makalah tentang shalat berjamaah
SHALAT
BERJAMA’AH
Diajukan sebagai Tugas dalam Mata Kuliah Fiqh Ibadah II
Program Studi al-Akhwalus Syakhsyiah
Fakultas Syariah
Disusun Oleh:
ASYRAF
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUD DAKWAH WAL IRSYAD
(STAI-DDI) MANGKOSO KABUPATEN BARRU
TAHUN AKADEMIK 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, atas
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Shalat Berjama’ah”. Penulisan
makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah” Fiqh
Ibadah II”
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen kami dalam hal ini Muhammad
Agus,S.Th.I.,M.Th.I. yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Mangkoso,
15 maret 2017
Penulis
Asyraf leader
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang............................................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah....................................................................................... 3
II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Shalat Berjama’ah............................................................. 4
B.
Pandangan
Ulama Beserta Dalil-dalilnya tentang Hukum Shalat Berjamaah....8
C.
Hikmah
yang Terkandung dalam Pelaksanaan Shalat Berjamaah............. 14
III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................ 17
B. Saran.......................................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam
merupakan agama yang memiliki aturan-aturan dan ajaran-ajaran yang lengkap dan
sempurna. Kelengkapan dan kesempurnaan ajaran-ajarannya dapat dilihat dalam
berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi perhatian Islam
tidak hanya aspek kehidupan yang berhubungan langsung dengan Allah SWT sebagai
Dzat Pencipta dan satu satunya Dzat yang wajib disembah (habl min Allah) akan
tetapi aspek kehidupan itu juga meliputi hubungan sesama manusia (habl min
al-nas).
Dalam
hubungan secara langsung dengan Allah SWT, Islam telah memberikan tata cara
khusus yang harus dilakukan oleh umat Islam. Tata cara yang mengatur hubungan
langsung dengan Allah SWT secara khusus adalah shalat. Sebagai ibadah madhah,
shalat merupakan satu-satunya ibadah langsung yang dapat menjembatani hubungan
batin manusia dengan Allah SWT, hubungan makhluk dengan penciptanya. Dan bahkan
karena urgennya, sampai-sampai Rasulullah SAW dalam menerima titah shalat ini
harus diisra’-mi’rajkan, Rasulullah secara langsung bertemu dengan Allah SWT,
beliau diperintah oleh Allah SWT untuk melaksanakan shalat dan juga kepada
umatnya.
Sedangkan
dalam hubungan sesama manusia, Islam pun juga telah memberikan tata cara khusus
yang harus dilakukan oleh umat Islam, diantaranya dengan berdakwah, sebagaimana
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada zamannya yang membuahkan keberhasilan
dalam persatuan yang sangat besar. Salah satu cara menumbuhkan persatuan
tersebut adalah dengan shalat berjama’ah. Kecintaan mereka, disiplin dan
keikhlasan mereka dalam menunaikan shalat berjama’ah telah menumbuhkan semangat
persatuan dan keberanian yang tinggi diantara mereka. di sisi lain hubungan
silaturahmi yang penuh kasih sayang semangat erat terjalin diantara mereka.
Sehingga gambaran umat Islam yang bagaikan dua jari yang dieratkan benar-benar
nampak di zaman itu.
Dalam
hal disiplin dan kecintaan mereka dalam shalat berjama’ah kita dapati di dalam
salah satu riwayat bahwa seorang sahabat yang sudah uzur dan tuna netra setiap
hari beliau shalat berjama’ah ke masjid walaupun jaraknya tidak bisa dibilang
dekat, diceritakan bahwa sahabat tersebut meminta keringanan Rasulullah saw
untuk beliau khusus untuk shalat subuh shalat di rumah saja. Rasulullah saw
mengizinkan, tetapi baru beberapa langkah Rasulullah saw meralat bahwa sahabat
tersebut tetap menunaikan shalat berjama’ah di Masjid. Betapa tingginya
semangat dan disiplin yang terbentuk waktu itu. Bisa kita bayangkan seandainya
di Masjid Istiqlal, setiap umat Islam yang berada di dalam radius beberapa
kilometer dari Masjid - menunaikan ibadah shalat berjama’ah di Masjid lima kali
sehari, maka mesjid tersebut mungkin tidak akan mampu menampung, dan kitapun
bisa membayangkan dampak persatuan, kecintaan dan kebaikan akan lebih terbentuk
di dalam masyarakat. Dan lebih luas lagi musuh-musuh Islam yang melihat tentu
akan gentar melihat persatuan Islam yang terbentuk dari hal yang paling
mendasar sekali.
