalam KHI masalah mahar juga telah di jelaskan yang terdapat pada BAB V  Tentang Mahar Pasal 30 sampai dengan pasal 38, diantara pasalnya yakni:
a.       Pasal 30 menjelaskan bahwan calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah pihak.
b.      Pasal 31, penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh agama Islam.
c.       Pasal 32 Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu milik pribadinya. dst
Menurut Sayid sabiq dalam bukunya fiqih Sunnah juga menjelaskan bahwa hak suami terhadap istrinya:
a.       Hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah.
b.      Hak rohaniah, deperti melakikannya dengan adil jika duami berpoligami dan tidak boleh membahayakan istri.
Para fuqoha berbeda dalam status mahar, apakah sebagai pengganti pemanfaatan suami terhadap organ vital wanita atau ia sebagai penghormatan dan pemberian dari Allah? Al-Bajuri telah mengkompromikan dua pendapat ini yang pada intinya, orang yang melihat lahirnya mahar sebagai imbalan pemanfaatan alat seks wanita mengatakan mahar sebagai kompensasi pemanfaatan alat seks wanita tersebut. Bagi yang melihat substansi dan batin bahwa sang istri bersenang-senang pada suami sebagaimana sang suami juga bersenang-senang pada istrinya, mahar dijadikan sebagai penghormatan dan pemberian dari Allah yang dikeluakan suami untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang antara pasangan suami istri.
2.      Syarat Sah Mahar
a.       Mahar merupakan barang berharga.
b.      Barang merupakan barang yang suci dan dapat diambil manfaat.
c.       Tidak ada kesamaran, seperti mahar berupa hasil panen kebun pada tahun yang akan datang.
d.      Bukan barang ghasab
e.      Mahar dimiliki dengan pemilikan sempurna.
f.        Mahar mampu diserahkan.
3.      Dalil disyariatkan Mahar
Telah terkumpul banyak dalil tentang pensyariatan mahar dan hukumnya wajib. Suami, istri, dan para wali tidak mempunyai kekuasaan mempersyaratkan akad nikah tanpa mahar.Dalil kewajiban mahar dari Al-Qur’an adalah firman Allah SWT. Yang artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”. (QS. An-Nisa’ : 4)
 Dan Dalil sunnahnya adalah sabda Nabi Saw. Kepada orang yang hendak menikah yang artinya : “Carilah walaupun cincin besi”. (HR. Muslim)
4.      Ukuran Mahar
Fuqoha sepakat bahwa mahar tidak memiliki ukuran batas yang harus dilakukan dan tidak boleh melebihinya. Ukuran mahar diserahkan kepada kemampuan suami sesuai dengan pandangan yang sesuai. Tidak ada dalam syara’ atau dalil yang membatasi mahar sampai tinggi dan tidak boleh melebihinya. Sekalipun fuqoha sepakat bahwa tidak ada batas maksimal dalam mahar, tetapi seyognyanya tidak berlebihan, khususnya di era sekarang.
Ulama Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat tidak ada batas minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai materi, baik sedikit maupun banyak.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa minimal sesuatu yang layak dijadikan mahar adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak. Menurut madzhab Hanafiyah, yang diamalkan dalam ukuran minimal mahar adalah 10 dirham. Ukuran ini sesuai dengan kondisi ekonomi yang berlaku.
5.      Benda yang layak dijadikan Mahar
Fuqoha sepakat bahwa harta yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh karena itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas, dan lain-lain sah dijadikan mahar karena ia bernilai material dalam pandangan syara’. Sebagaimana pula mereka sepakat bahwa sesuatu yang tidak sah untuk dijadikan mahar seperti babi, bangakai, dan khamr.
6.      Macam-macam Mahar
Mahar ada du macam yakni:
a.       Mahar Musamma yang Disebutkan
Maksudnya adalah mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar.
Mahar musamma di bagi menjadi dua macam yakni :
1.    Mahar Mu’ajjal yaitu mahar yang segera diberikan kepada isterinya.
2.    Mahar Mu-ajjal yaitu mahar atau maskawin yang ditangguhkan pemberiannya kepada istri.
Ulama sepakat bahwa dalam pelaksanaan mahar musamma, harus diberikan secara penuh apabila :
1.      Telah bercampur (bersenggama)
2.      Salah satu dari suami isteri meninggal. Demikian menurut ijma’ para fuqaha.
b.      Mahar Mitsil (mahar yang sama)
Maksudnya adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa menyebutkan mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan tunggal bapak.
7.      Hikmah disyariatkan Mahar
Mahar disyari’atkan Allah Swt. untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha.


 BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dalam pasal 13 sendiri dibahas tentang akibat hukum suatu peminangan. “hukum” yang dimaksud dalam pasal 13 ayat 1 adalah hukum atau hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang adalah “orang asing” dan tidak menimbulkan akibat hukum yang mengikat. Namun, di dalamnya terdapat hukum sebagaimana yang tertulis dalam pasal 12 (peraturan pinangan) ayat 3 yaitu tidak boleh meminang wanita yang masih dalam pinangan orang lain, selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita. Disisis lain, dalam pasal 12 poin 1 yang berbunyi “peminangan dapat dilakukan terhadap seorang yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.” Dalam pasal ini tidak disebutkan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya namun masih dalam masa iddah, boleh dilamar namun harus dengan cara kinayah (sindiran) tidak boleh menggunakan cara yang shorih (jelas). Begitu juga dengan seorang wanita yang menjalani masa iddah dari talaq ba’in dalam bentuk fasakh atau talaq tiga boleh dipinang namun dengan cara sindiran.
Pengertian mahar menurut syara’ adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara terpaksa seperti menyusui dan ralat para saksi. 
Di dalam KHI masalah mahar juga telah di jelaskan yang terdapat pada BAB V  Tentang Mahar Pasal 30 sampai dengan pasal 38, Menurut Sayid sabiq dalam bukunya fiqih Sunnah juga menjelaskan bahwa hak suami terhadap istrinya:
1.      Hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah.
2.      Hak rohaniah, seperti melakukannya dengan adil jika suami berpoligami dan tidak boleh membahayakan istri.
B.     Saran
Demikian makalah yang dapat kami sajikan. Dengan harapan, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami perlukan demi perbaikan untuk penyusunan makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Muhammad Azzam. Fiqh Munakahat. Jakarta: AMZAH, 2009.
A.    Ghozali. Fiqih Munakahat. Semarang: Diktat Fakultas Syariah IAIN WS.
Ahmad, Hadi Mufa’at. Fiqih Munakahat. Duta Grafika, 1992.
Ahmad Azhar Basyir. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press, 1999.
Al-Hamdani. Risalah Nikah. Pekalongan: Raja Murah, 1980.
Baharuddin Ahmad dan Yuliatin. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Gaung Persada Press, 2014.
Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. Ke-2, Jakarta; Balai Pustaka, 1994.
Dept. Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1989.
Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islam wa Adzilatu. Juz 7, Beirut: t. th.



[1] Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 1999), h. 138.
[2] A. Ghozali, Fiqih Munakahat (Semarang: Diktat Fakultas Syariah IAIN WS), h. 71.
[3] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adzilatuhu, Juz. VII (Beirut: t. th), h. 16.
[4]Dept. Agama Ri, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1989), h. 429.
[5] Al-Hamdani, Risalah Nikah (Pekalongan: Raja Murah, 1980), h. 21.
[6] Hadi Mufa’at Ahmad, Fiqih Munakahat (Duta Grafika, 1992), h. 54.


Iklan Atas Artikel

Adnow April 22

Adnow April 22

Iklan Bwah Artikel (Adnow)