Makalah Peminangan, Mahar, Dan Akibat Hukumnya
MAKALAH
Peminangan, Mahar, Dan Akibat
Hukumnya
Disusun Oleh;
Hamba Allah
Diajukan Untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Hukum Perdata Islam
Program Studi Al
Ahwalus Syakhsiyah Jurusan Syariah
Perguruan Tinggi STAI
DDI Mangkoso.
KABUPATEN BARRU
2019
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana atas limpahan rahmat, hidayah serta inayah Nya sehingga
kami
dapat menyelesaikan tugas makalah ini tanpa suatu
halangan yang berarti. Tidak lupa sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjunan Nabi besar Muhammad SAW.
Adapun tujuan dari
penyusunan makalah kami ini ”Hukum Perdata Islam” dengan membahas mengenai apakah Peminangan,
Lamaran atau Khitbah itu, juga tentang persoalan Mahar serta akibat hukum suatu khitbah. Dengan membuat tugas ini kami harapkan mampu
menerapkan
serta mengembangkan perihal tersebut ditengah-tengah masyarakat.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik selanjutnya. Dan semoga
dengan hadirnya makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca sekalian.
Mangkoso, 10 Oktober 2019
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Peminangan
B.
Pengertian Mahar
C.
Akibat Hukum Peminangan
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Keritik Dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai
makhluk yang paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki
jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar
untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia
diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan
yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan
sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia. Di antara potensi kehidupan
tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang di antaranya pula adalah
naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis
(gharizatu nawu). Naluri ini merupakan dorongan yang muncul pada diri manusia
ketika adanya stimulan dari luar.
Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah
(manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam
rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang
mulia, maka Allah SWT menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus
diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh
Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan
masalah yang satu ini. Di antaranya adalah pengaturan mengenai khitbah
(meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang muslim.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan peminangan ?
2.
Apakah yang dimaksud dengan mahar ?
3.
bagaimana akibat hokum meminag ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
meminang, melamar atau khitbah
Peminangan berasal dari kata “pinang” dengan
kata kerja meminang. Sinonim meminang adalah melamar yang dalam bahasa Arab
disebut dengan khitbah. Kata "khitbah" ini merupakan bentuk masdar
dari kata خطب yang berarti meminang
atau melamar. Secara etimologi, khitbah, meminang atau melamar
artinya meminta wanita untuk dijadikan istri.[1]
Sementara untuk pengertian istilah sebagai
berikut:
1.
Dalam KHI pasal
1 (a), khitbah ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan
antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau, seorang laki-laki meminta
kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum
berlaku ditengah-tengah masyarakat.
2.
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dijelaskan bahwa khitbah
artinya lamaran atau pinangan, yaitu lamaran seorang laki-laki yang hendak
memperistri seorang perempuan, baik perempuan itu masih gadis atau sudah janda.
Dalam hal ini pinangan bisa dilakukan oleh
pihak laki-laki maupun wanita sesuai dengan adat yang berlaku pada masyarakat
atau lingkungan mereka tinggal.[2]
3.
Ulama Kontemporer, Wahbah az-Zuhailiy mengatakan bahwa khitbah adalah
pernyataan keinginan dari seorang lelaki untuk menikah dengan wanita tertentu,
lalu pihak wanita memberitahukan hal tersebut pada walinya. Adakalanya pernyataan keinginan tersebut
disampaikan dengan bahasa jelas dan tegas (sharih) atau dapat juga dilakukan
dengan sindiran (kinayah).[3]
4.
Menurut Sayyid Sabiq, meminang dimaksudkan sebagai permintaan
seorang laki-laki kepada wanita, untuk diperkenankan dipilih menjadi seorang
istri bagi pihak yang meminta dengan tradisi umum yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat.[4]
5.
Menurut Abu Zahrah, khitbah adalah permohonan seorang laki-laki
atas kesediaan seorang wanita tertentu untuk diperistri, yang diajukan kepada
wanita itu sendiri atau kepada kuasanya (wali) dengan penjelasan-penjelasan
yang dimaksud.[5]
Jika kita disimpulkan Meminang artinya
menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang
perempuan baik laki-laki itu sendiri ataupun melalui perantaraan seseorang yang
dipercayai dengan ketentuan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat.
B. Pengertian Mahar
Yang dimaksud dengan mahar adalah
maskawin, yaitu suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan
disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi
laki-laki, walaupun mahar ini bukan termasuk syarat atau rukun nikah.
Mahar dalam suatu pernikahan
dianggap penting, karena selain memang diwajibkan oleh agama, ia juga merupakan
tanda kesungguhan dan penghargaan dari pihak laki-laki sebagai calon suami
kepada calon istrinya.[6]
Allah swt berfirman:
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةًۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةًۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا
Artinya:
“Berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan
kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 4).[7]
Maskawin itu menjadi milik
sepenuhnya si istri. Suami tidak mempunyai hak apapun atas harta maskawin itu.