Shalat
berjamaah termasuk salah satu keistimewaan yang di berikan dan di syariatkan
secara khusus bagi umat Islam. Berjamaah mengandung nilai-nilai pembiasaan diri
untuk patuh, bersabar, berani, dan tertib aturan, di samping nilai sosial untuk
menyatukan hati dan menguatkan ikatan karena semakin shaleh dan taatnya
seseorang pada agama dan bentuk-bentuk peribadatan, tentu hal itu akan membawa
seseorang akan semakin saleh secara sosial, karena itu adalah tuntutan pasti
dari Islam. Jadi Shalat berjama’ah
adalah hal yang harus selalu kita perhatikan, tidak sekedar kita menganggap
untuk kepentingan pribadi kita, tidak sekedar untuk memenuhi masjid tetapi
lebih dari itu adalah kita harus menumbuhkan persatuan Islam, persatuan dalam
bermasyarakat dan persatuan dalam beragama.
Berkenaan dengan urgensi shalat berjama’ah
bagi persatuan umat islam, maka kami menyusun sebuah makalah yang mampu menjadi
wahana bagi umat islam untuk memperoleh wawasan dan konsep keilmuan berkenaan
dengan shalat berjama’ah ini baik secara teoritis maupun secara praktis. Oleh
sebab itu, kami menulis sebuah makalah yang berjudul “Shalat Berjama’ah”.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian shalat berjamaah?
2.
Bagaimana
pandangan ulama beserta dalil-dalilnya tentang hukum shalat berjamaah?
3.
Pesan
moril atau hikmah apa sajakah yang terkandung dalam pelaksanaan shalat
berjamaah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Shalat Berjamaah
Istilah
Al-Jama’ah berarti berkumpul. Shalat berjama’ah adalah shalat yang dilakukan
oleh dua orang atau lebih secara bersama sama dan salah satu diantara mereka
diikuti oleh orang lain. Orang yang diikuti dinamakan imam. Orang yang
,mengikuti dinamakan makmum. Pengertian tersebut menunjukan bahwa shalat yang
dilakukan secara bersama-sama itu tidak mesti merupakan shalat berjamaah,
karena bisa jadi tidak dimaksudkan untuk mengikuti(berniat makmum) pada salah
seorang diantara mereka. Kenyataan seperti ini biasanya kita jumpai di mushala
atau masjid pada tempat tempat transit. Misalnya, di masjid terminal atau
stasiun, banyak orang yang shalat, tetapi tidak menjadikan salah seorang
diantara mereka untuk menjadi imam.Shalat dengan cara seperti ini tentu bukan termasuk
shalat berjamaah, karenanya tidak memperoleh keutamaan- keutamaannya.
Diantara dalil tentang disyariatkannya shalat berjamaah adalah di
antaranya;
…مَعَكَ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ فَلْتَقُمْ الصَّلاةَ لَهُمُ
فَأَقَمْتَ فِيهِمْ كُنْتَ وَإِذَا
Terjemahnya:
“Dan apabila kamu (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka
(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu...”
(QS.An-Nissa’:102)
الرَّاكِعِينَ مَعَ
وَارْكَعُوا الزَّكَاةَ وَآتُوا الصَّلَاةَ وَأَقِيمُوا
Terjemahnya:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqarah : 43)
Berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Abu Hurairah
Artinya:
“Shalat seorang laki-laki
dengan berjama’ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama
(dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian
itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya lalu keluar dari
rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat
berjama’ah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan
ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahannya. Apabila dia
melaksanakan shalat, maka Malaikat akan turun untuk mendo’akannya selama dia
masih berada di tempat shalatnya, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah
dia’. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama
dia menanti pelaksanaan shalat.” (HR.
Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 649).
Dia
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda Dari Abu Musa;
Artinya:
“Manusia paling besar pahalanya dalam shalat adalah yang paling
jauh perjalannya, lalu yang selanjutnya. Dan seseorang yang menunggu shalat hingga
melakukannya bersama imam, lebih besar pahalanya daripada yang melakukannya
(sendirian) kemudian tidur.” (HR.
Muslim no. 662)”.
Dia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: Dari Abu Ad-Darda`
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا
بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ
الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَة فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ
الْقَاصِيَةَ
Artinya:
“Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan
shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka.
Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya srigala itu
hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).”(HR. Abu Daud no. 547, An-Nasai no. 838, dan sanadnya dinyatakan
hasan oleh An-Nawawi dalam Riyadh Ash-Shalihin no. 344)”.
Dari Ibnu Umar -radhiallahu anhuma-, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
صَلَاة الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ
دَرَجَةً مِنْ أَفْضَلُ الْجَمَاعَةِ صَلَاةُ
Artinya:
“Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada
shalat sendirian.” (HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 650)
Penjelasan
ringkas:
Shalat
berjamaah menghimpun individu masyarakat muslim lima kali dalam satu hari dalam
ketaatan, kedisiplinan, kecintaan, persaudaraan dan persatuan di hadapan Allah
Yang Maha Tinggi dan Maha Besar, realita seperti ini lebih nampak daripada
sekedar bekumpulnya orang untuk melaksanakan shalat berjamaah. Sungguh, dia
adalah metode yang cocok untuk membangun hubungan sosial, sebab dengan shalat
berjamaah akan tercabut perasaan negatif, egois, dan terisolasi, shalat
berjama'ah mengangkat mereka dari kesibukan, ikatan dan kalalaian hidup, dimana
masjid mengumpulkan mereka dan mengakrabkan hati-hati mereka, maka shalat
berjamaah adalah taman pendidikan harian untuk membina keakraban,
persamaan, persatuan dan kasih sayang.
Karena
besarnya urgensi shalat berjamaah bagi keumuman lingkungan kaum muslimin dan
bagi setiap individu yang ada di dalamnya, Allah Ta’ala menjanjikan untuknya
pahala yang besar dan Rasulullah senantiasa memotifasi untuk mengerjakannya.
Dan beliau juga mengabarkan bahwa shalatnya seseorang secara berjamaah jauh
lebih utama daripada shalat sendirian dan bahwa shalat berjamaah merupakan
sebab terjaganya kaum muslimin dari setan. Keutamaan yang pertama untuk
individu dan yang kedua untuk masyarakat kaum muslimin.
B.
Pandangan Ulama Beserta Dalil-dalilnya tentang Hukum Shalat Berjamaah
Para
ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat berjamaah sehingga terpolar
menjadi beberapa pendapat di antaranya fardhu ain, sunnah mu’akkad, dan fardhu
kifayah. namun pendapat yang kuat
–Wallohu A’lam.
