Makalah Peranan Guru Dalam Memfasilitasi Perkembangan Peserta Didik


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia yang berupa nikmat kesempatan, dan kesehatan  sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Peranan Guru Dalam Memfasilitasi Perkembangan Peserta Didik. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan penuh kepada baginda Rasulullah SAW.
Makalah ini disusun berdasarkan dukungan dan dorongan  dari guru serta rekan-rekan yang telah mengajar dan membimbing saya dan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya dalam menyusun makalah ini, karena disini penulis bisa mengapresiasikan apa yang ada  di benak sanubari yang berupa ide dan pikiran dalam meningkatkan keimanan untuk memberikan pemahaman tentang Peran Pendidik Pendidikan Agama Islam yang akan membawa kepada proses pembelajaran yang efisien dan efektif serta menyenangkan.
Saya ucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing, dan rekan-rekan yang telah mendukung sehingga makalah ini dapat selesai, dan tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca, yang apabila ada kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.Mangkoso, 22 oktober 2017

I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Mengajar adalah penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan proses belajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yang saling mempengaruhi, yakni tujuan instruksional yang ingin  dicapai, materi yang diajarkan, pendidik dan siswa yang memainkan peranan serta ada dalam hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan, serta sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia.[1]
Jika seluruh komponen pendidikan dan pengajaran tersebut dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, maka mutu pendidikan dengan sendirinya akan meningkat. Namun dari seluruh komponen pendidikan tersebut, pendidiklah yang merupakan komponen utama. Jika pendidiknya berkualitas baik, maka pendidikan pun akan baik pula. Kalau tindakan para pendidik dari hari ke hari bertambah baik, maka akan menjadi lebih baik pulalah keadaan dunia pendidikan kita. Sebaliknya kalau tindakan dari hari ke hari makin memburuk, maka akan parahlah dunia pendidikan kita. Pendidik dapat disamakan dengan pasukan tempur yang menentukan kemenangan atau kekalahan dalam peperangan. Jika mereka ingin menang dalam pertempuran mereka harus memiliki kemampuan, penguasaan, dan strategi bertempur yang baik. Dalam hubungannya dengan keberhasilan dalam mendidik, maka pendidik harus mampu melaksanakan inspiring teaching, yaitu pendidik yang melalui kegiatan mengajarnya mampu mengihlami murid-muridnya. Melalui kegiatan mengajar yang memberikan ilham ini pendidik yang baik adalah pendidik yang mampu menghidupkan gagasan-gagasan yang besar, keinginan yang besar pada siswa-siswanya. Kemampuan ini harus dikembangkan, harus ditumbuhkan sedikit demi sedikit. Untuk ini pendidik harus menyisihkan waktu untuk mencernakan pengalamannya sehari-hari dan memperluas pengetahuannya secara terus-menerus. Untuk menjadi pendidik yang baik, di samping mengajar ia harus merenung, membaca dan membutuhkan waktu. Kalau waktu dihabiskan untuk mengajar dari sekolah yang satu dengan sekolah yang lain setiap hari, dari pagi sampai malam, maka tidak akan ada kesempatan baginya untuk meningkatkan kemampuannya sebagai pendidik. Dengan demikian tidak ada harapan baginya untuk meningkatkan mutu pendidikan kita.

B.    Rumusan Masalah
1.       Pengertian dan Peran Pendidik Pendidikan Agama Islam
2.       Komponen Pendidik Sebagai Pekerja Profesional