Sebagaimana juga tidak berhak atas harta benda si Istri. Apabila si istri
merelakannya kepada suami hal itu tidak mengapa.[8]
Cara pembayaran maskawin dapat
dilakukan dengan dua cara, pertama, pembayaran dilakukan secara tunai (cash)
dan kedua pembayaran dilakukan di hari kemudian (utang, credit). Dalam
kasus mahar yang dibayar di kemudian hari, mahar boleh disebutkan kuantitas dan
kualitasnya dalam akad perkawinan, juga kuantitas dan kualitas boleh tidak
disebutkan.[9]
Akan tetapi apabila telah terjadi
hubungan seksual antara suami istri atau suami meninggal dan belum terjadi
hubungan seksual , maskawin wajib dibayar seluruhnya. Tetapi Imam Malik
berpendapat apabila suami meninggal sebelum terjadi hubungan seksual, tidak
wajib membayar maskawin. Dalam keadaan begini, menurut Malik, istrinya menerima
waris saja.[10]
Apabila suami menceraikan
istrinya yang belum dicampuri, jika maharnya sudah ditentukan besarnya, maka
mantan suami wajib membayar separuhnya. Akan tetapi apabila belum ditentukan
besarnya maka mantan suami tidak wajib membayarnya melainkan wajib membayar
mut’ah. Mut’ah ialah pemberian mantan suami kepada mantan istrinya yang dicerai
sebagai kenang-kenangan dan penghibur baginya.[11]
Allah swt berfirman dalam surat
Al-Baqarah 236-237:
لَّا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا۟ لَهُنَّ فَرِيضَةًۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلْمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلْمُقْتِرِ قَدَرُهُۥ مَتَٰعًۢا بِٱلْمَعْرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُحْسِنِينَ وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
لَّا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا۟ لَهُنَّ فَرِيضَةًۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلْمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلْمُقْتِرِ قَدَرُهُۥ مَتَٰعًۢا بِٱلْمَعْرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُحْسِنِينَ وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Tidak ada kewajiban
membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan. Jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan
itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang
yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa.
dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
melihat segala apa yang kamu kerjakan.”[12]
C. Akibat Hukum Khitbah
Khitbah adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului perkawinan
dan menurut biasanya setelah itu dilakukanlah perkawinan. Namun khitbah itu
bukanlah suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang meminng
atau perempuan yang dipinang dalam masa menjelang perkawinan dapat saja
membatalkan khitbah tersebut. meskipun demikian, pemutusan khitbah itu
dilakukan secara baik dan tidak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang
dilakukan dalam acara khitbah itu tidak mempunyai kaitan apa-apa dengan mahar
perkawinan. Dengan demikian, pemberian tersebut dapat diambil kembali bila
khitbah itu tidak berlanjut.[13]
Hubungan antara laki-laki yang
meminang dengan perempuan yang dipinangnya selama masa antara khitbah dan
perkawinan itu adalah sebagaimana hubungan laki-laki dan perempuan asing. Oleh
karena itu belum berlaku hak dan kewajiban diantara keduanya.
UU Perkawinan sama sekali tidak
membicarakan khitbah. Menegenai akibat hukum suatu khitbah dijelaskan dalam
pasal 13 KHI sebagai berikut;
1.
Pinangan atau khitbah belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan khitbah.
2.
Kebebasan memutuskan hubungan
khitbah atau peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan
tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan
saling menghargai.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Peminangan
adalah proses pernyataan ingin membina rumah tangga antara dua orang, lelaki
dan perempuan, yang dilakukan sebelum pernikahan. Baik melalui wali ataupun
secara langsung.
·
mahar adalah maskawin, yaitu suatu pemberian dari pihak
laki-laki kepada pihak perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian
mahar ini hukumnya wajib bagi laki-laki.
Oleh karena itu,meminang dan
mahar adalah sangat berkaitan erat bila mana seseorang yang sudah memenuhi
syarat untuk menikah maka sepatutnya dia melihat pinangannya dan menyiapkan
maharnya (mengadakan kesepakatan).
·
UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan khitbah. Menegenai
akibat hukum suatu khitbah dijelaskan dalam pasal 13 KHI.
B. Kritik Dan Saran
Penulis
tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak kesalahan
dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahroh, Muhammad. al-Ahwalu Asyakhsiah, Mesir:
Darul Fikri al-Arobi, 1957.
al-Zuhaily,
Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1984),
juz III, hal. 10. (File PDF).
Daradjat, Zakiah. Ilmu Fiqih jilid 2, Yoyakarta:
Dana Bakhti Wakaf, 1995.
Djedjen Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih
Madrasah Aliyah Kelas XI,
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Edisi
tahun 2002.
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Edisi
tahun 2002.
Jaih Mubarak, Modifikasi Hukum Islam studi tentang Qawl
Qadim dan Qawl Jadid, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2002.
Muchtar, Kamal. Asas-asas
Hukum Islam tentang Perkawinan, Cet. I, Jakarta : Bulan Bintang, 1974.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Alih Bahasa, Moh Thalib, Bandung: Pt. Al
– Ma’arif, 1990.
Tim Penyusun
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1992.
Warson Munawir,
Ahmad. Kamus Arab Indonesia, Surabaya:Pustaka Progressif, 1997.
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih jilid 2.
Zainudin dan Mundzier Suparta, Djedjen. Fiqih
Madrasah Aliyah Kelas XI.
[2] Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah,
Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992), hal. 555-556.
[3] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1984), juz III, hal. 10. (File PDF)
[4] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih Bahasa,
Moh Thalib, (Bandung: Pt. Al – Ma’arif, 1990), hal. 31.
[5] Muhammad Abu Zahroh, al-Ahwalu Asyakhsiah,
(Mesir: Darul Fikri al-Arobi, 1957), hal. 19. (File PDF)
[9] Jaih Mubarak, Modifikasi
Hukum Islam studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2002), hal. 257.
[13] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam
tentang Perkawinan, Cet. I, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hal. 28.