Adapun
yang mengatakan fardhu ain dikarenakan dalil-dali yang mereka paparkan begitu
banyak dan kuat sekali, diantaranya:
Berdasarkan
dalil Al-Qur’an ;
Allah
berfirman,
وَإِذَا كُنتَ
فِيهِمۡ
فَأَقَمۡتَ
لَهُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَلۡتَقُمۡ
طَآئِفَةٞ
مِّنۡهُم
مَّعَكَ وَلۡيَأۡخُذُوٓاْ
أَسۡلِحَتَهُمۡۖ
فَإِذَا سَجَدُواْ فَلۡيَكُونُواْ
مِن وَرَآئِكُمۡ
وَلۡتَأۡتِ
طَآئِفَةٌ
أُخۡرَىٰ
لَمۡ
يُصَلُّواْ فَلۡيُصَلُّواْ
مَعَكَ وَلۡيَأۡخُذُواْ
حِذۡرَهُمۡ
وَأَسۡلِحَتَهُمۡۗ
وَدَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَوۡ تَغۡفُلُونَ
عَنۡ
أَسۡلِحَتِكُمۡ
وَأَمۡتِعَتِكُمۡ
فَيَمِيلُونَ عَلَيۡكُم مَّيۡلَةٗ
وَٰحِدَةٗۚ وَلَا
جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ
إِن كَانَ بِكُمۡ أَذٗى
مِّن مَّطَرٍ أَوۡ كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ
أَن تَضَعُوٓاْ أَسۡلِحَتَكُمۡۖ
وَخُذُواْ حِذۡرَكُمۡۗ
إِنَّ ٱللَّهَ أَعَدَّ لِلۡكَٰفِرِينَ
عَذَابٗا
مُّهِينٗا
١٠٢
Terjemahnya:
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu
hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari
mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila
mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat),
maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan
hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka
denganmu ( QS. An Nisa’ 102)
Ayat
ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu
ain bukan hanya sunnah atau fardhu kifayah, Seandainya hukumnya sunnah
tentu keadaan takut dari musuh adalah udzur yang utama. Juga bukan fardhu
kifayah karena Alloh menggugurkan kewajiban berjamaah atas rombongan kedua
dengan telah berjamaahnya rombongan pertama. (Kitab Sholah hal. 138, Ibnu
Qoyyim)
Al Alamah As- Sinqithi berkata dalam Adwaul Bayan 1/216, “ayat ini
merupakan dalil yang sangat jelas tentang wajibnya shalat berjamaah.
Allah
berfirman ;
الرَّاكِعِينَ مَعَ
وَارْكَعُوا الزَّكَاةَ وَآتُوا الصَّلَاةَ وَأَقِيمُوا
Terjemahnya:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta
orang-orang yang ruku’ (QS. Al-Baqarah: 43)
Imam
Ibnu katsir berkata dalam tafsirnya 1/162, ”Mayoritas ulama berdalil dengan ayat ini tentang wajibnya
wajibnya shalat berjamaah.
Berdasarkan
hadist Rasulullah ;
Dari
Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di
tanganNya, sungguh aku berkeinginan untuk memerintahkan dengan kayu bakar lalu
dibakar, kemudian aku memerintahkan agar adzan dikumandangkan. Lalu aku juga
memerintah seorang untuk mengimami manusia, lalu aku berangkat kepada kaum
laki-laki (yang tidak shalat) dan membakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari
644 dan Muslim 651).
Imam
Bukhari membuat bab hadits ini “Bab Wajibnya Shalat Berjamaah”. Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata, “hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa shalat
Rasulullah mengancam orang yang meninggalkannya dengan acaman bakar seperti
itu.” (Fathul Bari 2/125).
Ibnu
Mudzir juga mengatakan serupa, “Dalam hadits ini terdapat keterangan yang
sangat jelas tentang wajibnya shalat berjamaah, sebab tidak mungkin Rasulullah
mengancam seorang yang meninggalkan suatu perkara sunnah yang bukan wajib.”
(Dinukil Ibnu Qoyyim dalam kitan Sholah hal. 136).
Ibnu
Daqiq Al-I’ed berkata, “Para ulama yang berpendapat fardhu ain berdalil dengan
hadits ini, sebab jika hukumnya fardhu kifayah tentunya telah gugur dengan
perbuatan Rasulullah dan para sahabat yang bersamanya. Dan seandainya hukunya
sunnah tentu pelanggarnya tidak dibunuh. Maka jelaslah bahwa hukunya adalah
fardhu ain. (ikamul Ahkam I/164)
Dari
Abu Hurairah berkata, “Ada seorang buta datang kepada Rasulullah seraya berkata, “Ya
Rasulullah, tidak ada seorang yang menuntunkuke masjid, adakah keringanan
bagiku?” Jawab Nabi, “Ya.” Ketika orang itu berpaling, Rasulullah bertanya,
“Apakah kamu mendengar adzan?” Jawab orang itu, “Ya.” Kata Nabi selanjutnya,
“kalau begitu penuhilah.” (HR . Muslim 653).