II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian dan Peran Pendidik Pendidikan Agama Islam
Pendidik didefinisikan sebagai seorang yang dipekerjakan (profesi atau pencahariannya) mengajar, seorang pendidik itu harus di percaya setiap kata-kata dan ucapan dan perilakunya agar menjadi panutan dan teladan mulia untuk diikuti.[2]Menurut Muhibbin Syah, pengertian ini dapat menimbulkan beraneka ragam inter prestasi, pertama, kata seseorang bisa mengacu pada siapa saja asal pekerjaan sehari-harinya (profesinya mengajar). Dalam hal ini berarti bukan hanya seseorang yang sehari-harinya mengajar di sekolah yang dapat disebut sebagai pendidik, melainkan juga orang lain yang berposisi sebagai kyai di pesantren, ustadz di masjid. Kedua, kata mengajar dapat pula di tafsirkan :
a)      Memberikan pengetahuan dan kebudayaan kepada orang lain.
b)      Melatih keterampilan jasmani kepada orang lain.
c)       Menanamkan nilai dan keyakinan kepada orang lain.[3]
Menurut Zakiah Daradjat menyatakan bahwa pendidik adalah implisit karena ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak orang tua. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pendidik adalah seseorang yang memiliki kemampuan dan pengalaman yang dapat memudahkan melaksanakan peranannya dalam membimbing anak didiknya. Ia harus sanggup menilai diri sendiri tanpa berlebih-lebihan, sanggup berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain. Selain itu, perlu diperhatikan pula dalam hal mana ia memiliki kemampuan dan kelemahan.[4]Pengertian semacam ini identik dengan pendapat Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan yaitu pendidik (guru) adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada peserta didik (siswa) dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melakasanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, Khalifah di bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.[5]Pendapat ini didukung oleh Abudin Nata yang menyebutkan bahwa pendidik adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran dan ikut bertanggung jawab dalam membantu peserta didik mencapai kedewasaan masing-masing. Hal ini pendidik bukanlah sekedar orang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan materi pelajaran, namun harus ikut aktif dan berjiwa bebas serta kreatif dalam mengarahkan perkembangan siswa untuk menjadi orang yang dewasa.[6]
Jadi, pendidik bukanlah seseorang yang hanya bertindak mengajar di sembarang tempat, tetapi di tempat-tempat khusus dan ada juga pendidik yang berkewajiban mendidik siswa dengan mengabdikan dirinya untuk cita-cita mulia, yaitu mencapai tujuan pendidikan universal, sehingga peranan pendidik menjadi sangat berat. Dapat disimpulkan bahwa pendidik adalah orang yang memberikan pendidikan atau ilmu pengetahuan kepada peserta didik dengan tujuan agar peserta didik mampu memahami dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan pengertian Pendidik Pendidikan Agama Islam, adalah seorang pendidik yang mengajarkan ajaran Islam dan membimbing peserta didik kearah pencapaian kedewasaan serta membentuk kepribadian muslim yang berakhlak, sehingga terjadi keseimbangan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebagai pendidik haruslah taat kepada Allah, mengamalkan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Bagaimana ia akan dapat menganjurkan dan mendidik anak untuk berbakti kepada Tuhan kalau ia sendiri tidak mengamalkannya, jadi sebagai pendidik haruslah berpegang teguh kepada agamanya, memberi teladan yang baik dan menjauhi yang buruk. Peserta didik mempunyai dorongan meniru, segala tingkah laku dan perbuatan pendidik akan ditiru oleh peserta didik. Bukan hanya terbatas pada hal itu saja, tetapi sampai segala apa yang dikatakan pendidik itulah yang dipercayai peserta didik. Dengan demikian seorang Pendidik Pendidikan Agama Islam merupakan figur seorang pemimpin yang mana disetiap perkataan atau perbuatannya akan menjadi panutan bagi peserta didik, maka disamping sebagai profesi seorang pendidik hendaklah menjaga kewibawaannya agar jangan sampai seorang pendidik agama melakukan hal-hal yang bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan yang telah diberikan masyarakat.[7]
Menurut Syaiful Bahri Djamarah menyebutkan peranan pendidik agama Islam . adalah seperti yang diuraikan dibawah ini :
a.       Sebagai kolektor, pendidik harus dapat membedakan mana nilai yang baik dan mana nilai yang buruk. Koreksi yang harus pendidik lakukan terhadap sifat dan sikap siswa yang tidak hanya di lingkungan sekolah saja, akan tetapi di luar sekolah siswa juga harus ada pengawasan, karena siswa justru lebih banyak melakukan pelanggaran norma-norma susila, moral, sosial dan agama yang hidup di masyarakat. Lepas dari pengawasan pendidik dan kurangnya pengertian siswa terhadap nilai kehidupan, menyebabkan siswa mudah larut di dalamnya. Jadi, pendidik harus selalu mengawasi semua tingkah laku sikap dan perbuatan siswa.
b.      Sebagai informator, pendidik harus dapat memberikan informasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, selain sejumlah bahan pelajaran untuk setiap mata pelajaran yang telah di program dalam kurikulum. Informator yang baik adalah pendidik yang mengerti apa kebutuhan siswa dan mengabdi untuk siswa.
c.       Sebagai organisator, adalah sisi lain dari peranan yang di perlukan dari pendidik. Dalam bidang ini, pendidik memiliki bidang pengelolaan, kegiatan akademik, menyusun tata tertib, menyusun kalender akademik, dan sebagainya. Semua diorganisasikan sehingga dapat mencapai efektifitas dan efesien dalam belajar pada siswa.
d.      Sebagai motivator, pendidik hendaklah dapat menolong siswa agar dapat semangat dan bergairah dan aktif belajar.
e.      Sebagai inisiator, pendidik harus dapat menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Pendidik harus menjadikan dunia pendidikan, khususnya interaksi edukatif  agar lebih baik dari sebelumnya.
f.        Sebagai fasiliator, pendidik hendaknya dapat menyediakan fasilitas yang memungkinkan kemudahan dalam belajar siswa.
g.       Sebagai pembimbing, peranan pendidik yang tidak kalah pentingnya dari semua peranan yang telah di sebutkan  diatas adalah sebagai pembimbing. Karena dengan hadirnya pendidik di sekolah adalah untuk membimbing siswa menjadi siswa yang dewasa, susila dan cakap . Tanpa bimbingan, siswa akan menghadapi kesulitan dalam menghadapi perkembangan dirinya.
h.      Sebagai pengelola kelas, pendidik hendaknya dapat mengelola kelas dengan baik, karena kelas adalah tempat terhimpun semua siswa dan pendidik dalam rangka menerima bahan pelajaran dari pendidik. Adapun maksud dari pengelolaan kelas adalah agar siswa betah dan kerasan tinggal di kelas.[8]
B.    Komponen Pendidik Sebagai Pekerja Profesional
Para ahli pendidikan, pada umumnya memasukkan guru sebagai pekerja profesional, yaitu pekerjaan yang hanya dapat di lakukan oleh mereka yang khusus di persiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang di lakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain.[9]
Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi juga harus  memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Dalam diskusi pengembangan model pendidikan profesional tenaga kependidikan yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun 1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi, yaitu :
1)    Memiliki fungsi dan signifikansi sosial.
2)    Memiliki keahlian / keterampilan tertentu.
3)    Keahlian / keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
4)    Didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas.
5)    Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama.
6)    Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional.
7)    Memiliki kode etik
8)    Kebebasan untuk memberikan judgment dalam memecahkan masalah dalam lingkungan kerjanya.
9)    Memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi.
10)     Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan profesinya[10]             
Jika ciri-ciri profesionalisme tersebut di atas ditujukan untuk profesi pada umumnya, maka khusus untuk profesi seorang guru dalam garis besarnya ada tiga.
Pertama, seorang guru yang profesional harus menguasai bidang ilmu pengetahuan yang akan diajarkannya dengan baik. Ia benar-benar seorang ahli dalam bidang ilmu yang diajarkannya. Selanjutnya karena bidang pengetahuan apapun selalu mengalami perkembangan, maka seorang guru juga harus terus menerus meningkatkan dan mengembangkan ilmu yang diajarkannya, sehingga tidak ketinggalan zaman, untuk dapat melakukan peningkatan  dan pengembangan ilmu yang diajarkannya itu, seorang guru harus secara terus-menerus melakukan penelitian dengan menggunakan berbagai macam metode.
Kedua, seorang guru yang profesional harus memiliki kemampuan menyampaikan atau mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada murid-muridnya secara efektif dan efisien. Untuk ini, seorang guru harus memiliki ilmu keperguruan. Dahulu, ilmu keguruan ini terdiri dari tiga bidang keilmuan, itu pedagogik, didaktik dan metodik. Istilah pedagogik diterjemahkan dengan kata lain ilmu mendidik, dan yang dibahas ialah bagaimana mengasuh dan membesarkan seorang anak.
 Sedangkan didaktik adalah pengetahuan tentang interaksi belajar mengajar secara umum. Yang diajarkan disini antara lain cara membuat persiapan pengajaran sesuatu yang sangat perlu, dan tampaknya sekarang dianggap tidak penting, cara menjalin bahan-bahan pelajaran dan cara menilai hasil pelajaran.
Adapun metodik adalah pengetahuan tentang cara mengajarkan suatu bidang pengetahuan.[11] Beberapa mata pelajaran dipandang memerlukan cara-cara khusus untuk menyajikannya, dan untuk ini dikembangkan metodik khusus. Pelajaran yang memerlukan metodik khusus ini misalnya menggambar, menyanyi, pekerjaan tangan, dan olahraga.
Ketiga, seorang guru yang profesional harus berpegang teguh kepada kode etik profesional sebagaimana tersebut diatas. Kode etik di sini lebih dikhususkan lagi tekanannya pada perlunya memiliki akhlak yang mulia. Dengan akhlak yang demikian itu, maka seorang guru akan dijadikan panutan, contoh dan teladan. Dengan cara demikian ilmu yang diajarkan atau nasihat yang diberikannya kepada para siswa akan didengarkan dan dilaksanakan dengan baik. Tentang perlunya akhlak yang baik bagi guru profesional ini sudah lama menjadi perhatian dan kajian para ulama Islam di zaman klasik. Ibn Muqaffa (Lahir di Persia tahun 106 H) misalnya mengatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang mau berusaha memulai dengan mendidik dirinya, memperbaiki tingkah lakunya, meluruskan pikirannya dan menjaga kata-katanya terlebih dahulu sebelum menyampaikan kepada orang lain.[12]Sementara itu Imam al-Ghazaly (w. 1111 M) menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan ilmu pengetahuan harus berhati bersih, berbuat dan bersikap yang terpuji.[13]Lebih lanjut al-Ghazaly mengatakan bahwa guru harus bersifat sebagai pengayom, berkasih sayang terhadap murid-muridnya dan hendaklah memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri. Guru harus selalu mengontrol, menasehati, dan memberikan pesan-pesan moral tentang ilmu dan masa depan anak didiknya dan tidak membiarkan mereka melanjutkan pelajarannya kepada yang lebih tinggi sebelum menguasai pelajaran sebelumnya[14]
Dalam kaitannya dengan uraian tersebut  diatas, seorang guru di atas, seorang guru di samping sebagai pengajar, juga harus sebagai pendidik. Dengan demikian, di samping membimbing para siswa untuk menguasai sejumlah pengetahuan dan keterampilan (mengajar), sewajarnya guru juga membimbing siswa-siswanya mengembangkan segenap potensi yang ada dalam diri mereka (mendidik).
Untuk dapat benar-benar menjadi pendidik, seorang guru tidak cukup hanya dengan menguasai bahan pelajaran, tetapi juga harus tau nilai-nilai apa yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kpada para siswa. Guru harus tau sifat-sifat kepribadian apa yang dapat dirangsang pertumbuhannya melalui materi pelajaran yang akan disajikan. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan suatu pertanyaan : Dapatkah suatu gugus materi pelajaran matematika dipergunakan untuk merangsang pertumbuhan nilai-nilai kejujuran, ketelitian dan keuletan kerja pada diri para siswa? Dapatkah materi pelajaran sejarah dipergunakan untuk  menumbuhkan sikap anak didik agar selalu melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk? Dapatkah pelajaran olahraga diartikan untuk menumbuhkan sikap sportifitas, kerja sama, kejujuran, dan keuletan? Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut jawabannya dapat, maka bagaimana caranya?
Memupuk sikap, keterampilan serta kemampuan untuk dapat mengajar dan mendidik sekaligus memerlukan ikhtiar dan waktu. Tanpa ikhtiar yang sungguh-sungguh, akan mudah sekali bagi seorang guru untuk terjebak ke dalam perbuatan pamer pengetahuan ketika berdiri di depan kelas. Guru yang baik pun dapat sesekali jatuh ke dalam kesalahan ini. Ia sibuk di depan kelas, namun tidak mendidik dan tidak pula mengajar, tetapi asyik menikmati kekaguman yang diperlihatkan siswa-siswanya.
Selama pamer pengetahuan ini terjadi tanpa sengaja, dan dampak yang ditimbulkannya adalah kekaguman siswa, dapat dinilai situasinya masih wajar. Tetapi apabila pamer pengetahuan ini sudah merupakan perbuatan yang disengaja, apabila guru memang sudah menyerah kepada keinginan untuk memamerkan kehebatan pengetahuannya, maka secara pedagogis yang kita hadapi adalah suatu situasi yang sangat tidak etis. Yang kita hadapi dalam hal ini ialah guru yang menyalahgunakan kelemahan-kelemahan para siswa  : kekurangan pengetahuan mereka, keterbatasan pengalaman hidup mereka  dan ketidakberdayaan mereka menghadapi guru. Dalam hal ini  dampak yang akan timbul bukan kekaguman, melainkan kebingungan siswa tentang pelajaran yang diterima dan ketakutan siswa terhadap sang guru. Sedihnya ialah bahwa tampaknya dalam masyarakat kita ada kelompok guru, yang justru menikmati ketakutan dan kebingungan para siswa ini. Ini sungguh suatu sikap yang tidak etis dan tidak profesional.