Ibnu
Qudamahberkata dalam Al-Mughni2/130, “Kalau nabi saja tidak memberi keringanan
kepada orang buta yang tidak ada penuntun baginya maka selainya tentu lebih
utama.”
Al-Khoththobi
berkata dalam Ma’alim Sunnah I/160-161, “Dalam hadits ini tekandung dalil bahwa
menghadiri shalat berjamaah adalah wajib. Seandainya hukumnya sunnah niscaya
orang yang paling berhak mendapatkan udzur adalah kaum lemah seperi Ibnu Ummi
Maktum.”
Berdasarkan perkataan sahabat ;
Abdullah
bin Mas’ud berkata, “Barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah pada hari
kiamat dalam keadaan muslim, maka hendaknya dia menjaga shalat fardhu dan
memenuhi panggilannya, karena hal itu temasuk jalan-jalan petunjuk. Allah telah
mensyaratkan jalan-jalan petunjuk kepada nabi kalian. Seandainya kalian shalat
di rumah kalian masing-masing sungguh kalian telah meninggalkan sunnah nabi
kalian, niscaya kalian tersesat.
Sungguh
tak seorangpun yang berwudhu dengan sempurna lalu pergi ke masjid kecuali Allah
akan menulis atas setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkat satu derajat dan
menghapus satu dosa. Sungguh saya berpendapat bahwa tidak ada yang
meninggalkannya (shalat berjamaah) kecuali orang munafik yang sangat nyata atau
orang yang sakit. Sungguh ada seorang diantara kami yang datang dengan dipapah
oleh dua orang lalu didirikan di shaf (Muslim: 654)
Ibnu
Qoyyim menjelaskan, “Segi pendalilannya, Ibnu Mas’ud menggolongkan orang yang
meninggalkan jamaah dalam koridor orang-orang munafiq yang nyata sedang tanda
munafiq bukanlah dengan meninggalkan perkara sunnah atau melakukan yang
makruh.” (Kitab Sholah hal. 146)
Beliau
juga menukil atsar-atsar serupa dari sahabat lainya seperti Abu Musa
Al-Asy’ari, Ali bin Abu Tholib, Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Abbas, lalu berkata,
“inilah ucapan para sahabat –sebagaimana engkau lihat- shahih dan menyebar. Tak
ada seorangpun dari sahabat yang menyelisihinya. Sungguh satu atsar saja sudah
cukup sebagai dalil masalah ini (waibnya shalat berjamaah) lantas bagaimana
kiranya jika dalil tersebut menguatkan satu sama lainnya?! (Kitab Sholah hal.
153-154).
Sedangkan menurut Muhammad ibn qosim al-gozi, didalam kitabnya
fathul qorib al-mujib hukumnya salat berjamaah adalah sunnah muakkad begitupun
pendapatnya imam rofi’, berdasarkan dengan hadist dari ibnu umar sebagai berikut:
عن ابن عمر رضي الله عنهما انّ رسول
الله صلى الله عليه وسلّم قال: صلاة الجماعة افضل من صلاة الفذّ بسبع و عشرين
درجة" متّفق عليه.
Artinya:
“Dari ibnu umar semoga Allah meridohi keduanya, sesungguhnya
Rasullah saw. Bersabda: Shalat jama’aah itu lebih afdal daripada shalat
sendirian dengan duah puluh tujuh derajat.(H.R. Bukhari,
muslim).[1]
Sedangkan pendapat yang paling sah menurut imam nawawi bahwasanya
shalat jama’ah hukumnya fardu kifayah
selain shalat jum’at, adapun berjama’ah pada shalat jum’at itu hukumnya
fardu ‘ain.[2]
Sedangkan dari
sumber lain mengatakan bahwa:
1.
Fardhu
‘Ain: ini adalah pendapat yang di-nas dari Ahmad dan imam-imam salaf lainnya,
fuqaha ahli hadits, dan lainnya.
2.
Sunnah
mu’akkad: ini adalah pendapat yang terkenal dari murid-murid Abu Hanifah,
mayoritas murid Imam Malik, banyak dari murid Imam Syafi’i dan salah satu
riwayat dari Ahmad.
3.
Fardhu
Kifayah: ini adalah pendapat yang diunggulkan dalam madzhab Syafi’i, pendapat
beberapa murid Imam Malik, dan salah satu pendapat dalam madzhab Ahmad.[3]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Para ulama bersepakat bahwa shalat berjamaah
termasuk amal ibadah dan syi’ar Islam yang sangat agung. Barangsiapa yang
beranggapan shalatnya yang sendirian lebih utama dari pada berjamaah maka dia
telah keliru dan tersetsat. Lebih tersesat lagi jika beranggapan tidak ada
shalat berjamaah kecuali dibelakang imam yang ma’sum sehingga mereka menjadikan
masjid sepi dari shalat berjamaah yang diperintahkan Allah dan RasulNya.
Sebaliknya mekera meramaikan masjid dengan kebid’ahan dan kesesatan yang
dilarang Alloh dan RasulNya. (Majmu’ Fatawa 23/222 Al Fatawa Al kubro 2/267).
Yang
perlu diketahui bahwasannya sekalipun para ulama berselisih tentang hukum
shalat berjamaah, tetapi mereka sepakat bahwa, “Tidak ada rukhsah (keringanan)
dalam meninggalkan jama’ah, baik kita katakan sunnah atau wajib/fardhu
kifayah kecuali karena udzur umum atau khusus.” (Raudhah Tholibin I/344 oleh
Imam Nawawi).
C. Hikmah yang Terkandung dalam Pelaksanaan Shalat
Berjamaah
Allah
SWT telah mensyariatkan shalat berjamaah karena terdapat hikmah diantaranya[4] :
1. Persatuan
umat.
Allah
SWT mengingkan umat Islam menjadi umat yang satu sebab TuhanNya satu,
syariatnya satu, kiblatnya satu dan tujuannya satu.
Firman-Nya:
“Sesungguhnya
(agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah
Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” Q.S Al-Anbiya’:92
2. Mensyiarkan
syiar Islam.
Allah
SWT mensyariatkan shalat di masjid dengan firman-Nya yaitu:
“Hanyalah
yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak
takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” Q.S.
At-Taubah:18
3. Merealisasikan
penghambaan kepada Allah Tuhan semesta alam.
Tatkala muadzin
mengumandangkan adzan dan mengeraskan Allahu Akbar, lalu seorang muslim
mengiyakan panggilan Pencipta-Nya dan Tuan-Nya, meninggalkan semua kenikmatan
kehidupan dunia, kesenangan dan daya tariknya, pergi untuk menunaikan shalat
berjamaah, dan tidak lalai oleh harta bendanya dan anak-anaknya dari mengingat
Allah dan dari shalat, maka itulah bukti atas penghambaan seorang manusia
kepada Tuhan.
4. Membakar
kemarahan musuh-musuh Islam
Shalat
jamaah adalah pemaklumatan kekuatan umat Islam dan bukti atas berpegang
teguhnya mereka kepada tali agama Allah, kuatnya persatuan mereka, dan
lenyapnya perpecahan dan perselisihan diantara mereka. Tidak ada sedikitpun
keraguan bahwa ini akan membuat marah musuh-musuh Islam dan menjadikan hati
mereka penuh dengan kekhawatiran dan ketakutan terhadap kedahsyatan
5. Bersegera
mengerjakan kebaikan dan melipatgandakan pahalanya.
Muslim yang benar-benar
muslim sangat ingin menaati Tuhannya dan menjauhi kemaksiatan terhadap-Nya. Itu
adalah dengan mengerjakan kebaikan dengan beragam jenisnya dan meninggalkan
kemungkaran dengan aneka ragamnya. Ia akan terwujud untuk dua tujuan: Pertama,
merealisasikan penghambaan dengan melaksanakan perintah-Nya. Kedua, berusaha
melipatgandakan kebaikan dan menghapus dosa-dosa serta kesalahan-kesalahan.
6. Menghilangkan
perbedaan status sosial
Semua orang dihadapan
Allah adalah hamba, si alim berdiri disamping si bodoh, si kaya duduk dekat si
miskin, pemimpin dan rakyat sama-sama berada pada satu barisan. Semua dihadapan
Allah sama, yang paling mulia dari mereka disisi Allah adalah yang paling
bertakwa.