III
PENUTUP
A.    Kesimpulan


DAFTAR PUSTAKA
[1]JJ. Hasibuan, Dip dkk. Proses Belajar Mengajar. (Bandung : RemajaRosdakarya, 1993), cet. V, h. 3
[2]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1995)  h. 330
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan  dengan Pendekatan Baru, h. 222-223
[4]Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Bumi Aksara, 2001, h. 263
[5]Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung,  h. 93
[6]Abbdudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam , Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, h.  62
[7]Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2009, h. 170
[8]Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukasi, Jakarta, Rineka Cipta, 2000, h. 43-48
[9]Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997), cet. VIII, h. 14: Lihat pula Nana Syaodih Sukmadinata. op. cit., h. 191
[10]Ibid., h. 191
[11]Mochtar Buchori, Ilmu Pendidikan & Praktek Pendidikan dalam Renungan, (Jakarta : IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1994), cet. I, h. 19
[12]Ibn Al-Muqaffa, al-Fikr al-Tarbawy ind Ibn Al-Muqaffa (Adab  al-Shaghir), cet. I h. 117
[13]Imam al-Ghazaly, Ihya Ulum  al-Dhin, Jilid I, (Beirut : Dar al-Kutub, tt), h. 48-49
[14]Ibid. h. 48

Iklan Atas Artikel

Adnow April 22

Adnow April 22

Iklan Bwah Artikel (Adnow)