7. Memantau
keadaan umat Islam dan merealisasikan ukhuwah Islamiyah
Seorang muslim tidak
mungkin hidup dengan mengisolasi diri dari saudara-saudaranya. Ia sedikit jika
sendiri dan banyak jika bersama saudara-saudaranya. Karenanya Allah mewajibkan
beberapa kewajiban atasnya terhadap saudaranya seakidah.
8. Belajar
masalah-masalah agama yang tidak diketahui
Masjid adalah sekolah
tempat seorang muslim belajar banyak tentang masalah-masalah agama yang tidak
diketahuinya, itu akan terwujud jika seorang muslim selalu mendatangi masjid
dan rajin mengerjakan shalat berjamaah dan tadarus Al-Quran serta menghadiri
majlis keilmuan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian teoritik
sebagaimana dijelaskan pada bab pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.
Shalat
berjama’ah adalah shalat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama sama dan salah satu diantara mereka diikuti oleh orang lain. Orang yang
diikuti dinamakan imam. Orang yang ,mengikuti dinamakan makmum.
2.
Ada
beberapa ulama yang berbeda pendapat mengenai hukum shalat berjamaah. Beberapa
dari mereka ada yang mengatakan bahwa hukum shalat berjamaah adalah sunnah
mu’akkad, sedang yang lain ada yang berpendapat fardhu kifayah bahkan ada yang
mengatakan hukumnya fardhu ‘ain.
3.
Adapun
hikma dari shalat berjamaah antara lain adalah:
a.
Persatuan
umat.
b.
Mensyiarkan
syiar Islam.
c.
Merealisasikan
penghambaan kepada Allah Tuhan semesta alam.
d.
Membakar
kemarahan musuh-musuh Islam.
e.
Bersegera
mengerjakan kebaikan dan melipatgandakan pahalanya.
f.
Menghilangkan
perbedaan status sosial.
g.
Memantau
keadaan umat Islam dan merealisasikan ukhuwah Islamiyah.
h.
Belajar
masalah-masalah agama yang tidak di ketahui.
B. Saran
Sebagai mahasiswa yang di pandang sebagai
generasi intelektual yang tinggi, hendaknya kita mampu merangkum setiap ilmu
yang didapat dengan pemahaman konsep dan penerapan ilmu secara seimbang. Semoga dengan adanya makalah ini, sedikit banyak mampu menyumbang
kan ilmu pengetahuan tentang Sholat berjamaah dan ibadah sosial dalam Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Aziz, Abdul,
2010. Fikih Ibadah. Jakarta: Amzah.
Diibu, Mustafa,
1986. Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i. Semarang: Cahaya Indah.
El-Jazairi,
1991. Pola Hidup Muslim. Bandung: Remaja Posda Karya.
Hambal,, Ibnu
Ahmad, 1974. Betulkanlah Shalat Anda. Jakarta: Bulan Bintang.
Kamal, Malik,
Abu, 2007. Fiqih Sunah Wanita. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Rasjid,
Sulaiman, 20011. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algen Sindo.
Rifa’i, Muhammad, 2011. Tuntutan
Shalat Lengkap. Semarang: Karya Toko Putra.
Sayyed, Wahab,
Abdul, 2010. Fiqih Ibadah. Jakarta: Amzah.
Shiddieqy, Ash
Hasbi, 1994. Kuliah Ibadah. Jakarta: Bulan Bintang.
Zauhaily, al
Wahab, 2004. Fikih Shalat. Bandung: Pustaka Setia Utama.
Al-Hasyimi,
Muhammad Ali. 2009. Masyarakat yang Beribadah Kepada Allah. Islamhouse.com h. 6
[1]
Sayyid sabiq, fiqhu as-sunnah, darul
fathi, mesir, 1995, h.170.
[2]
Muhammad ibnu qosim al-gozi, fathul qorib
al- mujib, karya toha putra, semarang ,t.t, h. 17.
[3]
Tanbihun.com